Bagian Tiga
Rhaka membuka jaket yang dikenakan dan
menggantungkannya pada kastop yang menempel di balik pintu kamar setelah
menyimpan tas kecil di atas meja belajar. Ia merasa lelah sekali setelah
seharian penuh beraktivitas di kampus. Malam ini ia hanya ingin membaringkan
tubuhnya diatas tempat tidur dan menikmati alunan musik dari tape recorder
jadul yang ia bawa dari kampung halaman seminggu yang lalu. Di pilihnya
frekwensi radio yang tengah memutar lagu cukup lawas berirama pop rock. Ia
masih ingat bait-bait syair lagu Lentera Cinta yang dilantunkan Nicky Astria,
penyanyi asal kota Kembang. Lagu itu sering ia nyanyikan bersama kawan - kawan
semasa Sekolah Menengah Pertama di samping rumah neneknya, untuk sekedar
melewati malam minggu. Rhaka semakin terbawa jauh ke masa lalu, masa-masa yang
memaksa ia untuk tinggal bersama neneknya karena keadaan ekonomi orang tua yang
masih pasang surut, dan seringkali tak mencukupi seluruh kebutuhan hidup
keluarga. Keadaan belum berpihak pada orangtuanya ketika itu. Keadaan dimana sebagian
besar teman-teman sebaya di tempat ia bersekolah dapat menikmati masa-masa
indah tanpa harus memikirkan untuk membantu orang tua mereka menambah
penghasilan bagi keluarganya. Terbayang masa-masa saat ia masih duduk dibangku
Sekolah Dasar. Rhaka harus rela berkeliling kampung untuk menjajakan es lilin
buatan neneknya, untuk sekedar mendapatkan uang jajan sebagai bekal sekolah. Ia
kembali menarik nafas panjang dan memandangi langit-langit kamar yang telah
dihinggapi sarang laba-laba karena ia belum sempat merapikannya sejak
kepindahannya ke tempat tersebut. Rhaka tak menyimak apa yang tengah di
sampaikan seorang penyiar radio ketika mengomentari lagu yang masih mengalun.
Ia memutar tuner mencari frekwensi lain dan berhenti di frekwensi yang tengah
mengalunkan lagu maafkan dari album pertama milik group musik Slank. Malam itu
benar-benar telah membawa Rhaka kemasa lalu, masa-masa ia harus terpisah jauh
dari keluarga. Terbayang dalam lamunannya ketika berkumpul bersama kawan -
kawan di warung belakang sekolah yang terletak di bawah bukit dan jauh dari
keramaian kota. Terbayang saat-saat ia harus bergelantungan di pintu belakang
angkutan pedesaan, setelah berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dari sekolah
menuju pasar, tempat dimana kendaraan umum menunggu para penumpang.
Pernah beberapa kali ia terpaksa harus ikut dengan kendaraan bak terbuka yang mengangkut sayuran atau buah-buahan untuk mengirim hasil panen mereka menuju terminal persinggahan menuju kota besar, karena angkutan pedesaan tak kunjung melintas. Dan setelah itu ia masih harus menaiki delman menuju tempat ia bermukim dimana ia mendapatkan pengajaran agama sebagai bekal hidup dimasa mendatang. Selepas lulus Sekolah Menengah Atas, ia pun harus terpisah kembali dari keluarga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tinggal di kamar kost berukuran dua kali tiga meter dengan pertimbangan harga yang terjangkau oleh kocek dari orang tuanya. Kini tanpa sepengetahuan keluarga juga teman-teman di kampus, ia telah berpindah kost. Tempat yang kini ia tempati lebih luas dari kamar yang pernah ia tinggali sebelumnya. Harganya pun lebih murah, dan letaknya cukup strategis. Untuk pergi dan pulang kampus Rhaka hanya butuh sekali naik angkutan kota, tanpa harus berjalan memasuki gang sempit, karena tempat kost berada di pinggir jalan. Pemilik rumah kost-an seakan tahu keadaan keuangannya, hingga memberikan harga pengecualian yang lebih murah disbanding harga kamar kost lainnya. Dan pemilik tempat kost ternyata salah satu dosen pengajar di Universitas tempat ia kuliah. Beliau salah satu dosen di fakultas teknik, dan Gunardi anak pemilik tempat kost-an adalah mahasiswa fakultas teknik yang ternyata telah saling kenal dengan Rhaka sebelumnya. Aktivitasnya di Himpunan Mahasiswa yang menjembatani mereka hingga saling mengenal satu dengan lainnya. Tak terasa sudah hampir dua minggu lebih ia menempati kamar kost baru. Hanya berselang dua hari sejak seluruh rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Kumpulan Seni Mahasiswa rampung dilaksanakan, ia memutuskan untuk pindah tempat nge-kost. Kebetulan ada tersisa satu kamar kosong yang belum diisi. Setelah merasa cocok dengan tempat dan harga yang ditawarkan untuk ia bayar setiap per satu tahun sekali, ia tak menunggu waktu berlama-lama untuk menempati tempat tersebut. Tak begitu rumit dan tak perlu banyak orang untuk mengangkut dan memindahkan barang-barang miliknya dari tempat kost yang dulu ke tempat kost yang baru. Lemari bongkar pasang ia tinggalkan karena memang sudah robek disana-sini. Kasur busa sudah hampir tak berbentuk tempat tidur, ia putuskan untuk tak dipakainya lagi. Hanya pakain yang ia kemas kedalam ransel, itupun tak banyak, karena Rhaka jarang sekali belanja pakaian. Ia lebih mengutamakan buku-buku paket dan perlengkapan lain untuk kebutuhan kuliahnya. Beberapa barang yang masih bisa dipergunakan seperti gelas, sendok, piring, mangkuk dan termos ia masukkan dengan rapi kedalam kardus yang ia beli di warung penjual sembako. Bersyukur ia tak harus membeli meja belajar, karena pemilik kost mengijinkan meja belajar lengkap dengan satu buah kursi kayu yang sudah berada didalam kamar, diizinkan pemiliknya untuk ia pergunakan selama ia menempati kamar tersebut. Ia hanya perlu membeli tempat untuk berbaring ketika rasa kantuk mendatanginya, di tambah satu buah seprai, dua buah bantal dan satu buah guling sebagai teman yang akan selalu menemaninya terlelap sepanjang malam. Kini ia benar-benar terlelap dalam tidurnya, menghempaskan rasa lelah yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Pernah beberapa kali ia terpaksa harus ikut dengan kendaraan bak terbuka yang mengangkut sayuran atau buah-buahan untuk mengirim hasil panen mereka menuju terminal persinggahan menuju kota besar, karena angkutan pedesaan tak kunjung melintas. Dan setelah itu ia masih harus menaiki delman menuju tempat ia bermukim dimana ia mendapatkan pengajaran agama sebagai bekal hidup dimasa mendatang. Selepas lulus Sekolah Menengah Atas, ia pun harus terpisah kembali dari keluarga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tinggal di kamar kost berukuran dua kali tiga meter dengan pertimbangan harga yang terjangkau oleh kocek dari orang tuanya. Kini tanpa sepengetahuan keluarga juga teman-teman di kampus, ia telah berpindah kost. Tempat yang kini ia tempati lebih luas dari kamar yang pernah ia tinggali sebelumnya. Harganya pun lebih murah, dan letaknya cukup strategis. Untuk pergi dan pulang kampus Rhaka hanya butuh sekali naik angkutan kota, tanpa harus berjalan memasuki gang sempit, karena tempat kost berada di pinggir jalan. Pemilik rumah kost-an seakan tahu keadaan keuangannya, hingga memberikan harga pengecualian yang lebih murah disbanding harga kamar kost lainnya. Dan pemilik tempat kost ternyata salah satu dosen pengajar di Universitas tempat ia kuliah. Beliau salah satu dosen di fakultas teknik, dan Gunardi anak pemilik tempat kost-an adalah mahasiswa fakultas teknik yang ternyata telah saling kenal dengan Rhaka sebelumnya. Aktivitasnya di Himpunan Mahasiswa yang menjembatani mereka hingga saling mengenal satu dengan lainnya. Tak terasa sudah hampir dua minggu lebih ia menempati kamar kost baru. Hanya berselang dua hari sejak seluruh rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Kumpulan Seni Mahasiswa rampung dilaksanakan, ia memutuskan untuk pindah tempat nge-kost. Kebetulan ada tersisa satu kamar kosong yang belum diisi. Setelah merasa cocok dengan tempat dan harga yang ditawarkan untuk ia bayar setiap per satu tahun sekali, ia tak menunggu waktu berlama-lama untuk menempati tempat tersebut. Tak begitu rumit dan tak perlu banyak orang untuk mengangkut dan memindahkan barang-barang miliknya dari tempat kost yang dulu ke tempat kost yang baru. Lemari bongkar pasang ia tinggalkan karena memang sudah robek disana-sini. Kasur busa sudah hampir tak berbentuk tempat tidur, ia putuskan untuk tak dipakainya lagi. Hanya pakain yang ia kemas kedalam ransel, itupun tak banyak, karena Rhaka jarang sekali belanja pakaian. Ia lebih mengutamakan buku-buku paket dan perlengkapan lain untuk kebutuhan kuliahnya. Beberapa barang yang masih bisa dipergunakan seperti gelas, sendok, piring, mangkuk dan termos ia masukkan dengan rapi kedalam kardus yang ia beli di warung penjual sembako. Bersyukur ia tak harus membeli meja belajar, karena pemilik kost mengijinkan meja belajar lengkap dengan satu buah kursi kayu yang sudah berada didalam kamar, diizinkan pemiliknya untuk ia pergunakan selama ia menempati kamar tersebut. Ia hanya perlu membeli tempat untuk berbaring ketika rasa kantuk mendatanginya, di tambah satu buah seprai, dua buah bantal dan satu buah guling sebagai teman yang akan selalu menemaninya terlelap sepanjang malam. Kini ia benar-benar terlelap dalam tidurnya, menghempaskan rasa lelah yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Jalan trotoar di sepanjang Simpang Dago
pagi itu mulai ramai oleh para pejalan kaki yang hilir mudik menuju tempat
tujuan masing-masing. Dari mulai perempatan lampu merah hingga jalan Tubagus
Ismail, tak henti langkah kaki menghiasi suasana pagi yang cerah saat itu. Para
pedagang kaki lima menata barang dagangan sedemikian rupa untuk menarik minat
para calon pembeli yang melintasinya.
Rhaka sama sekali tak mengetahui apa
yang terjadi disekelilingnya tadi malam, hingga ia terbangunkan oleh bunyi
klakson bersahutan di jalan yang melintasi tempat ia terlelap pagi itu. Di
raihnya jam tangan yang ia beli beberapa minggu lalu di emperan toko Jalan
Dalam Kaum, saat Rendy mengajaknya pergi ke sana untuk mengantarnya membeli
pakaian. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 wib. Saatnya bagi Rendy untuk
bersiap-siap memulai kembali aktivitas setelah semalaman melepas lelah. Meski
perkuliahan baru akan dimulai pukul 10.00 wib, sesuai jadwal kuliah yang ia
tempelkan didinding dekat meja belajar, namun ia harus datang lebih awal. Ada
hal yang harus ia selesaikan dengan pihak tata usaha mengenai uang SPP yang
hampir telat ia bayarkan. Rhaka tak akan diperbolehkan mengikuti ujian
semester jika tak melunasinya terlebih dahulu. Lebih gawat lagi ia tak
ingin uang SPP-nya terpakai seperti semester lalu, hingga ia terpaksa harus
pinjam ke koperasi meski harus sedikit ngotot. Rhaka tak tahu harus mencari
pinjaman kemana lagi jika saja ia tak memiliki teman dekat di koperasi
mahasiswa. Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi dan merapikan
tempat tidur, ia bergegas untuk pergi ke kampus. Tak lama berselang ia
berdiri di atas trotoar, angkutan kota yang akan mengantarkan ia ke kampus
menghampiri dan berhenti di hadapannya. Rhaka meminta dengan sopan pada
penumpang yang berada didalam angkutan untuk bergeser sedikit, dan memberinya
tempat untuk ia duduk hingga sampai ke tujuan.
Seseorang memanggil Rhaka ketika
menyeberangi jalan, setelah angkutan kota yang membawa ia ke tempat itu
berlalu. Ia mencari-cari arah datangnya suara yang memanggilnya. Dari seberang
jalan, tempat dimana kendaraan yang tadi mengantarnya berhenti di situ, Yori
berlari menghampiri. Rhaka menghentikan langkah sesaat, kemudian kembali
berjalan setelah Yori berada dekat dengan dirinya. Dijabatnya tangan Yori
dengan gaya bersalaman yang telah menjadi khas pertemanan mereka, sembari
berbagi senyuman dan saling bertegur sapa membuka obrolan pagi. Yori
mengajak Rhaka mampir sebentar ke kantin, sekedar membeli minuman untuk mereka
berdua. Asap mengepul dari dua gelas plastik berisi kopi panas yang menemani
mereka bersantai menikmati suasana kampus pagi itu. Minum kopi sambil ngobrol
di bangku panjang depan ruang sekretariat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)
sepertinya telah menjadi kegiatan ekstrakulikuler selain berkutat di lab
komputer di kampusnya. Udara pagi terasa dingin menyelimuti sekeliling
kampus. Gorden yang menghiasi loket pengambilan slip pembayaran SPP masih
terbentang rapi, menutupi setiap apapun yang berada didalam sana. Dua orang
office boy dengan telaten membersihkan lantai luar ruang lab komputer dan ruang
tata usaha yang letaknya memang saling berdekatan. Beberapa office boy lainnya
dengan semangat 45 membersihkan debu dan noda yang menempel di kaca tiap
ruangan. Rhaka dan Yori masih asyik dengan obrolannya, sambil sesekali meneguk
kopi dan menghisap rokok yang Rhaka beli dari Koperasi Mahasiswa, ketika Rendy
datang menghampiri mereka.
“Sialan kau Ka, pindah kost nggak
bilang-bilang”. Celetuk Rendy tiba-tiba. Rhaka tak menjawab, ia menggeserkan
badan untuk memberinya tempat pada Rendy. Yori Nampak kaget dan keheranan
mendengar Rendy berkata seperti itu.
“Sejak kapan kau pindah kost Ka?. Dari
tadi ia nggak ngomong-ngomong kalau dia sudah tak nge-kost lagi di tempatnya
pak Mulyana. Payah juga kau Ka”. Yori merespon ucapan Rendy yang
terlihat agak kesal. Belum sempat Rhaka membuka mulut untuk bicara,
Rendy sudah kembali berceloteh.
“Tadi pagi aku sengaja ke tempatmu, dan
hampir saja diteriaki maling oleh seisi penghuni kost”. Yori dan Rhaka tak
kuasa menahan tawa mendengar penuturan Rendy. Rendy pun akhirnya ikut
tertawa juga menyaksikan mereka berdua mentertawakannya.
“Aku pikir kau masih tinggal disana,
jadi aku langsung saja nyelonong masuk kamar tanpa permisi. Sempat kaget juga
saat melihat isi kamar yang sama sekali berubah total. Apalagi ketika melihat
photo cewek di meja belajar, karena aku tak mengenalinya. Dan tiba-tiba
seseorang bergegas masuk kamar. Ia tak menyadari jika aku ada di dalam, karena
mukanya agak menunduk dan tertutup handuk yang ia gosokkan ke rambutnya. Busyet,
bukan main kagetnya dia melihat aku berada disitu. Bukan saja dia yang
terkejut, aku sendiri juga kaget bukan kepalang. Hampir saja tinjunya mendarat
di mukaku jika orang disamping kamar tak segera mendatangi kami. Mungkin ia
mendengar suara bentakan dari kamar sebelah. Betapa leganya aku karena orang
itu masih mengenaliku, kemudian menjelaskan siapa orang yang telah lancang
memasuki kamarnya tanpa permisi. Dia juga yang memberi tahuku soal
kepindahanmu. Setelah semua mengerti duduk persoalan yang terjadi, aku pamit
dengan penghuni kost yang hampir saja memukuliku”. Rendy menceritakan kejadian
yang di alaminya sebelum ia sampai di kampus.
Rhaka meraih gelas yang masih terisi
kopi, meneguknya perlahan dan meletakkannya kembali ketempat semula. Ia menarik
nafas dalam-dalam, kemudian menjelaskan alasan mengapa ia memutuskan untuk
pindah kost ke tempat yang lebih jauh jaraknya dari kampus. Ia berharap, Rendy
tak berpikir mengenai keputusan Rhaka pindah tempat kost untuk menghindar
darinya. Ia hanya ingin mencari tempat yang agak luas dari tempat sebelumnya,
juga untuk mendapatkan suasana baru. Rhaka pun menyampaikan permintaan maaf
dengan sedikit gurauan alakadarnya untuk menepis rasa bersalahnya, jika memang
itu sebuah kesalahan besar menurut sahabatnya ini. Rhaka menyadari bahwa dalam
persahabatan selalu ada aturan tak tertulis yang harus di sikapi secara bijak,
serta menjunjung tinggi etika pertemanan dalam menjalin persahabatan.
Sementara itu waktu di jam tangan Rhaka
mengisyaratkan ia harus bersiap mengikuti perkuliahan yang akan di mulai
beberapa saat lagi. Rhaka menutup obrolan dan melangkah pergi setelah
berpamitan pada mereka berdua. Rendy menepuk pantat Rhaka serta
mengingatkannya, bahwa sepulang kuliah nanti ia berniat mengunjungi tempat
kostnya yang baru bersama Yori, dan pergi bersama-sama dengannya.
Cukup lama juga Rhaka dan teman-teman
sekelasnya nongkrong di luar ruang kelas, menunggu dosen yang akan memberi
materi perkuliahan pada hari itu. Sudah setengah jam lebih ia menunggu, tapi
dosen yang di nantikan belum nampak batang hidungnya. Lesmana, teman sekelas
Rhaka datang membawa berita dan mengabarkan bahwa dosen mata kuliah yang akan
memberikan materi perkuliahan tak bisa hadir di tengah-tengah mereka, entah apa
alasannya. Rhaka tak menyimak secara tuntas apa yang dikatakan pembawa berita.
Yang ia tahu hanya dosen mata kuliah hari tu tak bisa datang. Rhaka tak
membuang waktu lebih lama dengan berdiam diri disitu. Ia mengikuti kawan -
kawan lainnya melangkah pergi menuruni tangga dan membubarkan diri sesampainya
di lantai satu setelah saling berpamitan. Rhaka meneruskan langkahnya menuju
loket pengambilan slip pembayaran SPP. Menunggu beberapa saat hingga pegawai
tata usaha menemukan data dirinya di file komputer. Selembar kertas bergerak
perlahan dari mesin printer yang telah lengkap dengan data dirinya dan sejumlah
rupiah yang harus ia bayarkan untuk dapat mengikuti ujian pada semester itu.
Rhaka memastikan data yang tercantum dalam lembaran kertas adalah benar
dirinya. Setelah menerima slip pembayaran SPP yang di sodorkan pegawai tata
usaha padanya, ia bergegas menuju tempat pembayaran SPP yang terletak
berdampingan dengan sekretariat Resimen Mahasiswa di dekat tangga menuju
basement. Kini ia merasa lega karena telah melaksanakan kewajibannya untuk
membayar biaya kuliah, dan ia akan dapat mengikuti ujian semester dengan
tenang.
Di ruang sekretariat KSM, Rhaka
menyantap menu makanan yang ia pesan dari kantin dengan lahap. Sebungkus nasi
timbel dan sepotong ayam goreng, lengkap dengan lalap serta sambal terasi yang
menjadi menu utama kantin kampus pada hari itu, sengaja di pilih untuk mengisi
kekosongan perutnya. Satu buah pisang sebagai bonus paket menu makan hemat ia
gunakan sebagai makanan penutup. Segelas teh hangat pun diteguknya hingga tetes
terakhir. Aray, Arok dan Roy datang bersamaan memasuki ruang sekeretariat
dengan menenteng sekantung jagung rebus. Mereka saling bersalaman khas
organisasi dan bertegur sapa seperti biasa jika bertemu dengan kawan - kawan
nya. Rhaka tak ikut menyatroni kantung berisi jagung rebus yang mereka bawa,
karena ia baru saja selesai melahap nasi timbel. Roy menekan tombol power tape
recorder di sudut ruangan, memutar tuner mencari stasiun radio dan berhenti di
frekwensi yang tengah menyiarkan berita. Rhaka mengambil surat kabar yang
tergeletak di lemari pembatas ruang berkumpul para anggota dengan ruang
komputer di ruang belakang sekretariat, kemudian membuka lipatan surat kabar
tersebut dan mulai membacanya. Aray mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana
dan menawarkan pada Rhaka, Roy dan Arok. Sebentar saja ruang sekretariat telah
dipenuhi asap rokok yang di hembuskan dari mulut mereka. Arok memecah kebisuan
dengan mencoba memulai mengeluarkan kata-kata yang telah ia siapkan sebelumnya.
“Kira-kira kapan kita akan mengadakan
rapat untuk membahas laporan pertanggung jawaban dari rangkaian kegiatan yang
telah tuntas dilaksanakan. Ketua umum menanyakannya beberapa hari yang lalu”.
Rhaka melipat kembali surat kabar dan
menyimpan ketempat dimana ia tadi mengambilnya.
“Sebaiknya segera saja kita buat surat
undangan. Tak perlu semua anggota. Cukup ketua pelaksana, sekretaris dan
bendahara masing-masing kegiatan saja dulu yang kita undang untuk hadir.
Agendanya kan hanya untuk menyusun rancangan laporan kegiatan. Jadi pada rapat
intern pengurus nanti kita minta pada ketua umum, agar masing-masing ketua
pelaksana menyerahkan laporan kegiatannya, yang akan di jadikan sebagai bahan
untuk menyusun laporan pertanggung jawaban. Setelah itu biarkan sekum
menjalankan tugasnya bersama-sama dengan ketua umum untuk
menyelesaikannya. Sementara itu, kita berupaya agar laporan pertanggung jawaban
dapat diterima semua pengurus Kumpulan Seni Mahasiswa dan seluruh Unit kegiatan
Mahasiswa. Kalian tak berharap kan, pada acara penyampaian laporan pertanggung
jawaban, kita dipermalukan dihadapan pihak rektorat”. Rhaka memaparkan
rencananya pada mereka secara jelas agar dapat dimengerti maksud dan tujuannya.
Roy, Aray dan Arok mangangguk-anggukan kepala tanda mengerti akan penerangan
dari Rhaka. Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu sekretariat diketuk
seseorang dari luar. Aray melangkah mendekati pintu, sementara Arok berjalan ke
arah tape recorder yang masih menyiarkan berita. Aray mencari tahu siapa yang
mengetuk pintu, dan Arok memutar tuner menggeser frekwensi radio,
memindahkannya pada stasiun radio yang tengah menyuguhkan lagu irama masa kini.
Ternyata Yori dan Andri. Aray mempersilahkan mereka masuk untuk bergabung
dengannya. Obrolan pun berganti topik pembicaraan. Pintu sekretariat di biarkan
terbuka, untuk melihat aktivitas yang terjadi di luar ruangan. Yori dan
Andri sudah terbiasa berkunjung ke sekretariat KSM, begitupun sebaliknya.
Mungkin karena ruang sekretariat yang berdampingan satu sama lain yang
mengakrabkan hubungan kedua organisasi internal kampus tersebut. Merekapun
kembali terlibat pembicaraan sembari menikmati jagung rebus yang masih
tergeletak di meja. Rhaka beranjak dari tempatnya setelah Yori mengajak dia
untuk menemui Rendy di papan panjat. Hari itu merupakan hari libur sedunia bagi
Yori dan Rendy, karena tak ada jadwal perkuliahan. Rendy mengisi harinya dengan
menyibukkan diri di papan panjat bersama kawan - kawan KMPA. Dan Yori seperti
biasa beredar di seputar kampus. Berkeliaran mencari informasi mengenai isu yang
sedang hangat diperbincangkan para aktivis mahasiswa. Hampir bisa dipastikan
ketika informasi telah terhimpun, ia akan mengajak kawan-kawan berdiskusi,
termasuk Rhaka, Rendy dan beberapa kawan lainnya di UKM, juga kawan-kawan di
Himpunan dan senat Mahasiswa untuk berwacana. Tak jarang antara Yori dan
Rhaka terlibat adu mulut dan perang urat syaraf jika sudah berkumpul
dalam forum diskusi yang tak berstruktur, karena berbeda pandangan dan
pendapat. Bahkan dengan Rendy sahabatnya pun Rhaka juga Yori sering kali
berselisih faham jika sedang berdiskusi dan berwacana. Tapi perselisihan itu
akan berakhir setelah diskusi selesai di gelar. Mereka akan kembali tertawa
bersama sembari minum kopi dan berbagi cerita mengenai pengalamannya
masing-masing. Kini Yori tengah bersama Rhaka berjalan menuruni tangga,
kemudian menghampiri Rendy yang sedang melepaskan tali pengaman seusai menaiki
papan panjat. Setelah berbincang beberapa saat lamanya, mereka bertiga berjalan
meninggalkan teman-teman yang masih berkutat dengan kegiatan memanjatnya. Hari
itu Rendy dan Yori telah berniat untuk mengunjungi tempat Rhaka, seperti yang
di sampaikan Rendy tadi pagi pada Rhaka.
Angkutan yang membawa Rhaka, Rendy dan
Yori melaju perlahan. Hanya berselang beberapa detik saja dari mereka, Lembayung
menginjakkan kakinya di jalan aspal, keluar dari angkutan kota jurusan Ledeng -
Abdul Muis, kemudian menyeberang jalan dan meneruskan langkahnya melewati
gerbang memasuki halaman kampus. Di depan sekretariat KSM ia memperlambat
langkah-langkah kaki dan menyebarkan pandangan matanya ke dalam ruangan
sekretariat, tempat dimana Rhaka biasa berkumpul bersama kawan - kawan
organisasinya. Ia tak melihat kehadiran Rhaka di tengah-tengah mahasiswa yang
sedang berkumpul di dalam ruangan sekretariat. Sejak di gelar acara pentas
musik dua minggu yang lalu hingga hari ini, ia baru sekali bertemu dengan
Rhaka. Entah mengapa ada sesuatu yang menggelitik mengitari lubuk hati
Lembayung untuk bertemu Rhaka. Sepertinya ada sesuatu yang kurang atau hilang
hari itu dirasakan Lembayung. Dari arah berlawanan Firza berjalan tergesa-gesa
menghampiri Lembayung yang tak menyadari akan ke datangannya. Firza memegangi
tangan Lembayung dengan kedua tangannya. Nampak jelas rasa cemas dan khawatir
di raut wajah berhias lipstik merah muda, dengan balutan pakaian bermerk dan
tas kulit yang menggantung di bahunya. Lembayung tak mengetahui apa yang di
khawatirkan temannya tersebut, jika ia tak menceritakan kekhawatirannya pada
Lembayung. Mendengar penjelasan Firza, ia hanya tersenyum dan kemudian
mengajaknya pergi menuju ruang perpustakaan di lantai tiga untuk menyelesaikan
persoalan yang tengah dihadapi kawannya. Tugas mata kuliah yang di berikan
dosen minggu lalu pun telah selesai disalin Firza dari buku Lembayung. Kini
wajah cemas dan khawatir itu telah sirna dari hadapan Lembayung. Yang
tertinggal hanya senyum lega, kerlingan mata dan beberapa kata mutiara sebagai
ungkapan rasa terima kasih pada Lembayung karena telah membebaskannya dari
persoalan yang mempengaruhi penampilannya pada hari itu.
Firza adalah kawan sekelas Lembayung,
dan mereka telah mulai akrab semenjak awal –awal perkuliahan di mulai.
Kedua orang tuanya tinggal dan menetap di Bandung, karena keluarganya memang
berasal dari kota tersebut. Jika Firza tak bolos kuliah untuk mengikuti kursus
modeling secara diam-diam, ia akan ada di kampus bersama Lembayung dimana pun
ia hinggap. Bahkan tak jarang Firza nongkrongin tempat kost Lembayung sepulang
kuliah. Menghabiskan waktu dengan ngerumpi gaya mahasiswi, berbagi cerita mengenai
mahasiswa taksirannya dan membahas perkembangan mode yang sedang ngetrend saat
itu. Meski gaya hidup keduanya berbeda, perkawanan tetap bisa berjalan. Satu
sama lain dapat saling menerima perbedaan, baik hobi maupun kebiasaan yang
dilakukan oleh keduanya.
Ruang kelas hampir dipenuhi para
pengambil mata kuliah hukum yang sejak beberapa waktu lalu telah menunggu
kehadiran dosen pemberi materi perkuliahan. Suasana riuh ketika tiba-tiba
mahasiswa/i yang berada di luar secara serentak berhamburan masuk ke dalam
ruangan. Seseorang dengan buku tebal di tangannya melangkah ke dalam kelas dan
menjadikan suasana hening dan sedikit nampak tegang. Tak satupun berani
bersuara selama dosen berdiri di hadapan kelas selain menggerakkan balpoint di
atas kertas sambil berkonsentrasi memperhatikan pemberi materi, yang dengan
piawai memaparkan penjelasan mengenai mata kuliah pegangannya. Ketegangan mulai
mencair ketika sang dosen mengakhiri pertemuan dan berpamitan pada penghuni
ruangan, setelah sebelumnya meminta ketua kelas untuk mengumpulkan tugas yang
diberikan pada pertemuan minggu lalu. Lembayung berjalan melintas diantara
ruang-ruang kelas fakultas ekonomi di lantai dua bertemankan Firza yang
berjalan disampingnya. Sebetulnya ia tak terbiasa melintasi jalan itu, karena
untuk sampai di lantai satu ia harus memutar dan menuruni tangga di pojok
ruang, yang akan mempertemukan dia dengan komawa II di dekat tangga, tempat
Rhaka dan kawan - kawannya nongkrong selepas merayap di papan panjat. Lembayung
berharap akan bertemu Rhaka di tempat ia bersama kawannya biasa menghabiskan es
jeruk di meja dekat tangga. Sepanjang langkahnya Firza betanya-tanya dalam
hati, mengapa Lembayung tak seperti biasa mengajaknya melewati jalan ini. Tapi
pertanyaan pun ia simpan rapi sebagai bahan rumpian jika ia bersarang di tempat
Lembayung nge-kost. Setelah memastikan bahwa orang yang telah membuat hatinya
dihinggapi rasa rindu tak berada di tempat tersebut, Lembayung meneruskan
langkahnya menuruni tangga dan berjalan melintasi papan panjat. Ia pikir
barangkali Rhaka ada diantara mereka yang berkumpul di dekat papan panjat.
Lembayung menarik nafas panjang, kemudian menyampaikan sesuatu pada Firza yang
masih tak bicara selama ia bersamanya selepas perkuliahan berakhir.
“Jika kau ada tujuan lain selain
menemaniku berkeliling kampus, sebaiknya biarkan saja aku sendiri disini.
Aku tak ingin mengganggu rencanamu hari ini”. Pinta Lembayung pada Firza yang
masih setia menemaninya. Firza menggelengkan kepala dengan sorot mata
menyiratkan segudang tanya dalam benaknya.
“Sebenarnya kita mencari apa Bay, hingga
harus berputar-putar seperti sedang peragaan busana saja”. Akhirnya pertanyaan
itu keluar juga dari benak Firza. Ia heran pada Lembayung yang tak memberi tahu
maksud ia mengajaknya mondar-mandir mengitari kampus. Lembayung tersenyum
mendapat pertanyaan dari Firza. Seakan tak memperdulikan rasa ingin tahu
temannya. Ia menggoda Firza dengan gurauan yang membuatnya semakin penasaran.
“Aku belum menemukan garis finish yang
aku cari saat ini Za”. Canda lembayung nyeletuk tanpa pikir panjang.
Seolah-olah sedang berhadapan dengan kotak yang berjejer mendatar dan menurun
di buku teka teki silang, Firza mengernyitkan keningnnya. Baginya ucapan
Lembayung menjadi sebuah pertanyaan yang harus ia cari jawabannya. Kira-kira
hurup apa saja yang harus diisikan pada kotak kosong untuk memecahkan persoalan
sebagai jawaban dari pertanyaannya.
“Mengapa tak kau katakana saja Bay,
sebenarnya kita sedang mencari apa. Bakso telor ada di samping halaman parkir
jika memang itu yang kau cari. Atau jus alpukat, ada di komawa II jika garis
finishmu disana”. Firza menyindir Lembayung dengan wajah cemberut. Dan secara
spontan Lembayung mengarahkan jari telunjuknya pada laki-laki yang sedang
berjalan di depan kantin, melintasi sekretariat Senat Mahasiswa dan menghilang
di balik ruangan gedung Para Petinggi fakultas ekonomi.
“Garis finishku tadi ada disana Za. Ia
baru saja menghilang dibalik gedung itu.” Ungkap Lembayung menunjukkan wajah
ceria pada gadis yang menemaninya. Sebaliknya Firza semakin cemberut. Kedua
tangan bertumpu di pinggangnya dan celoteh pun berhamburan darinya. “Pantas
saja kalau begitu. Jika tahu yang kau cari tak menetap di suatu tempat, aku tak
akan mengintilmu kesana kemari. Sekarang apa yang akan kita perbuat?”.
Lembayung tersipu mendapati dirinya di
berendel perkataan seperti itu oleh kawannya. Tapi ia berusaha untuk tetap
bersikap tenang. Di gandengnya tangan Firza dengan menyelipkan selembar
senyuman yang ia bentuk dengan bibirnya.
“Jika kau berpikir senyuman itu akan
membuat rasa kesalku hilang, itu salah besar Bay. Tapi semangkuk bakso dan
segelas jus alpukat mungkin dapat meredakan kekesalanku”. Firza coba
menegosiasikan perasaannya saat itu. Lembayung tertawa melihat raut muka teman
di sampingnya. Setelah Lembayung menyetujui permintaan Firza, ia pun berjalan
menaiki tangga melewati meja yang berjejer di depan komawa II.
Di bangku panjang depan sekretariat KMPA, Rhaka tampak asyik bernyanyi sambil memainkan gitar bersama teman-teman KSM dan anak-anak UKM lainnya. Lagu umar bakri, ambulan Zg-Zag dan lagu memang milik grup slank pun dinyanyikan penuh semangat. Karena kebetulan saat itu Rhaka dan kawan - kawan lainnya tak ada jadwal kuliah lagi, mereka mengisi hari dengan berkumpul sambil bernyanyi bersama. Pada waktu yang sama Lembayung mengajak Firza memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di depan sekretariat Komawa. Rendy yang begitu memergoki kedatangan Lembayung sedang berjalan menuju ke arahnya, mencolek tangan Rhaka yang masih memainkan senar-senar gitar dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Rhaka menoleh ke arah yang di maksud Rendy tanpa menghentikan jemari tangannya memainkan gitar. Ia beranjak dari tempatnya, kemudian memberikan gitar pada Rendy ketika Lembayung telah berada di dekat kerumunan. Rhaka menyambut kehadiran Lembayung dengan seutas senyum dan menyapanya sehangat mungkin. Lembayung pun membalasnya dengan seikat senyuman semanis mungkin. Setelah berbincang beberapa saat, mereka berlalu meninggalkan kawan - kawannya yang masih larut dalam nyanyian. Firza mengikuti langkah mereka menuju komawa II dari belakang. Lembayung tak ingin menunda janjinya pada Firza untuk mentraktir semangkuk bakso dan segelas jus alpukat yang telah disepakati bersama. Rhaka hanya memesan jus mangga, sementara Lembayung menyertakan batagor diantara segelas jus tomat yang ia pesan. Setelah memperkenalkan Firza pada Rhaka, aktivitas pun terbagi menjadi dua. Firza asyik menyantap bakso sembari sesekali menyeruput jus alpukat kesukaannya, sementara Lembayung tak menyia-nyiakan kesempatan untuk meluapkan perasaan yang sejak tadi pagi ia pendam. Rupanya benih-benih cinta mulai tumbuh dan menjalar di lubuk hati mereka berdua. Sorot mata Lembayung menyiratkan sesuatu yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Meski ia berusaha menyimpannya di lubuk hati yang paling dalam, Rhaka dapat merasakan getaran-getaran yang dipancarkan Lembayung melalui tatapan matanya. Lembayung seakan menari-nari di hamparan rumput merasakan kebahagiaannya saat itu. Hatinya bertaburan bunga-bunga indah menghiasi gejolak rindu akan kehadiran lelaki yang telah membuatnya merasa nyaman jika berada di dekatnya. Firza cepat tanggap terhadap situasi yang tengah dihadapinya. Untuk urusan yang satu ini ia tak ingin melibatkan lebih jauh dan merecoki percakapan mereka. Ia lebih memutuskan untuk berpamitan pergi pada Lembayung dan Rhaka. Meskipun Lembayung berusaha menahan kepergiannya, ia tahu itu hanya basa-basi dan pura-pura belaka. Firza sudah dapat menebak, selepas menu yang dipesan telah raib dari tempatnya, mereka akan melanjutkan obrolan sembari jalan-jalan berkeliling mall untuk sekedar menghabiskan waktu berdua. Firza melangkah pergi menuju tempat parkir dimana ia menyimpan kendaraannya. Lembayung dan Rhaka hanya memandangi kepergian Firza tanpa sepatah kata terucap dari mereka berdua. Lembayung balas melambaikan tangannya ketika kendaraan yang dikemudikan Firza melintas di hadapan mereka. Kini tinggal Lembayung dan Rhaka yang masih setia menghiasi meja komawa II, hingga akhirnya beberapa saat kemudian merekapun beranjak dari tempatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar