Karya : Ipey
Rasa
mual mendorongnya memuntahkan kembali makanan yang telah dikonsumsinya. Ia memaksakan
berjalan meski sempoyongan, memegangi tembok sambil menahan rasa pening
dikepala. Jari-jari dikedua tangannya terkepal dan bergetar menahan dingin yang
merasuki tubuhnya meski sweater dan selimut memabalutinya. Perlahan beranjak
dari tempat tidur, mengambil kaus kaki untuk kemudian memakaikannya dengan
harapan dapat mengusir rasa dingin menyelimutinya. Namun itu pun sia-sia,
karena tak memberi pengaruh berarti terhadap apa yang dirasakan. Dua butir obat
sekaligus yang ia minum sebelum berbaring belum juga menunjukkan kemanjuran
khasiatnya. Hanya meringis dan mengaduh dapat ia lakukan, tak lebih tak kurang.
Keringat dingin perlahan merambati pakaiannya, hingga tembus membasahi tempat
dimana ia berbaring tak berdaya. Dalam hati ia berucap lirih. “Inikah saatnya
Kau akan menjemputku pulang kepangkuan-Mu. Jika ini benar waktu untukku
menghadap-Mu, mudahkan dan ringankanlah dengan segala kuasa-Mu. Bawa aku dengan
kelembutan untuk keikhlasanku. Namun apabila ini hanya sekedar bentuk rasa
kasih sayang-Mu, percepatlah untuk kesembuhannya”.
Sebentar kemudian matanya meredup. Pandangan
disekelilingnya tampak seperti bayangan, samar-samar menghilang dan kemudian
semuanya menjadi gelap.
Dihadapannya
terbentang hamparan rumput ilalang sejauh mata memandang. Awan putih berarak
menghiasi langit tinggi bagai lukisan karya seniman ternama dibelahan dunia.
Senyum dan tawa riang mengiringi langkah-langkah tak berbalut alas kaki.
Berlarian kesana kemari mengejar kupu-kupu terbang, seakan tak memberi
kesempatan untuk hinggap di ujung tanaman. Berbalut kain putih membungkus tubuh
dengan rambut terurai panjang hingga sebatas pinggang. Tangannya terangkat
keatas melambai-lambai, seolah ingin mengajaknya menari dan berlari
mengelilingi pohon rindang di hamparan luas membentang. Perlahan mereka
menghilang dibalik pohon, kemudian tiba-tiba lelaki berjanggut panjang menatap
ke arahnya dengan sorot mata yang tajam. Entah darimana datangnya. Rambut dan
sebagian wajah tertutup kain putih tanpa setitik noda pun di helainya. Tak
sepatah kata keluar dari mulut lelaki itu. Ia hanya berdiri memandang tanpa
mata berkedip, tersenyum ramah memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi,
kemudian bergerak perlahan menuju ke arah dimana ia diam mematung tanpa
bergerak sedikitpun. Jantungnya berdetak keras manakala lelaki berjanggut
panjang mengajaknya bersalaman. Sejenak Rhaka terdiam, hingga lelaki itu
kembali mengulurkan tangan. Dengan perasaan tak menentu Rhaka meraih uluran
tangan itu dan menyalaminya. Jari-jarinya begitu halus dan lembut bagai jari
jemari seorang bayi. Tangan kirinya menepuk pundak Rhaka sebanyak dua kali
dengan perlahan, kemudian mengarahkan telunjuk kearah belakang tubuhnya. Rhaka
membalikkan badan, memandang ke arah yang dimaksud lelaki itu, namun ia tak
melihat apapun di arah sana. Hanya kabut tebal mengelilingi setiap pandangan
mata. Ia kembali menoleh ke arah sebelumnya, dan lelaki itu kini sudah tak
nampak lagi dihadapan mata.
“Kemana orang yang tadi menyalamiku?”. Ucap
Rhaka seketika.
Dua tangan yang menggerak-gerakkan tubuhnya
membuat ia tersentak. Rhaka nampak seperti orang kebingungan ketika menyadari
dirinya berada di pangkuan seorang perempuan yang tiba-tiba sudah berada di
sana. Ada linangan air di kedua matanya. Ia masih tak mengerti apa yang
terjadi, hingga perempuan didekatnya memeluk erat seolah tak ingin melepaskan
dekapannya.
“Syukurlah tak terjadi apa-apa denganmu”. Ucapnya
lega.
“Apa yang terjadi denganku?. Tanya Rhaka
penuh keheranan.
“Sejak kapan kau berada disini?”. Lanjutnya
dengan nada pelan.
Diana membaringkan kembali tubuh Rhaka
tanpa menjawab pertanyaannya. Setelah yakin semua baik-baik saja, baru kemudian
ia menceritakan awal keberadaannya di tempat itu.
*) Kilas balik peristiwa
Sepulang membeli buku dan
beberapa makanan ringan di tempat yang dikunjungi, niatnya semalam untuk
menemui Rhaka tak ditunda-tunda lagi. Dengan balutan kaus putih, celana jeans
panjang serta sepatu sport dengan kombinasi warna putih dan pink, ia berjalan memasuki
Gang disamping toko poto copy, kemudian mengambil arah kanan di ujung jalan.
Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah tua, membuka pagar kawat yang
sebagian berkarat, bergerak menuju pintu di pojok halaman samping. Setelah
mengetuk beberapa kali dan tak ada respon
dari dalam, ia coba mendorong perlahan pintu yang sedikit menganga. Ia
mendapati penghuni kamar tengah berbaring, ditutupi selimut dengan kedua kaki
berbalut kaus kaki di ujung tempat tidurnya. Pintu kamar ia biarkan terbuka
lebar, kemudian setelah membuka jendela dan meletakkan barang bawaannya baru ia
menghampiri lelaki di tempatnya berbaring. Sejenak ia terdiam memandangi wajah
pucat dihadapannya dengan dahi berkerut menyiratkan tanya, berkata-kata tanpa
suara.
“Pantas saja aku tak dapat menemukannya di
kampus, rupanya ia sedang tak sehat. Ketika mampir di tempat biasa ia berkumpul
dan menanyakan keberadaannya, tak satupun jawaban memenuhi keinginanku”.
Terpikir dibenak untuk membangunkan lelaki
di dekatnya, tapi niat itu ia tepiskan segera. Ia tak ingin mengganggu
ketenangan di tidurnya. Sambil mengisi waktu, Diana coba membuka lembaran buku
yang tadi ia beli. Bab I
dari judul buku pun telah sampai diujung halaman, namun Rhaka belum juga
terbangun dari tidurnya. Ia menjadi gelisah dan penasaran. Tak terdengar suara
nafas dari tubuh yang terbaring di jangkauan mata indahnya. Dari semenjak
datang sampai ia menuntaskan bacaan halaman akhir bab I judul bukunya, ia tak melihat
tubuh Rhaka bergerak walau sedikitpun.
“Masa suara gaduh anak-anak yang bermain di
luar sana tak membuat ia terbangun atau bergeming sedkitpun”. Pikirnya penuh
kekhawatiran.
“Atau jangan-jangan”.
Pikirannya meracau hingga ke arah sana.
Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, tubuhnya merinding dibaluti rasa takut
bercampur bingung. Tak ingin larut dalam prasangka dan perasaan tak menentu, ia
putuskan untuk coba membangunkan Rhaka yang masih terbaring lesu di tempatnya.
Beberapa kali ia panggil-panggil namanya. Namun jangankan terbangun, bergeming
sedikitpun tidak. Ia kembali memberanikan diri untuk membagunkan secara paksa. Di
gerak-gerakkan tubuh Rhaka dengan kedua tangan sekuat tenaganya, hingga tak
terasa air mata menetes, membasahi kedua pipinya. Di tengah-tengah kesedihan,
kekhawatiran dan kebingungan akan apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba Rhaka
tersadar. Tanpa sadar ia merangkul dan memeluknya erat dengan rasa syukur
terucap dari hatinya yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar