Bagian Dua Belas
Suasana pagi hari itu seakan menyiratkan perasaan hampa yang bersarang di lubuk hati lelaki di ruang kamar kost-nya. Awan hitam belum juga memberi kesempatan bagi mentari untuk menyinari bumi. Mungkin ia belum ingin berbagi kehangatannya dengan sesisi belahan bumi ketika itu. Namun demikian, suasana pagi yang tidak begitu bersahabat tak menghentikan laju kendaraan menuju tempat tujuannya. Angin pun bertiup kencang, memaksa pepohonan yang berdiri tegak di pinggiran jalan menari bagai bidadari. Sesekali terdengar suara benda-benda yang berterbangan saling beradu menghantam tembok pagar dan batang pepohonan. Ranting-ranting kering satu persatu berjatuhan menimpa tanah dan bebatuan. Tak lama kemudian butiran air pun mulai menetes, dan hembusan angin menggiringnya ke pelataran rumah, hingga membasahi kaca jendela.
Sementara itu di atas meja belajar ruang kamar kost, asap tipis mengepul perlahan menebarkan aroma wangi kopi yang sengaja diseduh untuk sekedar menghangatkan tubuh dan mengusir rasa kantuk yang masih menggelayut di pelupuk mata. Diraihnya gelas berisi kopi dengan kedua tangan, kemudian melangkah perlahan menuju jendela kamar. Matanya menatap jauh awan hitam yang bertebaran di atas sana, sambil sesekali mereguk kopi digenggamannya. Hanya kopi hitam yang setia menemani kesendiriannya di pagi itu. Kopi hitam pahit, sepahit kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian ia tampak menikmati setiap tegukannya.
Keheningan suasana tiba-tiba terpecahkan suara pintu diketuk dari luar. Rhaka coba menoleh kearah datangnya suara. Sejenak ia terdiam, tanpa bergeming dari tempatnya. Tak lama kemudian pintu kamar kembali berbunyi. Kali ini terdengar lebih keras dan jelas. Dengan malas-malasan Rhaka melangkah, kemudian membukakan pintu untuk seseorang diluar sana. Ia tampak terkejut ketika pintu dibukakan. Hampir saja gelas digenggaman tangannya terjatuh. Sungguh ia tak mengira jika seseorang yang telah mampu meluluhkan hati dan perasaannya kini berada dihadapannya. Matanya menatap tak berkedip sosok perempuan dihadapannya tanpa kata. Seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya, ia kembali memasukkan seduhan air kopi ke mulutnya, kemudian menggosok-gosokkan sebelah tangannya ke kedua matanya. “Apakah ini mimpi ataukah nyata adanya?”. Tanya Rhaka dalam hatinya. Ia benar-benar tak mampu berucap kata. Ia pun seakan tak percaya akan apa yang disaksikannya. Setelah memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi, Rhaka coba buka suara. “Hai, kau....”, ucapnya tak menentu. Hanya itu yang mampu ia katakan. Sebelumnya ia tak pernah mengira Lembayung akan datang kembali ke tempatnya. Wajar saja ia merasa begitu heran dan terkejut dibuatnya. Rhaka menjadi salah tingkah dibuatnya. Hingga akhirnya Lembayung mencairkan kekakuan lelaki dihadapannya.
“Apa kau akan membiarkanku berdiri disini selamanya Ka ?”. Tanya Lembayung sambil mengukir senyum di bibirnya. Meski tersenyum suaranya terdengar lirih, seperti menyimpan rasa kesedihan yang dalam. Entah kesedihan apa yang ia rasakan saat ini. Rhaka tersadar dari sikapnya yang tak menentu. Sesaat kemudian ia mempersilahkan Lembayung masuk dengan raut wajah yang tampak kebingungan. Ia benar-benar tak tahu harus berkata apa padanya. Jauh sebelumnya Rhaka begitu ingin mengungkapkan segala apa yang bersarang dibenaknya. Namun entah mengapa kini semua buyar tanpa alasan yang dapat ia mengerti. Yang ada dibenaknya kini, ia hanya ingin tahu apa yang membawa Lembayung ke tempatnya dengan raut wajah murung, seakan kehilangan gairah hidupnya. Ingin rasanya ia bertutur kata agar Lembayung merasa tenang, membuat wajahnya kembali bersinar terang dan tersenyum bagai bunga yang mekar di musim semi. Tapi entah mengapa tenggorokannya terasa mengganjal, lidah pun seakan terasa kaku. Ternyata hal itu pun sama dialami Lembayung. Ia hanya sanggup menatap wajah Rhaka tanpa berkata-kata, menatap dengan butiran bening menetes dari kelopak mata membasahi pipinya. Entah apa yang telah membuatnya meneteskan air mata. Untuk apa dan untuk siapa air mata itu menetes. Rhaka tak mengerti sepenuhnya arti air mata itu. Kesedihankah, marah atau kecewakah ia padanya. Hingga akhirnya Lembayung tak kuasa menahan perasaan yang bergejolak dalam batinnya, melangkah mendekat kemudian memeluk Rhaka erat-erat, menangis dipelukannya. Ia tumpahkan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia ungkapkan segala apa yang saat itu sanggup di ungkapkan.
“Tolong katakan, kau tak akan membiarkanku tersiksa menanggung beban rindu ini sendirian. Tolong katakan bahwa kau memaafkan kesalahan yang pernah aku perbuat selama ini padamu, dan katakan bahwa kau masih mencintaiku hingga saat ini. Berjanjilah bahwa kau tak akan pernah meninggalkanku lagi !”.
Ucap Lembayung tanpa melepaskan pelukannya. Isak tangisnya yang terasa pilu membuat Rhaka tak berdaya menahan kesedihan dalam hatinya. Meski terasa risih, Rhaka berusaha membalas pelukannya. Di belainya dengan lembut rambut Lembayung dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang benar-benar tulus dari dasar hatinya. Kasih sayang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tetes air mata menjadi lukisan betapa Rhaka begitu mencintai dan menyayanginya. Air mata kasih sayang dan ikhlas pada perempuan yang sesungguhnya masih tetap ia cintai. Air mata sebagai saksi bahwa cinta ini masih ada di lubuk hati terdalamnya. Air mata pengharapan, yang berharap pintanya akan menjadi kenyataan.
Rhaka memejamkan mata, dengan lirih kemudian ia berucap dalam hatinya, "aku akan tetap mencintaimu selamanya, meski seandainya kenyataan hidup memaksa kita untuk tak harus bersama mengarungi bahtera kehidupan. Aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri demi kebahagiaanmu, jika kenyataan hidup memaksa kita harus terpisah" .
-Sekian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar