Karya : Ipey
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh, waktu maupun tempat kejadian dalam cerita ini, semua hanya kebetulan belaka tanpa unsur kesengajaan.
Tanpa
pikir panjang lagi ia pergi meninggalkan halaman kampus setelah sebelumnya berpamitan dengan
kawan-kawannya. Perlahan langkah kakinya menapaki trotoar jalan menuju arah
pulang. Daun-daun kering berterbangan ditiup angin, menghiasi suasana peralihan
redup cahaya senja menuju gelapnya malam. Melangkah dan terus melangkah tanpa
menghiraukan hiruk pikuk kendaraan yang melintas di jalan raya, hingga suara
adzan maghrib berkumandang jelas nyata terdengar ditelinga, Rhaka menghentikan
langkahnya sejenak, kemudian memutar arah menuju sumber suara adzan
berkumandang. Setelah melepas sepatu lusuhnya, ia beranjak menuju tempat wudhu.
Diteguknya air keran yang ia tadahkan di kedua tangannya selepas berwudhu untuk
melepas dahaga. Sementara itu didalam mesjid para pengabdi Tuhan telah berderet
rapi dibelakang imam untuk memulai shalat berjama’ah. Setengah berlari Rhaka
memasuki mesjid sambil membuka jaket jeans yang membalut tubuhnya.
Niat Rhaka
untuk melanjutkan langkahnya tertahan curah hujan yang tiba-tiba bertebaran
membasahi pelataran mesjid dan sekitarnya. Ia pandangi langit gelap dengan
tatapan mata penuh harap. Sementara di dalam mesjid para pengabdi Tuhan masih
tampak duduk bersila, namun kini tak berderet seperti tadi. Terdengar sang imam
menyampaikan beberapa hal, kemudian para jama’ah mulai melafalkan bacaan
mengikuti imam mesjid yang tadi memimpin shalat berjama’ah. Setelah menimbang
sejenak, ia putuskan untuk kembali ke dalam dan bergabung dengan mereka, sambil
menunggu hujan reda. Di sela-sela pembacaan do’a, dua orang masuk membawa
keranjang berisi bungkusan terbalut kantung plastik berwarna gelap. Ia sodorkan
bungkusan itu pada orang yang duduk bersila di gerbang pintu samping, kemudian
secara estafet menyodorkan pada jamah yang berada disana.
“Alhamdulillah, kalau rezeki memang tak
kemana”. Ucap syukurnya dalam hati.
Selesai
menunaikan berjama’ah shalat isya, Rhaka melanjutkan perjalanannya meski rintik
gerimis hujan masih menyelimuti dinginnya malam. Tepat dipertigaan jalan,
tiba-tiba hujan turun begitu derasnya disertai angin dan petir saling
bersahutan. Rhaka mempercepat langkah kakinya menuju halte bis tak jauh dari
pandangan matanya. Dari arah belakang orang-orang berlarian menuju halte bis
untuk berteduh. Tubuh Rhaka terdorong menyamping kedepan hingga hampir terjatuh
menimpa tanaman dipinggir trotoar ketika seseorang menyenggolnya, dan bungkus
makanan digenggamannya pun terhempaskan kemudian terinjak orang-orang yang
berlarian menuju tempat berteduh. Untuk sekejap ia hanya mampu memandangi
bungkus makanan yang berserakan di trotoar jalan tanpa mampu berbuat apapun.
Sementara itu halte bis yang tadinya kosong, kini penuh berdesakan oleh para
pejalan kaki. Ia coba mengingat-ingat siapa orang yang telah menyenggolnya
tadi, sambil sesekali menebar pandangan pada setiap wajah disekitarnya. Namun
percuma saja, ia melakukan itu semua. Kini ia hanya bisa diam membisu,
menyaksikan curah hujan yang semakin deras. Tak lama kemudian ia memegangi
perutnya yang bersuara minta dikasihani, dan ia masih harus menempuh setengah
perjalanan lagi menuju tempat tujuan.
“Untung saja masih tersisa dua bungkus mie
instant di kamar kost untuk mengisi perutku”. Ungkapnya dalam hati.
Waktu
menunjukkan pukul 21.00 wib, ketika ia menatap jam weker diatas meja. Setelah
menunggu beberapa saat, Rhaka menyantap lahap seduhan mie instant yang
dibuatnya. Baru saja ia hendak beranjak dari tempatnya untuk menyimpan mangkuk,
seseorang memanggilnya sambil mengetuk pintu kamar. Tak begitu jelas siapa yang
memanggilnya, karena hujan, petir dan angin kembali menyapa malam saat itu.
“Siapa itu?”, tanya Rhaka sembari melangkah
menuju pintu kamar.
“Weeey, siapa ini yang datang?”, sahutnya
setelah tahu siapa yang mendatanginya. “Tumben-tumbenan lagi mau ke tempatku
Yor, ada apa nich?”, sambung Rhaka sambil memberi isyarat pertanda
mempersilahkannya masuk. Tanpa ragu, Yori bergegas mengikuti Rhaka ke dalam.
“Masih ada secangkir kopi buat temenin
martabak yang aku bawa nggak Ka?. Yori balik bertanya.
“Tenang aja, kalau nggak salah masih ada
sedikit kopi. Sepertinya cukup untuk teman ngobrol”. Jawab Rhaka meyakinkan
sahabatnya. Yori melepas jaket setelah menyimpan bawaannya di atas meja.
Diraihnya handuk yang menggantung di dinding kamar, kemudian menyeka bagian
tubuh yang terkena air hujan. Rhaka mengambil dua buah gelas untuk menyeduh
kopi.
“Sorry Yor, mungkin kopinya akan sedikit
pahit buat kamu. Persediaan gula pasirnya
sudah menipis. Tak mengapa kan sesekali merasakan kopi yang biasa kuminum?”.
Canda Rhaka sambil meninju tangan Yori.
Sebentar kemudian dua gelas berisi kopi
hitam telah siap menemani mereka mengobrol.
Tak
terasa waktu di jam weker telah menunjukkan pukul 12.45 wib, dan seduhan kopi
serta martabak yang dibawa Yori pun lenyap sudah dari pandangan. Hanya menyisakan
ampas digelas serta bungkus makanan tergeletak di lantai. Yori mohon pamit
pergi, karena masih ada yang harus ia temui malam itu di tempat lain. Rhaka
pikir ia akan menginap, tapi setelah tahu alasan sahabatnya untuk memaksa
pergi, ia pun tak menghalanginya.
“Aku minta waktumu untuk besok bertemu
kawan-kawan di tempat biasa. Sempatkan meski hanya sebentar. Aku butuh
kedatanganmu untuk meyakinkan kawan-kawan kita nanti”, jelas Yori sebelum
beranjak pergi. Rhaka hanya mengangguk sambil meninju tangan Yori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar