Selasa, 17 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #9)



Karya : Ipey

     Deras hujan di pagi ini membuat perasaannya tak menentu. Hatinya menjadi bimbang dan bertanya-tanya, apakah yang dinanti-nantikan akan datang seperti janjinya kemarin sore atau bagaimana. Beberapa kali ia coba menghubungi, namun tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya diminta untuk meninggalkan pesan. Ia bergerak cepat menuju pintu setiap kali terdengar bunyi klakson dari luar pagar rumahnya, dan untuk kesekian kali juga ia harus menarik nafas kekecewaan.
Dua jam lebih ia menunggu di ruang tamu dengan harap-harap  cemas, hingga hujan deras menyisakan gerimis panjang. Tak  lama berselang bel pun berbunyi nyaring melegakan perasaannya. Seketika wajah muram itu berubah saat seseorang melambaikan tangan dari luar pagar dengan melemparkan senyum ke arahnya. Tanpa pikir panjang ia bergegas membukakan pintu pagar, mempersilahkannya masuk. Setelah mengambil beberapa barang dari bagasi mobilnya, Arin mengikuti tuan rumah ke ruang tengah.
“Beberapa kali tadi aku menghubungimu, tapi tak ada jawaban”. Ucap tuan rumah tanpa menghentikan langkahnya. Arin menimpali perkataan tuan rumah sambil memegangi pergelangan tangannya.
“Aduh sorry banget Bay, tadi itu aku sedang di kamar mandi. Beneran Bay. Sorry banget ya”. Arin coba memberi alasan seraya memohon mempercayai ucapannya.
“Yang penting sekarang aku sudah disini kan Bay”. Ucapnya kemudian.
Lembayung tak menanggapi dengan sepatah katapun. Arin hanya menerima tatapan mata lucu dengan bibir monyong didorong ke depan.

    Sementara itu di ruang garasi sebuah rumah, Arok dan beberapa kawan tampak sengit berbagi kata-kata seputar rencananya mendatangi pihak-pihak terkait, yang menurut perhitungan mereka dapat memberi jalan penyelesaian terhadap persoalan yang selama ini menjadi pokok pembahasan di tempat mereka berkumpul. Sepagi ini mereka telah bersiap guna mematangkan rencana, dengan harapan semua dapat berjalan baik sesuai keinginan. Segala sesuatunya telah mereka pertimbangkan hingga sampai pada suatu kesimpulan dan menuai kesepakatan bersama. Yori meminta semua kawan-kawannya bersiap untuk berangkat setelah menyampaikan kabar mengenai ketidakikut sertaan kawan mereka bersamanya.
“Rhaka nggak bisa ikut dengan kita. Ada sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan. Hari ini ada janji dengan salah satu dosennya. Ia akan bergabung dengan kita selepas urusannya selesai, jika waktu, situasi dan kondisinya memungkinkan”.
Mereka saling berpandangan satu sama lain mendengar penjelasan Yori akan hal itu.
“Bukankah langkah ini bagian dari rencananya?”.
Aray menyahut dengan nada kecewa. Yori berusaha menenangkan suasana, kemudian meminta semua agar tetap pada rencana semula. Rendy bergerak satu langkah kedepan, lalu ia mencoba meyakinkan kawan-kawannya dengan kalimat penegasan atas apa yang disampaikan Yori pada mereka.
“Aku setuju, bahwa kita akan tetap pada rencana semula. Tak ada alasan lagi bagi kita menunda agenda ini. Kita yakini bersama, ini akan menjadi hari yang sangat berarti bagi mereka disana”. Tegasnya semangat, penuh keyakinan, sambil melirik ke arah Yori yang berdiri tegap. Yori memberi isyarat atas pernyataan sahabatnya. Setelah memastikan semua sepakat bergerak, Yori meminta kawan-kawan berkemas, mempersiapkan segala sesuatu yang mereka perlukan.
“Sebelum berangkat, sejenak kita do’a bersama untuk kelancaran dan keberhasilan perjuangan kita”. Lanjut Yori kemudian.  
     Di beberapa meja ruang dosen, Rhaka dan kedua mahasiswa lainnya tampak berpikir keras, berpacu waktu dengan soal-soal dihadapannya. Setelah memeriksa ulang lembar jawaban dan memastikan semua tidak ada yang terlewatkan, Rhaka menyerahkan semua hasilnya pada dosen penguji. Ia hanya berharap beliau berkenan memberikan kemudahan untuk nilai kelulusan atas upayanya, demi kelancaran mengambil mata kuliah di semester mendatang.
“Saya berharap ini ujian susulan terakhirmu, karena jika bertemu kembali dengan  mata kuliah yang saya berikan selanjutnya, tidak ada lagi susulan seperti sekarang ini”. Pesan bapak dosen memberi penegasan.
“Baik pak, terima kasih atas kesempatan ini untuk kami ”. Jawab Rhaka sambil melirik pada kedua temannya, kemudian mengangguk hormat pada dosen penguji sebelum kemudian ia meninggalkan ruangan.
     Tak seorang pun berada di sekretariat ketika ia memasuki ruangan. Di atas meja beberapa bekas bungkus makanan dan minuman berebut tempat saling bertumpukan, begitupun di lantai ruangan. Kini pandangannya tertuju pada kaleng bekas yang telah berubah fungsi di atas bangku panjang. Dari dalamnya mengepulkan asap sisa rokok, kemudian beralih pandang ke rak buku dimana menggantung sesuatu disana. Rhaka mengambil sapu dipojok ruangan, setelah sebelumnya mengamankan bungkus kantung plastik di rak buku agar tak terkontaminasi bakteri dari debu yang berterbangan. Tumpukan sampah ia masukan ke dalam kardus bekas mie instant yang tergeletak begitu saja di lantai. Keringat dikeningnya ia seka perlahan dengan ujung pergelangan tangan, sambil sesekali menghela nafas panjang.  
Tak lama kemudian seseorang datang menyapa sambil mengajaknya bersalaman. Matanya berkeliling ruangan, lalu berhenti di white board dimana disana berderet beberapa agenda kegiatan hingga akhir bulan.
“Apa kau mencari sesuatu blur?”. Tanya Rhaka pada Rio dengan panggilan akrabnya.
“nggak ada bray”. Jawab Rio singkat dengan wajah sepertinya menyembunyikan sesuatu. Rhaka hanya tersenyum kecil menyikapi sikapnya.
“Hampir saja ruangan ini terbakar, seandainya saja aku tak datang kesini”. Lanjut Rhaka memancing reaksi kawan bicaranya. Rio memutar badan, melangkah cepat ke arahnya, lalu mengambil tempat tak jauh darinya.
“Memangnya kenapa sampai mau terbakar begitu?”. Tanya Rio sekenanya penuh tanya. Rhaka diam sejenak, tak segera menyahut. Rio pun semakin penasaran dibuatnya.
“Tadi sewaktu aku masuk ruangan ini, ada puntung rokok ditumpukan bekas bungkus makanan di atas meja. Mungkin terburu-buru atau bagaimana, hingga lupa mematikannya sebelum pergi”. Rhaka coba memberi penjelasan sesantai mungkin sambil mengelap meja. Sudut matanya mendapati perubahan riak wajah di raut muka Rio ketika mendengar penuturannya.
“Seingatku, tadi aku membuang sisa batang rokok ke dalam asbak, tidak menaruhnya di atas meja!”. Rio coba beralibi atas penuturan kawannya ini. Rhaka pun kembali tersenyum dibuatnya.
“Di rak buku tadi aku menemukan sesuatu terbungkus kantung plastik, dan hampir saja aku buang, karena aku pikir makanan basi”. Lanjut Rhaka kemudian.
“Terus dimana sekarang bungkusannya?”. Rio merespon perkataan kawannya secara spontan.
“Isinya habis aku makan”. Canda Rhaka menanggapi sikap Rio.
“yaaaah, segitunya banget bray”. Rio berucap sambil menyandarkan badan. Rhaka menepuk tangan Rio, lalu mengarahkan jari tangan ke lemari kayu peneyekat ruangan, seraya berucap.
“Makananmu ada di balik lemari blur, dan masih utuh tanpa tersentuh lidahku sedikitpun”.
Meski tampak sedikit ragu, Rio bergegas menuju ke balik lemari kayu penyekat ruangan. Wajahnya kembali berseri setelah memastikan semua masih pada tempat yang semestinya.
     Di ruang tengah sebuah rumah masih menyisakan perbincangan dua pasang mata, disertai canda di sela-sela keseriusan obrolannya. Pemilik sepasang mata indah sesekali berbinar bahagia dengan tatapan menerawang jauh. Sementara kawan bicaranya lebih memilih menjadi pendengar setia. Ia coba menyimak setiap kalimat yang di kisahkan sahabatnya. Terkadang ia pun ikut tersenyum bahagia diantara keprihatinan yang dirasakan penutur kata-kata.
“Aku tak mengira ia masih mengingat kebersamaan yang dilewati bersamaku dahulu. Bahkan sempat terpikir jika ia mungkin sudah begitu saja melupakannya. Jujur waktu itu aku sengaja datang ketempat perbelanjaan, ketika teringat tanggal di bulan itu merupakan salahsatu peristiwa yang sepertinya tak dapat aku hapus dari kehidupanku begitu saja. Aku juga tak mengerti mengapa hal itu terus menempel dalam ingatanku, meski telah sekian lama berlalu”. Papar Lembayung panjang lebar. Matanya menyiratkan kebahagian yang mungkin tak dapat dimengerti sahabat didekatnya.
“Kesederhanaan dan keteduhan kata-katanya selalu membuat aku merindukan kehadirannya. Bicara apa adanya, tanpa menutupi keberadaannya. Cara dia memperlakukan aku sebagai wanita membuat aku merasa istimewa disisinya. Selalu menjaga dan melindungi kehormatanku sebagai wanita dimata semua orang, baik yang ia kenal maupun tidak ia kenal. Aku tahu dalam hal lain ia tak seberuntung kawan-kawannya yang mendapat perlakuan manja dari kedua orang tuanya. Tapi entah kenapa aku merasa ia lebih beruntung dari yang lainnya karena mendapatkan aku disisinya”. Ia bertutur kata seakan dirinya merasa berada di masa-masa itu. Arin mencibir sambil mencubit pergelangan tangan Lembayung.
“Cie cieee, kegeeran banget sich ibu yang satu ini. Ingat tuh anak dan suamimu”.  Canda Arin sambil mengingatkannya.
Lembayung mengarahkan pandangan matanya ke langit-langit, kemudian menatap jauh ke luar jendela.
“Kamu pikir dia tidak mengingatkan aku sepertimu?. Aku masih ingat betul ketika ia memintaku dengan sangat, agar aku menyayangi anakku dan menjaga kebersamaan dengan suamiku kini, meski hingga saat ini aku masih tidak mengerti tentang apa yang dikatakannya. Aku masih belum memahami arti cinta dan kebahagiaan seperti yang di maksudkannya. Oh, ya aku jadi teringat pepatah pernah mengatakan bahwa kebahagian itu sederhana. Bahagia melihat orang yang dikasihinya merasakan kebahagiaan. Mungkin itu maksudnya ya Rin?”. Lembayung menghentikan penuturannya dengan satu pertanyaan yang memaksa Arin mengernyitkan keningnya.
“Mana aku tahu Bay!”. Jawab Arin singkat sambil mengangkat kedua tangan dan bahu lengannya. Lembayung hanya menatap sahabatnya dengan raut muka menunjukkan ketidakpuasan atas ungkapannya.
“ah sudahlah, tak akan mengerti jika kau tak mengalaminya. Percuma juga aku bicarakan ini padamu”. Lanjut Lembayung sambil beranjak dari tempatnya menuju dapur, menghentikan sejenak keramah tamahannya.
“Ingat loh Rin, ini menjadi obrolan rahasia kita ya”. Lembayung coba mengingatkan Arin untuk menyimpan rapih kisah yang disampaikannya.
Arin masih tak beranjak dari tempatnya. Dalam hatinya mengantri beberapa pertanyaan. Siapa lelaki masa lalu yang diceritakan Lembayung padanya. Jangankan sosok atau ciri-cirinya, bahkan namanya pun ia tidak tahu, karena Lembayung tak menyebut nama disetiap penuturannya. Ia berpikir sejenak, mengira-ngira barangkali ia pernah mengenalnya. Tapi segera ia sapu apa yang bersarang dibenaknya saat itu.

        
                                  
     
                    

  

Tidak ada komentar: