Kamis, 05 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #1)



Karya : Ipey

Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh, waktu maupun tempat kejadian dalam cerita ini, semua hanya kebetulan belaka tanpa unsur kesengajaan.

        Tanpa pikir panjang lagi ia pergi meninggalkan halaman kampus  setelah sebelumnya berpamitan dengan kawan-kawannya. Perlahan langkah kakinya menapaki trotoar jalan menuju arah pulang. Daun-daun kering berterbangan ditiup angin, menghiasi suasana peralihan redup cahaya senja menuju gelapnya malam. Melangkah dan terus melangkah tanpa menghiraukan hiruk pikuk kendaraan yang melintas di jalan raya, hingga suara adzan maghrib berkumandang jelas nyata terdengar ditelinga, Rhaka menghentikan langkahnya sejenak, kemudian memutar arah menuju sumber suara adzan berkumandang. Setelah melepas sepatu lusuhnya, ia beranjak menuju tempat wudhu. Diteguknya air keran yang ia tadahkan di kedua tangannya selepas berwudhu untuk melepas dahaga. Sementara itu didalam mesjid para pengabdi Tuhan telah berderet rapi dibelakang imam untuk memulai shalat berjama’ah. Setengah berlari Rhaka memasuki mesjid sambil membuka jaket jeans yang membalut tubuhnya.
        Niat Rhaka untuk melanjutkan langkahnya tertahan curah hujan yang tiba-tiba bertebaran membasahi pelataran mesjid dan sekitarnya. Ia pandangi langit gelap dengan tatapan mata penuh harap. Sementara di dalam mesjid para pengabdi Tuhan masih tampak duduk bersila, namun kini tak berderet seperti tadi. Terdengar sang imam menyampaikan beberapa hal, kemudian para jama’ah mulai melafalkan bacaan mengikuti imam mesjid yang tadi memimpin shalat berjama’ah. Setelah menimbang sejenak, ia putuskan untuk kembali ke dalam dan bergabung dengan mereka, sambil menunggu hujan reda. Di sela-sela pembacaan do’a, dua orang masuk membawa keranjang berisi bungkusan terbalut kantung plastik berwarna gelap. Ia sodorkan bungkusan itu pada orang yang duduk bersila di gerbang pintu samping, kemudian secara estafet menyodorkan pada jamah yang berada disana.
“Alhamdulillah, kalau rezeki memang tak kemana”. Ucap syukurnya dalam hati.

   Selesai menunaikan berjama’ah shalat isya, Rhaka melanjutkan perjalanannya meski rintik gerimis hujan masih menyelimuti dinginnya malam. Tepat dipertigaan jalan, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya disertai angin dan petir saling bersahutan. Rhaka mempercepat langkah kakinya menuju halte bis tak jauh dari pandangan matanya. Dari arah belakang orang-orang berlarian menuju halte bis untuk berteduh. Tubuh Rhaka terdorong menyamping kedepan hingga hampir terjatuh menimpa tanaman dipinggir trotoar ketika seseorang menyenggolnya, dan bungkus makanan digenggamannya pun terhempaskan kemudian terinjak orang-orang yang berlarian menuju tempat berteduh. Untuk sekejap ia hanya mampu memandangi bungkus makanan yang berserakan di trotoar jalan tanpa mampu berbuat apapun. Sementara itu halte bis yang tadinya kosong, kini penuh berdesakan oleh para pejalan kaki. Ia coba mengingat-ingat siapa orang yang telah menyenggolnya tadi, sambil sesekali menebar pandangan pada setiap wajah disekitarnya. Namun percuma saja, ia melakukan itu semua. Kini ia hanya bisa diam membisu, menyaksikan curah hujan yang semakin deras. Tak lama kemudian ia memegangi perutnya yang bersuara minta dikasihani, dan ia masih harus menempuh setengah perjalanan lagi menuju tempat tujuan.
“Untung saja masih tersisa dua bungkus mie instant di kamar kost untuk mengisi perutku”. Ungkapnya dalam hati.
        Waktu menunjukkan pukul 21.00 wib, ketika ia menatap jam weker diatas meja. Setelah menunggu beberapa saat, Rhaka menyantap lahap seduhan mie instant yang dibuatnya. Baru saja ia hendak beranjak dari tempatnya untuk menyimpan mangkuk, seseorang memanggilnya sambil mengetuk pintu kamar. Tak begitu jelas siapa yang memanggilnya, karena hujan, petir dan angin kembali menyapa malam saat itu.
“Siapa itu?”, tanya Rhaka sembari melangkah menuju pintu kamar.
“Weeey, siapa ini yang datang?”, sahutnya setelah tahu siapa yang mendatanginya. “Tumben-tumbenan lagi mau ke tempatku Yor, ada apa nich?”, sambung Rhaka sambil memberi isyarat pertanda mempersilahkannya masuk. Tanpa ragu, Yori bergegas mengikuti Rhaka ke dalam.
“Masih ada secangkir kopi buat temenin martabak yang aku bawa nggak Ka?. Yori balik bertanya.
“Tenang aja, kalau nggak salah masih ada sedikit kopi. Sepertinya cukup untuk teman ngobrol”. Jawab Rhaka meyakinkan sahabatnya. Yori melepas jaket setelah menyimpan bawaannya di atas meja. Diraihnya handuk yang menggantung di dinding kamar, kemudian menyeka bagian tubuh yang terkena air hujan. Rhaka mengambil dua buah gelas untuk menyeduh kopi.
“Sorry Yor, mungkin kopinya akan sedikit pahit buat kamu. Persediaan  gula pasirnya sudah menipis. Tak mengapa kan sesekali merasakan kopi yang biasa kuminum?”. Canda Rhaka sambil meninju tangan Yori.
Sebentar kemudian dua gelas berisi kopi hitam telah siap menemani mereka mengobrol.
        Tak terasa waktu di jam weker telah menunjukkan pukul 12.45 wib, dan seduhan kopi serta martabak yang dibawa Yori pun lenyap sudah dari pandangan. Hanya menyisakan ampas digelas serta bungkus makanan tergeletak di lantai. Yori mohon pamit pergi, karena masih ada yang harus ia temui malam itu di tempat lain. Rhaka pikir ia akan menginap, tapi setelah tahu alasan sahabatnya untuk memaksa pergi, ia pun tak menghalanginya.
“Aku minta waktumu untuk besok bertemu kawan-kawan di tempat biasa. Sempatkan meski hanya sebentar. Aku butuh kedatanganmu untuk meyakinkan kawan-kawan kita nanti”, jelas Yori sebelum beranjak pergi. Rhaka hanya mengangguk sambil meninju tangan Yori.                                   

Tidak ada komentar: