Karya : Ipey
Deras
hujan di pagi ini membuat perasaannya tak menentu. Hatinya menjadi bimbang dan
bertanya-tanya, apakah yang dinanti-nantikan akan datang seperti janjinya
kemarin sore atau bagaimana. Beberapa kali ia coba menghubungi, namun tak ada
jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya diminta untuk meninggalkan pesan.
Ia bergerak cepat menuju pintu setiap kali terdengar bunyi klakson dari luar
pagar rumahnya, dan untuk kesekian kali juga ia harus menarik nafas kekecewaan.
Dua jam lebih ia menunggu
di ruang tamu dengan harap-harap cemas,
hingga hujan deras menyisakan gerimis panjang. Tak lama berselang bel pun berbunyi nyaring melegakan
perasaannya. Seketika wajah muram itu berubah saat seseorang melambaikan tangan
dari luar pagar dengan melemparkan senyum ke arahnya. Tanpa pikir panjang ia
bergegas membukakan pintu pagar, mempersilahkannya masuk. Setelah mengambil
beberapa barang dari bagasi mobilnya, Arin mengikuti tuan rumah ke ruang
tengah.
“Beberapa kali tadi aku menghubungimu, tapi
tak ada jawaban”. Ucap tuan rumah tanpa menghentikan langkahnya. Arin menimpali
perkataan tuan rumah sambil memegangi pergelangan tangannya.
“Aduh sorry banget Bay, tadi itu aku sedang
di kamar mandi. Beneran Bay. Sorry banget ya”. Arin coba memberi alasan seraya
memohon mempercayai ucapannya.
“Yang penting sekarang aku sudah disini kan
Bay”. Ucapnya kemudian.
Lembayung tak menanggapi dengan sepatah
katapun. Arin hanya menerima tatapan mata lucu dengan bibir monyong didorong ke
depan.
Sementara
itu di ruang garasi sebuah rumah, Arok dan beberapa kawan tampak sengit berbagi
kata-kata seputar rencananya mendatangi pihak-pihak terkait, yang menurut
perhitungan mereka dapat memberi jalan penyelesaian terhadap persoalan yang selama
ini menjadi pokok pembahasan di tempat mereka berkumpul. Sepagi ini mereka
telah bersiap guna mematangkan rencana, dengan harapan semua dapat berjalan
baik sesuai keinginan. Segala sesuatunya telah mereka pertimbangkan hingga sampai
pada suatu kesimpulan dan menuai kesepakatan bersama. Yori meminta semua
kawan-kawannya bersiap untuk berangkat setelah menyampaikan kabar mengenai ketidakikut
sertaan kawan mereka bersamanya.
“Rhaka nggak bisa ikut dengan kita. Ada
sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan. Hari ini ada janji dengan salah satu
dosennya. Ia akan bergabung dengan kita selepas urusannya selesai, jika waktu,
situasi dan kondisinya memungkinkan”.
Mereka saling berpandangan satu sama lain
mendengar penjelasan Yori akan hal itu.
“Bukankah langkah ini bagian dari
rencananya?”.
Aray menyahut dengan nada kecewa. Yori
berusaha menenangkan suasana, kemudian meminta semua agar tetap pada rencana
semula. Rendy bergerak satu langkah kedepan, lalu ia mencoba meyakinkan
kawan-kawannya dengan kalimat penegasan atas apa yang disampaikan Yori pada
mereka.
“Aku setuju, bahwa kita akan tetap pada
rencana semula. Tak ada alasan lagi bagi kita menunda agenda ini. Kita yakini
bersama, ini akan menjadi hari yang sangat berarti bagi mereka disana”.
Tegasnya semangat, penuh keyakinan, sambil melirik ke arah Yori yang berdiri
tegap. Yori memberi isyarat atas pernyataan sahabatnya. Setelah memastikan
semua sepakat bergerak, Yori meminta kawan-kawan berkemas, mempersiapkan segala
sesuatu yang mereka perlukan.
“Sebelum berangkat, sejenak kita do’a
bersama untuk kelancaran dan keberhasilan perjuangan kita”. Lanjut Yori
kemudian.
Di
beberapa meja ruang dosen, Rhaka dan kedua mahasiswa lainnya tampak berpikir
keras, berpacu waktu dengan soal-soal dihadapannya. Setelah memeriksa ulang
lembar jawaban dan memastikan semua tidak ada yang terlewatkan, Rhaka
menyerahkan semua hasilnya pada dosen penguji. Ia hanya berharap beliau berkenan
memberikan kemudahan untuk nilai kelulusan atas upayanya, demi kelancaran
mengambil mata kuliah di semester mendatang.
“Saya berharap ini ujian susulan terakhirmu,
karena jika bertemu kembali dengan mata
kuliah yang saya berikan selanjutnya, tidak ada lagi susulan seperti sekarang
ini”. Pesan bapak dosen memberi penegasan.
“Baik pak, terima kasih atas kesempatan ini
untuk kami ”. Jawab Rhaka sambil melirik pada kedua temannya, kemudian
mengangguk hormat pada dosen penguji sebelum kemudian ia meninggalkan ruangan.
Tak
seorang pun berada di sekretariat ketika ia memasuki ruangan. Di atas meja
beberapa bekas bungkus makanan dan minuman berebut tempat saling bertumpukan,
begitupun di lantai ruangan. Kini pandangannya tertuju pada kaleng bekas yang
telah berubah fungsi di atas bangku panjang. Dari dalamnya mengepulkan asap
sisa rokok, kemudian beralih pandang ke rak buku dimana menggantung sesuatu
disana. Rhaka mengambil sapu dipojok ruangan, setelah sebelumnya mengamankan
bungkus kantung plastik di rak buku agar tak terkontaminasi bakteri dari debu yang
berterbangan. Tumpukan sampah ia masukan ke dalam kardus bekas mie instant yang
tergeletak begitu saja di lantai. Keringat dikeningnya ia seka perlahan dengan
ujung pergelangan tangan, sambil sesekali menghela nafas panjang.
Tak lama kemudian seseorang datang menyapa
sambil mengajaknya bersalaman. Matanya berkeliling ruangan, lalu berhenti di white
board dimana disana berderet beberapa agenda kegiatan hingga akhir bulan.
“Apa kau mencari sesuatu blur?”. Tanya
Rhaka pada Rio dengan panggilan akrabnya.
“nggak ada bray”. Jawab Rio singkat dengan
wajah sepertinya menyembunyikan sesuatu. Rhaka hanya tersenyum kecil menyikapi
sikapnya.
“Hampir saja ruangan ini terbakar,
seandainya saja aku tak datang kesini”. Lanjut Rhaka memancing reaksi kawan bicaranya.
Rio memutar badan, melangkah cepat ke arahnya, lalu mengambil tempat tak jauh
darinya.
“Memangnya kenapa sampai mau terbakar
begitu?”. Tanya Rio sekenanya penuh tanya. Rhaka diam sejenak, tak segera
menyahut. Rio pun semakin penasaran dibuatnya.
“Tadi sewaktu aku masuk ruangan ini, ada
puntung rokok ditumpukan bekas bungkus makanan di atas meja. Mungkin terburu-buru
atau bagaimana, hingga lupa mematikannya sebelum pergi”. Rhaka coba memberi
penjelasan sesantai mungkin sambil mengelap meja. Sudut matanya mendapati perubahan
riak wajah di raut muka Rio ketika mendengar penuturannya.
“Seingatku, tadi aku membuang sisa batang
rokok ke dalam asbak, tidak menaruhnya di atas meja!”. Rio coba beralibi atas
penuturan kawannya ini. Rhaka pun kembali tersenyum dibuatnya.
“Di rak buku tadi aku menemukan sesuatu
terbungkus kantung plastik, dan hampir saja aku buang, karena aku pikir makanan
basi”. Lanjut Rhaka kemudian.
“Terus dimana sekarang bungkusannya?”. Rio merespon
perkataan kawannya secara spontan.
“Isinya habis aku makan”. Canda Rhaka menanggapi
sikap Rio.
“yaaaah, segitunya banget bray”. Rio berucap
sambil menyandarkan badan. Rhaka menepuk tangan Rio, lalu mengarahkan jari
tangan ke lemari kayu peneyekat ruangan, seraya berucap.
“Makananmu ada di balik lemari blur, dan
masih utuh tanpa tersentuh lidahku sedikitpun”.
Meski tampak sedikit ragu, Rio bergegas
menuju ke balik lemari kayu penyekat ruangan. Wajahnya kembali berseri setelah
memastikan semua masih pada tempat yang semestinya.
Di
ruang tengah sebuah rumah masih menyisakan perbincangan dua pasang mata,
disertai canda di sela-sela keseriusan obrolannya. Pemilik sepasang mata indah
sesekali berbinar bahagia dengan tatapan menerawang jauh. Sementara kawan bicaranya
lebih memilih menjadi pendengar setia. Ia coba menyimak setiap kalimat yang di kisahkan
sahabatnya. Terkadang ia pun ikut tersenyum bahagia diantara keprihatinan yang
dirasakan penutur kata-kata.
“Aku tak mengira ia masih mengingat
kebersamaan yang dilewati bersamaku dahulu. Bahkan sempat terpikir jika ia
mungkin sudah begitu saja melupakannya. Jujur waktu itu aku sengaja datang
ketempat perbelanjaan, ketika teringat tanggal di bulan itu merupakan salahsatu
peristiwa yang sepertinya tak dapat aku hapus dari kehidupanku begitu saja. Aku
juga tak mengerti mengapa hal itu terus menempel dalam ingatanku, meski telah sekian
lama berlalu”. Papar Lembayung panjang lebar. Matanya menyiratkan kebahagian
yang mungkin tak dapat dimengerti sahabat didekatnya.
“Kesederhanaan dan keteduhan kata-katanya
selalu membuat aku merindukan kehadirannya. Bicara apa adanya, tanpa menutupi
keberadaannya. Cara dia memperlakukan aku sebagai wanita membuat aku merasa
istimewa disisinya. Selalu menjaga dan melindungi kehormatanku sebagai wanita
dimata semua orang, baik yang ia kenal maupun tidak ia kenal. Aku tahu dalam
hal lain ia tak seberuntung kawan-kawannya yang mendapat perlakuan manja dari
kedua orang tuanya. Tapi entah kenapa aku merasa ia lebih beruntung dari yang
lainnya karena mendapatkan aku disisinya”. Ia bertutur kata seakan dirinya
merasa berada di masa-masa itu. Arin mencibir sambil mencubit pergelangan
tangan Lembayung.
“Cie cieee, kegeeran banget sich ibu yang
satu ini. Ingat tuh anak dan suamimu”. Canda
Arin sambil mengingatkannya.
Lembayung mengarahkan pandangan matanya ke
langit-langit, kemudian menatap jauh ke luar jendela.
“Kamu pikir dia tidak mengingatkan aku
sepertimu?. Aku masih ingat betul ketika ia memintaku dengan sangat, agar aku
menyayangi anakku dan menjaga kebersamaan dengan suamiku kini, meski hingga
saat ini aku masih tidak mengerti tentang apa yang dikatakannya. Aku masih
belum memahami arti cinta dan kebahagiaan seperti yang di maksudkannya. Oh, ya aku jadi
teringat pepatah pernah mengatakan bahwa kebahagian itu sederhana. Bahagia
melihat orang yang dikasihinya merasakan kebahagiaan. Mungkin itu maksudnya ya
Rin?”. Lembayung menghentikan penuturannya dengan satu pertanyaan yang memaksa Arin
mengernyitkan keningnya.
“Mana aku tahu Bay!”. Jawab Arin singkat
sambil mengangkat kedua tangan dan bahu lengannya. Lembayung hanya menatap
sahabatnya dengan raut muka menunjukkan ketidakpuasan atas ungkapannya.
“ah sudahlah, tak akan mengerti jika kau
tak mengalaminya. Percuma juga aku bicarakan ini padamu”. Lanjut Lembayung sambil
beranjak dari tempatnya menuju dapur, menghentikan sejenak keramah tamahannya.
“Ingat loh Rin, ini menjadi obrolan rahasia
kita ya”. Lembayung coba mengingatkan Arin untuk menyimpan rapih kisah yang
disampaikannya.
Arin masih tak beranjak dari tempatnya.
Dalam hatinya mengantri beberapa pertanyaan. Siapa lelaki masa lalu yang
diceritakan Lembayung padanya. Jangankan sosok atau ciri-cirinya, bahkan
namanya pun ia tidak tahu, karena Lembayung tak menyebut nama disetiap
penuturannya. Ia berpikir sejenak, mengira-ngira barangkali ia pernah
mengenalnya. Tapi segera ia sapu apa yang bersarang dibenaknya saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar