Kamis, 12 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #6)



Karya : Ipey

        Rasa mual mendorongnya memuntahkan kembali makanan yang telah dikonsumsinya. Ia memaksakan berjalan meski sempoyongan, memegangi tembok sambil menahan rasa pening dikepala. Jari-jari dikedua tangannya terkepal dan bergetar menahan dingin yang merasuki tubuhnya meski sweater dan selimut memabalutinya. Perlahan beranjak dari tempat tidur, mengambil kaus kaki untuk kemudian memakaikannya dengan harapan dapat mengusir rasa dingin menyelimutinya. Namun itu pun sia-sia, karena tak memberi pengaruh berarti terhadap apa yang dirasakan. Dua butir obat sekaligus yang ia minum sebelum berbaring belum juga menunjukkan kemanjuran khasiatnya. Hanya meringis dan mengaduh dapat ia lakukan, tak lebih tak kurang. Keringat dingin perlahan merambati pakaiannya, hingga tembus membasahi tempat dimana ia berbaring tak berdaya. Dalam hati ia berucap lirih. “Inikah saatnya Kau akan menjemputku pulang kepangkuan-Mu. Jika ini benar waktu untukku menghadap-Mu, mudahkan dan ringankanlah dengan segala kuasa-Mu. Bawa aku dengan kelembutan untuk keikhlasanku. Namun apabila ini hanya sekedar bentuk rasa kasih sayang-Mu, percepatlah untuk kesembuhannya”.
Sebentar kemudian matanya meredup. Pandangan disekelilingnya tampak seperti bayangan, samar-samar menghilang dan kemudian semuanya menjadi gelap.

   
    Dihadapannya terbentang hamparan rumput ilalang sejauh mata memandang. Awan putih berarak menghiasi langit tinggi bagai lukisan karya seniman ternama dibelahan dunia. Senyum dan tawa riang mengiringi langkah-langkah tak berbalut alas kaki. Berlarian kesana kemari mengejar kupu-kupu terbang, seakan tak memberi kesempatan untuk hinggap di ujung tanaman. Berbalut kain putih membungkus tubuh dengan rambut terurai panjang hingga sebatas pinggang. Tangannya terangkat keatas melambai-lambai, seolah ingin mengajaknya menari dan berlari mengelilingi pohon rindang di hamparan luas membentang. Perlahan mereka menghilang dibalik pohon, kemudian tiba-tiba lelaki berjanggut panjang menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tajam. Entah darimana datangnya. Rambut dan sebagian wajah tertutup kain putih tanpa setitik noda pun di helainya. Tak sepatah kata keluar dari mulut lelaki itu. Ia hanya berdiri memandang tanpa mata berkedip, tersenyum ramah memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi, kemudian bergerak perlahan menuju ke arah dimana ia diam mematung tanpa bergerak sedikitpun. Jantungnya berdetak keras manakala lelaki berjanggut panjang mengajaknya bersalaman. Sejenak Rhaka terdiam, hingga lelaki itu kembali mengulurkan tangan. Dengan perasaan tak menentu Rhaka meraih uluran tangan itu dan menyalaminya. Jari-jarinya begitu halus dan lembut bagai jari jemari seorang bayi. Tangan kirinya menepuk pundak Rhaka sebanyak dua kali dengan perlahan, kemudian mengarahkan telunjuk kearah belakang tubuhnya. Rhaka membalikkan badan, memandang ke arah yang dimaksud lelaki itu, namun ia tak melihat apapun di arah sana. Hanya kabut tebal mengelilingi setiap pandangan mata. Ia kembali menoleh ke arah sebelumnya, dan lelaki itu kini sudah tak nampak lagi dihadapan mata.
“Kemana orang yang tadi menyalamiku?”. Ucap Rhaka seketika.
Dua tangan yang menggerak-gerakkan tubuhnya membuat ia tersentak.   Rhaka nampak seperti orang kebingungan ketika menyadari dirinya berada di pangkuan seorang perempuan yang tiba-tiba sudah berada di sana. Ada linangan air di kedua matanya. Ia masih tak mengerti apa yang terjadi, hingga perempuan didekatnya memeluk erat seolah tak ingin melepaskan dekapannya.
“Syukurlah tak terjadi apa-apa denganmu”. Ucapnya lega.
“Apa yang terjadi denganku?. Tanya Rhaka penuh keheranan.
“Sejak kapan kau berada disini?”. Lanjutnya dengan nada pelan.
Diana membaringkan kembali tubuh Rhaka tanpa menjawab pertanyaannya. Setelah yakin semua baik-baik saja, baru kemudian ia menceritakan awal keberadaannya di tempat itu.

*) Kilas balik peristiwa
    
Sepulang membeli buku dan beberapa makanan ringan di tempat yang dikunjungi, niatnya semalam untuk menemui Rhaka tak ditunda-tunda lagi. Dengan balutan kaus putih, celana jeans panjang serta sepatu sport dengan kombinasi warna putih dan pink, ia berjalan memasuki Gang disamping toko poto copy, kemudian mengambil arah kanan di ujung jalan. Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah tua, membuka pagar kawat yang sebagian berkarat, bergerak menuju pintu di pojok halaman samping. Setelah mengetuk beberapa kali dan tak ada respon  dari dalam, ia coba mendorong perlahan pintu yang sedikit menganga. Ia mendapati penghuni kamar tengah berbaring, ditutupi selimut dengan kedua kaki berbalut kaus kaki di ujung tempat tidurnya. Pintu kamar ia biarkan terbuka lebar, kemudian setelah membuka jendela dan meletakkan barang bawaannya baru ia menghampiri lelaki di tempatnya berbaring. Sejenak ia terdiam memandangi wajah pucat dihadapannya dengan dahi berkerut menyiratkan tanya, berkata-kata tanpa suara.
“Pantas saja aku tak dapat menemukannya di kampus, rupanya ia sedang tak sehat. Ketika mampir di tempat biasa ia berkumpul dan menanyakan keberadaannya, tak satupun jawaban memenuhi keinginanku”.
Terpikir dibenak untuk membangunkan lelaki di dekatnya, tapi niat itu ia tepiskan segera. Ia tak ingin mengganggu ketenangan di tidurnya. Sambil mengisi waktu, Diana coba membuka lembaran buku yang tadi ia beli.     Bab I dari judul buku pun telah sampai diujung halaman, namun Rhaka belum juga terbangun dari tidurnya. Ia menjadi gelisah dan penasaran. Tak terdengar suara nafas dari tubuh yang terbaring di jangkauan mata indahnya. Dari semenjak datang sampai ia menuntaskan bacaan halaman akhir bab I judul bukunya, ia tak melihat tubuh Rhaka bergerak walau sedikitpun.
“Masa suara gaduh anak-anak yang bermain di luar sana tak membuat ia terbangun atau bergeming sedkitpun”. Pikirnya penuh kekhawatiran.
“Atau jangan-jangan”.
Pikirannya meracau hingga ke arah sana. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, tubuhnya merinding dibaluti rasa takut bercampur bingung. Tak ingin larut dalam prasangka dan perasaan tak menentu, ia putuskan untuk coba membangunkan Rhaka yang masih terbaring lesu di tempatnya. Beberapa kali ia panggil-panggil namanya. Namun jangankan terbangun, bergeming sedikitpun tidak. Ia kembali memberanikan diri untuk membagunkan secara paksa. Di gerak-gerakkan tubuh Rhaka dengan kedua tangan sekuat tenaganya, hingga tak terasa air mata menetes, membasahi kedua pipinya. Di tengah-tengah kesedihan, kekhawatiran dan kebingungan akan apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba Rhaka tersadar. Tanpa sadar ia merangkul dan memeluknya erat dengan rasa syukur terucap dari hatinya yang tulus.  

               
               

Tidak ada komentar: