Karya : Ipey
Rhaka tak mengira jika perkelahian dengan mahasiswa
dikampusnya waktu itu akan berbuntut panjang. Padahal peristiwa tersebut sudah
cukup lama, bahkan ia nyaris tak mengingatnya lagi. Tapi ternyata tak begitu
dengan laki-laki yang telah beradu jotos dengannya. Peristiwa perkelahian itu
masih melekat kuat dalam ingatannya. Harga dirinya merasa diinjak-injak
dihadapan kawan - kawan yang saat itu bersamanya. Ia merasa telah dipermalukan
olehnya dihadapan mahasiswa yang saat itu menyaksikan kejadian itu. Kini ia
harus kembali berhadapan dengannya ketika bertemu di lantai dasar sebuah Mall
yang sering ia kunjungi. Rhaka terkejut manakala secara tiba-tiba lelaki itu
meneriaki dan menunjukkan jari telunjuknya ke arahnya yang berjalan sendirian.
Ke esokan hari setelah peristiwa perkelahian dengannya waktu itu, Yori mencari
informasi mengenai lelaki tersebut. Ternyata lelaki itu mahasiswa fakultas
teknik, terpaut dua semester di atasnya dan bernama Rustam. Rustam terlihat
begitu murka melihat wajah lelaki yang dikenalinya. Ia menghampiri Rhaka, dan
tanpa pikir panjang lagi mengirimkan kepalan tangannya ke wajah Rhaka. Rhaka
mundur beberapa langkah ke belakang menghindari pukulan tersebut. Matanya
mengawasi gerakannya yang telah bersiap dengan serangan berikutnya, juga
gerak-gerik kawan - kawannya yang berdiri dengan posisi siap membantu
Rustam. Konsentrasinya terbagi bukan hanya tertuju pada Rustam saja, tetapi
juga pada kawan - kawannya yang bergerak menyebar.
Gerak tipuan yang diperagakan Rustam berhasil mendaratkan kepalan tangannya di pipi kiri Rhaka. Namun pukulan tangan kanan Rhaka pun tak meleset mengenai pinggang Rustam. Ia kembali memasang kuda-kuda dengan menyimpan kaki kiri di depan, masih dengan kedua tangan terkepal menunggu serangan berikutnya. Ia tak berusaha melancarkan pukulan untuk menyerang Rustam. Rhaka hanya berjaga-jaga untuk membendung terjangan lawannya. Tanpa di undang para pengunjung mall sebentar saja sudah berkerumun menyaksikan adegan duel yang mereka tak tahu apa pemicu perkelahian tersebut. Yang mereka tahu dua orang lelaki telah saling baku hantam di tempat keramaian. Rhaka membalikkan tubuhnya secara spontan ketika tiba-tiba seseorang dari arah belakang berusaha mencengkram tubuhnya. Sikutnya mendarat telak di pelipis kanan kawan Rustam yang berusaha mencuranginya. Cukup keras hingga menimbulkan suara yang membuat para pengunjung mall yang dengan dekat menyaksikan adegan tersebut menjerit. Rustam memanfaatkan kelengahan lawan dengan menghantamkan kaki ke arah dada Rhaka. Dan ia yang tak siap dengan terjangan itu terhuyung hingga hampir saja jatuh tersungkur ke lantai. Di pegangi dadanya yang terasa sakit dengan kedua tangannya. Sementara Rustam tak memberi kesempatan padanya untuk memulihkan tenaga. Ia kembali mendatangi Rhaka dengan segudang amarah yang meluap-luap. Jari tangannya dikepalkan dan mengarah pada hidung Rhaka yang tak di bentengi, karena masih memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Ia tak ingin menjadi bulan-bulanan Rustam dengan membiarkannya menghantamkan tinju ke wajahnya. Secara reflek Rhaka menggeser tubuh dan mengayunkan kaki di susul ayunan tangan kanan mengarah ke wajah Rustam. Lututnya mengenai bagian perut di susul pergelangan tangan menghantam wajah yang mengakibatkan darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Dia tak menyadari ketika secara tiba-tiba punggungnya dihantam dari belakang. Di dorongnya tubuh Rhaka dengan sekuat tenaga oleh kedua teman Rustam hingga ia terjerembab dan tertelungkup di lantai. Tendangan demi tendangan secara bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuhnya. Tiga orang teman Rustam benar-benar telah membuatnya bagai bola sepak dilapangan yang di tendang kesana kemari. Rhaka berusaha melindungi bagian kepala dengan kedua tangannya sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Andai dua orang petugas keamanan mall tak segera datang, dapat dibayangkan apa yang akan menimpa dirinya saat itu. Beberapa pengunjung berusaha membantu petugas keamanan yang datang terlambat untuk menghentikan perkelahian. Rustam dan kawan - kawannya segera meninggalkan tempat dengan terburu-buru. Sementara Rhaka dipapah petugas keamanan sambil meringis kesakitan menuju pos penjagaan. Polisi lalu lintas yang kebetulan bertugas di seputar mall menghentikan langkah Rustam yang berupaya pergi dari tempat itu setelah seorang pengunjung menginformasikan kejadian di dalam mall. Ia berusaha berkelit dari aparat keamanan yang menanyainya dan menghindar untuk dibawa ikut ke kantor polisi. Rustam pun melepaskan genggaman tangan pak polisi dan berlari secepat yang ia bisa lakukan, diikuti ketiga kawannya. Beruntung pak polisi tersebut tak mengejar dan membiarkan ia pergi, hingga urusan tak berlanjut sampai ke kantor polisi.
Gerak tipuan yang diperagakan Rustam berhasil mendaratkan kepalan tangannya di pipi kiri Rhaka. Namun pukulan tangan kanan Rhaka pun tak meleset mengenai pinggang Rustam. Ia kembali memasang kuda-kuda dengan menyimpan kaki kiri di depan, masih dengan kedua tangan terkepal menunggu serangan berikutnya. Ia tak berusaha melancarkan pukulan untuk menyerang Rustam. Rhaka hanya berjaga-jaga untuk membendung terjangan lawannya. Tanpa di undang para pengunjung mall sebentar saja sudah berkerumun menyaksikan adegan duel yang mereka tak tahu apa pemicu perkelahian tersebut. Yang mereka tahu dua orang lelaki telah saling baku hantam di tempat keramaian. Rhaka membalikkan tubuhnya secara spontan ketika tiba-tiba seseorang dari arah belakang berusaha mencengkram tubuhnya. Sikutnya mendarat telak di pelipis kanan kawan Rustam yang berusaha mencuranginya. Cukup keras hingga menimbulkan suara yang membuat para pengunjung mall yang dengan dekat menyaksikan adegan tersebut menjerit. Rustam memanfaatkan kelengahan lawan dengan menghantamkan kaki ke arah dada Rhaka. Dan ia yang tak siap dengan terjangan itu terhuyung hingga hampir saja jatuh tersungkur ke lantai. Di pegangi dadanya yang terasa sakit dengan kedua tangannya. Sementara Rustam tak memberi kesempatan padanya untuk memulihkan tenaga. Ia kembali mendatangi Rhaka dengan segudang amarah yang meluap-luap. Jari tangannya dikepalkan dan mengarah pada hidung Rhaka yang tak di bentengi, karena masih memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Ia tak ingin menjadi bulan-bulanan Rustam dengan membiarkannya menghantamkan tinju ke wajahnya. Secara reflek Rhaka menggeser tubuh dan mengayunkan kaki di susul ayunan tangan kanan mengarah ke wajah Rustam. Lututnya mengenai bagian perut di susul pergelangan tangan menghantam wajah yang mengakibatkan darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Dia tak menyadari ketika secara tiba-tiba punggungnya dihantam dari belakang. Di dorongnya tubuh Rhaka dengan sekuat tenaga oleh kedua teman Rustam hingga ia terjerembab dan tertelungkup di lantai. Tendangan demi tendangan secara bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuhnya. Tiga orang teman Rustam benar-benar telah membuatnya bagai bola sepak dilapangan yang di tendang kesana kemari. Rhaka berusaha melindungi bagian kepala dengan kedua tangannya sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Andai dua orang petugas keamanan mall tak segera datang, dapat dibayangkan apa yang akan menimpa dirinya saat itu. Beberapa pengunjung berusaha membantu petugas keamanan yang datang terlambat untuk menghentikan perkelahian. Rustam dan kawan - kawannya segera meninggalkan tempat dengan terburu-buru. Sementara Rhaka dipapah petugas keamanan sambil meringis kesakitan menuju pos penjagaan. Polisi lalu lintas yang kebetulan bertugas di seputar mall menghentikan langkah Rustam yang berupaya pergi dari tempat itu setelah seorang pengunjung menginformasikan kejadian di dalam mall. Ia berusaha berkelit dari aparat keamanan yang menanyainya dan menghindar untuk dibawa ikut ke kantor polisi. Rustam pun melepaskan genggaman tangan pak polisi dan berlari secepat yang ia bisa lakukan, diikuti ketiga kawannya. Beruntung pak polisi tersebut tak mengejar dan membiarkan ia pergi, hingga urusan tak berlanjut sampai ke kantor polisi.
Di
raihnya air mineral yang di berikan security mall, kemudian diteguknya
perlahan. Setelah merasa cukup kuat, ia mohon pada petugas keamanan mall untuk
membiarkannya pergi. Ia tak berharap polisi mendatangi dan mengintrogasinya
lebih lanjut mengenai kejadian yang telah dialaminya. Rasa iba tersirat dari
sorot mata kedua petugas keamanan mall yang melihat kondisinya dengan luka
lebam di wajahnya. Mereka menyarankan agar dia menyewa taxi untuk mengantarkan
ia pulang. Rhaka mengikuti saran petugas keamanan mall dan bergegas menaiki
taxi yang kebetulan lewat jalur jalan itu.
Rasa sakit di sekujur tubuhnya telah
membuat tidurnya terganggu. Ia harus terbangun di tengah malam ketika secara
tak sadar membalikkan tubuhnya karena merasakan kesakitan. Luka memar masih
terlihat jelas di wajah dan di bagian tubuhnya yang lain. Hingga pagi tiba ia
masih tak beranjak dari kamar kostnya. Untuk mengisi kekosongan perutnya
saja, ia hanya menyeduh mie instan dengan air termos. Bahkan untuk pergi
ke kamar mandi ia harus menutupi wajahnya dengan handuk dan berusaha menghindar
agar tak bertemu dengan penghuni kost lainnya. Ia sengaja tak menyalakan tape
recorder, meski hanya untuk mendengarkan siaran radio. Ia berharap pemilik
tempat dan penghuni kost beranggapan bahwa ia sedang berada di luar. Benaknya
melayang menuju peristiwa yang menimpa dirinya kemarin sore di lantai dasar
sebuah pusat perbelanjaan. Ia menyesal mengapa pergi ke mall waktu itu, dan
mengapa pada saat ia beradu jotos, kawan serta sahabatnya tak berada
bersamanya. Mengapa pada saat kejadian kawannya secara tak sengaja melihat ia
berkelahi dengan Rustam cs sehingga bisa membantunya melawan kawanan berandal
kampus itu. Tapi ia segera menyadari, dan dalam kesendiriannya Ia bersyukur
Tuhan masih melindungi dengan mengirimkan dua petugas keamanan untuknya. Lama
ia berdiam diri di dalam kamar, berusaha tak mengeluarkan suara gaduh agar tak
di ketahui keberadaannya di sana. Rhaka berupaya sebisa mungkin merawat luka
yang di deritanya sendirian tanpa melibatkan orang lain.
Tak terasa adzan ashar telah
berkumandang dari mesjid yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat ia
nge-kost. Secara sembunyi-sembunyi ia keluar dari kamar untuk mengambil air
wudhu. Beruntung tak ada yang melihatnya hingga ia kembali masuk ke dalam kamar
untuk menunaikan shalat ashar. Selesai shalat ia berusaha membaringkan tubuhnya
di tempat tidur. Ia memutuskan untuk mengurung diri beberapa waktu hingga luka
lebam di wajahnya menghilang dari padangan mata yang melihatnya. Baru saja akan
memejamkan mata, tiba-tiba ia dikagetkan oleh bunyi pintu kamar yang berderit
terbuka. Gunadi anak pemilik tempat kost masuk kamar tanpa mengetuk pintu
terlebih dahulu dan mendapatinya tengah berbaring dengan luka lebam di
wajahnya. Rupanya ia lupa untuk mengunci pintu kamar setelah ia mengambil air
wudhu, dan selepas ia menunaikan shalat ashar ia langsung merebahkan tubuhnya
di tempat tidur. Secara spontan benaknya berpikir untuk memberi alasan perihal
luka lebam di wajahnya jika Gunadi menanyakan keondisinya saat itu. Tapi alasan
itu sepertinya akan sia-sia, karena ternyata Gunadi telah mengetahui lebih dulu
kejadian yang menimpanya. Gunadi mendapat kabar dari kawan se-fakultasnya tadi
siang mengenai anak fakultas teknik yang berseteru dengan anak fakultas
ekonomi di mall. Ternyata peristiwa itu cepat juga menyebar di lingkungan
kampus. Rupanya kawan Rustam yang bercerita pada kawannya di kampus hingga
berita itu menyebar di kalangan aktivis Himpunan. Gunadi yang merupakan salah
satu pengurus Himpunan dapat dengan mudah mendapat informasi mengenai hal-hal
yang berhubungan aktivitas mahasiswa di lingkungan kampusnya. Ia pun tak dapat
berkelit ketika Gunadi menanyainya bagaikan seorang aparat kepolisian
tengah mengintrogasi seseorang yang di tuduh telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum. Pada akhirnya ia pun mengakui kejadian sesungguhnya yang telah
menimpanya. Naluri berorganisasi Gunadi cukup peka terhadap kejadian yang
menimpa mahasiswa di fakultasnya, meski mahasiswa yang berkelahi dengannya
bukan dari jurusan di fakultasnya. Ia bertutur kata padanya bahwa ia tak ingin
keributan yang menimpa Rhaka dan mahasiswa sefakultasnya akan merembet menjadi
permusuhan kelompok antar Himpunan. Gunadi pun tak berharap media cetak
internal masing-masing fakultas memuatnya di majalah bulanan mereka. Dapat di
bayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Bukan tak mungkin akan mencoreng
nama baik masing-masing fakultas, terlebih lagi nama baik almamaternya.
Gunadi membeberkan rencananya untuk mengajak perwakilan dari Himpunan
bersamanya menemui pengurus Himpunan di fakultas ekonomi. Sebelumnya ia telah
mendatangi sekretariat gabungan media kampus lintas fakultas teknik untuk tak
mengekspose kejadian memalukan tersebut dengan pertimbangan demi menjaga nama
baik almamater. Hal yang sama akan ia sampaikan pada pengurus Himpunan di
fakultas ekonomi untuk meminta pada media kampus agar menutup rapat-rapat
kejadian tersebut. Rhaka memaklumi ke khawatiran yang di rasakan Gunadi,
apalagi ia telah mengetahui bahwa ayahnya kini tengah di promosikan untuk
menjadi Pembantu Dekan di fakultasnya. Sangat tepat momennya bagi Gunadi untuk
memanfaatkan peristiwa tersebut, dan berusaha meredam pertikaian yang akan
terjadi serta menyelesaikan persoalan di internal fakultasnya. Rhaka pun
memahami ke khawatiran akan adanya provokasi yang di timbulkan akibat dari
pemberitaan yang di kabarkan media kampus. Pada kesempatan itu ia berpesan agar
Gunadi tak memberitahukan kondisi dan keberadaannya saat ini pada keluarganya,
juga pada penghuni kost lainnya. Gunadi mengangguk tanda setuju, kemudian jabat
erat salam persahabatan menghias ruang kamar yang terasa kembali sepi
sepeninggal Gunadi dari hadapannya.
Di
sekretariat KMPA, Rendy, Yori dan beberapa kawan lainnya tampak sedang memeriksa perbekalan untuk survey lokasi bagi
kegiatan organisasinya yang tinggal tersisa beberapa hari lagi. Rendy mengemas
barang-barang yang nantinya akan di perlukan selama perjalanan menuju lokasi.
Sementara Yori merapikan sleeping bag dan melipat tenda, dibantu beberapa
kawannya. Setelah kembali memeriksa untuk memastikan bahwa semua kebutuhan
telah berada di tempatnya masing-masing, Yori dan Rendy meminta pada anggotanya
untuk menjaga semua perbekalan sementara mereka sedang tak berada di tempat.
Rendy berjalan menuju basement tempat dimana sepeda motornya di parkirkan, di
ikuti langkah kaki Yori dari arah belakang. Kendaraan roda dua melaju perlahan
melewati pintu gerbang kampus. Rendy mengemudikan sepeda motor melintasi
jalan Tamansari, mengambil jalan lurus melewati areal samping kampus ITB yang
berseberangan jalan dengan kebun binatang. Di perempatan jalan lampu merah
daerah simpang dago ia mengambil arah kiri melintasi warung-warung tenda yang
menjajakan beragam makanan di sepanjang trotoar jalan. Rendy menghentikan laju
sepeda motornya di depan sebuah mini market yang hanya berjarak kurang lebih 10
meter dari mulut jalan Tubagus Ismail. Setelah membeli beberapa makanan dan
minuman dingin ia kembali memicu sepeda motornya. Sementara dalam waktu yang bersamaan
Rhaka baru saja selesai mandi. Kemudian ia bergegas mengayunkan langkah kakinya
melewati kamar kost yang berjejer dan berpura-pura menggosok rambut dengan
handuk, untuk menutupi wajahnya. Langkah kakinya yang baru saja akan memasuki
kamar terhenti ketika Yori dengan suara keras memanggilnya. Bukan main terkejutnya
ketika mendengar seseorang memanggil dirinya. Suara itu tak asing lagi baginya.
Dan ia tak mungkin menghindar untuk bertemu dengan teman yang memergokinya saat
itu. Rhaka membiarkan kedua kawannya memasuki kamar yang masih terlihat
berantakan. Suasana menjadi tegang seketika, manakala Yori dan Rendy mendapati
kawan yang telah menjadi sahabatnya dalam kondisi seperti yang mereka lihat
saat ini. Tak satu katapun terucap dari mulut Yori dan Rendy. Mereka hanya
saling berpandangan dan kembali mengarahkan matanya ke wajah Rhaka. Dengan
tanggap ia menyikapi suasana yang tak
mengenakkan tersebut dan membuka pembicaraan.
“Begini kejadiannya Ren, Yor”.
Ungkap Rhaka pada kedua sahabatnya. Kemudian ia menceritakan peristiwa yang
telah menimpa pada dirinya. Ia pun tak melewatkan untuk menginformasikan
pembicaraannya dengan Gunadi beberapa waktu lalu, juga menyampaikan permohonan
maafnya pada kedua sahabatnya karena tak bisa menemani mereka pergi
mensurvey lokasi untuk kegiatan organisasinya. Yori dan Rendy menarik nafas
dalam-dalam mendengar penuturan panjang lebar dari sahabatnya. Sebelum Yori
sempat menanggapi penjelasannya, Rhaka telah mendahului dengan kembali
berkata-kata. “Aku berharap, kita sudahi saja pertikaian tak berguna ini sampai
di sini. Aku tak ingin perkelahian berikutnya terjadi kembali. Terkecuali
mereka memulainya lebih dulu, itu menjadi persoalan lain”. Ia menghentikan
kalimat yang akan di ucapkannya ketika seseorang mendatangi mereka. Ternytata
Gunadi yang sejak tadi telah mengetahui kedatangan Yori dan Rendy, serta
mencuri dengar pembicaraan mereka dari balik jendela kamar. Ia menyalami Yori
serta Rendy setibanya di dalam untuk kemudian bergabung dengan mereka.
Pembicaraan pun berlanjut menambah hangat suasana. Karena satu sama lain telah
saling mengenal dengan baik, tak nampak kekakuan diantara mereka berempat.
Gunadi tak malu untuk mengakui dan mengatakan pada Rhaka, Rendy, juga Yori,
bahwa dirinya telah mencuri dengar pembicaraan mereka. Ia beralasan khawatir
kalau-kalau Rhaka dan kedua kawannya akan merencanakan sesuatu yang tak di
harapkan dan akan merugikan semua pihak. Rhaka serta kedua sahabatnya dapat
menerima dan memaklumi kekhawatiran yang di rasakan Gunadi. Namun secara
mengejutkan tiba-tiba Yori mengungkapkan niatnya untuk membuat
perhitungan dengan mereka yang telah mengeroyok sahabatnya. Ia katakan bahwa meskipun
Rhaka telah memintanya untuk mengakhiri pertikaian, ia akan tetap membalas
perlakuan mereka terhadap sahabatnya dengan cara dia sendiri.
“Kalian tak perlu cemas, karena kita tak
akan melibatkan secara langsung siapapun kawan - kawan di kampus”. Yori melirik
bergantian ke arah Rhaka dan Rendy sambil tersenyum lebar, kemudian tangannya
memetakan suatu gerakan isyarat pada mereka. Gunadi mengernyitkan keningnya,
tak mengerti akan maksud yang disampaikan Yori. Kedua sahabatnya yang memahami
arti isyarat tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Bagi Rhaka juga Rendy,
isyarat dari Yori sudah merupakan suatu rencana.
Ke esokan harinya Gunadi mengunjungi
sekretariat HME, untuk menemui pengurus himpunan dan menyampaikan rencana yang
telah ia persiapkan sebelumnya. Rupanya beberapa pengurus himpunan telah
mengendus peristiwa yang menimpa kawan mahasiswa sefakultasnya. Negosiasipun
tak mengalami kesulitan yang berarti meski terjadi perdebatan kecil diantara
mereka, dan pada akhirnya kesepakatan terjalin tanpa harus menguras banyak
waktu serta pikiran. Sementara itu, Yori dan Rendy tengah merealisasikan
rencana dengan mendatangi sesama anggota KMPA yang tengah beraktivitas di
kampus. Padanya ia membeberkan permintaan untuk mencari tahu seluruh aktivitas
yang biasa dilakukan mahasiswa fakultas teknik bernama Rustam, yang telah
membuat sahabatnya menjadi bulan-bulanan Rustam dan kawan-kawan hingga Rhaka
babak belur. Pada kawannya ia meminta untuk dicarikan informasi mengenai siapa
saja teman yang selalu bersamanya, dimana ia tinggal serta tempat-tempat mana
dan kapan waktu yang biasa ia lakukan untuk menjalankan aktivitasnya di luar
kampus. Tanpa banyak bertanya lebih lanjut, teman Yori yang dipercaya untuk
menjalankan bagian dari rencananya mengangguk tanda mengerti akan permintaan
seniornya. Yori pun berharap sepulang dari acara organisasinya, informasi itu
telah bisa ia dapatkan. Setelalah dirasa cukup berbincang dengan kawan - kawan
junior di organisasinya, Yori berpamitan untuk kembali ke kampus utama.
Sementara di meja berpayung sebuah
sponsor produk minuman yang terletak di halaman kantin, Lembayung tengah
bersantai sembari menyantap menu makanan yang ia pesan. Di temani Firza, Lita
dan Rani teman sekelas di fakultasnya, ia terlihat begitu menikmati suasana
saat itu. Lembayung telah bersepakat dengan teman-temanya untuk makan
bersama di kantin selepas perkuliahan. Karena hanya satu mata kuliah saja yang
harus di ikuti bersama kawan - kawan seangkatannya pada hari itu, ia tak
tergesa-gesa melewati waktu dan memutuskan untuk tinggal lebih lama di kampus,
meski hanya untuk sekedar nongkrong saja. Setelah menghabiskan menu makanan
yang mereka pesan, Lembayung mengajak ketiga kawannya berpindah tempat ke
komawa II. Di sana ia dapat melihat dengan jelas aktivitas para anggota KMPA
dan mahasiswa lainnya yang tengah berlatih di papan panjat. Mereka pun berlalu
dari halaman kantin menuju komawa II. Lembayung hanya membeli air mineral
kemasan gelas, karena untuk memesan makanan lain ia rasa perutnya tak akan
sanggup menampungnya lagi.
Rendy memasang kunci pengaman di bagian
belakang sepeda motornya setelah ia parkirkan di basement. Ia berlari
menuju tangga yang menghubungkan basement dengan lantai dasar, menyusul Yori
yang telah melangkah lebih dulu. Rendy menghampiri Yori yang sedang memesan
sesuatu pada pegawai komawa II. Setelah membayar dua piring batagor dan dua
botol minuman dingin yang ia pesan, mereka menempati meja kosong untuk
menyantap makanannya. Andai saja Lembayung tak menoleh ke arah meja yang
berada dikebelakangnya, mungkin Rendy maupun Yori tak mengetahui jika
Lembayung berada di sana. Lembayung menyapa Rendy dan Yori lebih dulu tanpa
beranjak dari tempatnya. Rendy pun balas menyapa dan menawarkan pada Lembayung
untuk bergabung dan makan bersamanya. Lembayung hanya mengagnggukkan kepala dan
mempersilahkan mereka untuk melanjutkan menyantap makanan. Lembayung pun
berdalih bahwa ia baru saja selesai makan dengan kawan - kawannya. Rendy
memandang Yori yang duduk di hadapannya dan memberi isyarat dengan menggerakkan
kepala. Yori menangkap maksud Rendy dan membalas dengan gerakan tangannya, yang
berarti menyerahkan sepenuhnya pada Rendy untuk memberi tahu atau membiarkan
Lembayung tak mengetahui keadaan Rhaka saat ini. Setelah berpikir dan
mempertimbangkan apa yang akan di sampaikan pada Lembayung, akhirnya Rendy
memutuskan untuk mengatakannya. Toh andai ia tak mengatakannya pada Lembayung
saat ini, lambat laun ia akan mengetahuinya juga, meski tak dari dirinya atau
Yori. Rendy coba memancing Lembayung dengan pertanyaan lain terlebih dahulu
sebelum ia mengatakan maksud sebenarnya. Jangan-jangan ia sudah mengetahuinya
lebih dulu.
“Oh ya Bay, apa hari ini kamu melihat
Rhaka berkeliaran di kampus?”. Tanya Rendy pada Lembayung yang secara
spontan menoleh ke arahnya ketika Rendy memanggil dirinya. Lembayung tak segera
menjawab pertanyaan Rendy. Ia beranjak dari tempatnya menghampiri dan meminta
tempat pada Yori setelah mengajak teman wanitanya untuk turut bergabung
dengannya. Firza dan dua kawan lainnya hanya mempersilahkan pada
Lembayung tanpa beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Yori berpindah
posisi ke samping Rendy yang bergeser memberi tempat, kemudian mempersilahkan
Lembayung untuk mengisi bangku yang baru saja ia tinggalkan. Tak lama berselang
Lita, Firza dan Rani berpamitan pada Lembayung. Secara serempak, Lembayung,
Rendy dan juga Yori berupaya menahan kepergian mereka. Tapi karena mereka
memaksa untuk pergi, Lembayung pun tak lagi menahan kepergian kawan - kawan
dari hadapannya. Sebentar kemudian Lembayung memberi jawaban atas pertanyaan
yang di ajukan Rendy padanya. Dengan santai Lembayung mengatakan kenyataan
sesungguhnya bahwa, semenjak kedatangannya tadi pagi hingga bertemu dengan dua
lelaki sahabat Rhaka yang berada di hadapannya, ia belum bertemu atau
menemukan Rhaka berkeliaran atau nongkrong di seputaran kampus. “Memang kenapa
kalian mencarinya. Bukankah biasanya kalian bersama-sama dengannya ?. Atau
mungkin ia masih di tempat kost, karena setahuku jika tak salah hari ini ia tak
ada jadwal kuliah”. Ungkap Lembayung balik bertanya. Yori dan Rendy saling
pandang sembari tersenyum.
“Aku malah tak tahu jika hari ini ia tak
ada jadwal perkuliahan”. Jawab Rendy ringan, menyindir secara halus menyikapi
perkataannya. Kedua pipi lembayung memerah mendengar Rendy berkata seperti itu.
Lembayung mencoba untuk berkelit dari perkataan yang tadi di ucapkannya. Tapi
Rendy dan Yori tak memperdulikan apapun alasan yang di berikannya pada mereka
berdua. Lembayung benar-benar tak menyadari untuk mengatakan itu.
Pemberitahuannya pada Rendy dan Yori mengenai jadwal kuliah Rhaka cukup memberi
makna tersendiri atas kedekatannya dengan Rhaka. Rendy tak ingin menyimpan
informasi mengenai keberadaan sahabatnya lebih lama lagi.
“Begini Bay. Kemarin sore aku dan Yori
sengaja menemui dia di tempat kost-nya. Kami telah berjanji mengajaknya pergi
mensurvey lokasi untuk kegiatan organisasi. Tapi sepertinya kali ini dia tak
bisa ikut, karena kondisinya tak memungkinkan untuk turut serta bersama kami”.
Rendy menghentikan sejenak pembicaraannya, manakala Lembayung dengan raut wajah
yang berubah drastis mempertanyakan mengapa Rhaka tak bisa ikut, dan
pertanyaannya mengenai ketidakmungkinannya untuk mengikuti kegiatan organisasi
sahabatnya karena kondisi yang dialaminya saat ini.
“Memangnya kenapa dengan kondisi Rhaka.
Apa yang telah terjadi. Sebegitu parahnyakah keadaannya hingga ia tak mungkin
mengikuti kegiatan kalian ?”. Seperti senapan mesin Lembayung melontarkan
pertanyaan bertubi-tubi, bagaikan peluru yang didorong keluar dari magasin
ketika pelatuknya ditarik ke belakang. Rendy menoleh ke arah Yori yang dari
tadi hanya menjadi pendengar saja. Yori menggeser tubuhnya sebelum mengeluarkan
kata-kata dari mulutnya.
“Tak apa-apa Bay. Ia hanya perlu
istirahat untuk beberapa hari kedepan hingga ia merasa pulih kembali. Mungkin
ia akan cepat sembuh andai orang yang begitu berarti baginya datang menjenguk,
meski hanya sebentar saja”. Yori dan Rendy tak menceritakan pada Lembayung
mengenai peristiwa yang telah mengakibatkan Rhaka babak belur, dan memaksanya
untuk sementara waktu supaya tak melakukan akitivitas sampai lukanya membaik.
Sejujurnya Lembayung ingin segera beranjak pergi, untuk memastikan bahwa
sebenarnya keadaan Rhaka tak seperti yang di bayangkannya. Tapi ia bingung
harus pergi kemana, karena ia tak tahu kini Rhaka berada dimana. Ia tak pernah
sekalipun di ajak ke tempat dimana dia tinggal sejak pertama ia mengenalnya. Ia
pikir ini kesalahan pertama dalam perkawanannya dengan seorang laki-laki, yang
telah membuat hatinya merasakan ada sesuatu yang hilang jika tak bertemu
dengannya. Ia memaki dan membenci dirinya sendiri. Mengapa ia harus
merasakan kekhawatiran yang begitu sangat, padahal ia dan Rhaka baru sekedar
berkawan, karena belum terucap ikrar atau pengakuan Rhaka atas dirinya selain
kata berteman. Rendy melambai-lambaikan tangannya ke wajah Lembayung yang diam
terpaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. “Hallo, ada orang disitu ?”.
Ucapnya berulang-ulang. Lembayung tersadar dari lamunannya, dan begitu
tiba-tiba ia mengeluarkan kata tanpa memikirkannya terlebih dahulu. “Dimana aku
bisa menemui Rhaka saat ini. Tolong antarkan aku padanya !”. Tak terasa butiran
bening di sudut matanya menetes membasahi pipinya. Ia mengambil selembar tisu
yang tergeletak di meja dan menyeka air matanya. Yori menoleh ke arah Rendy
yang tengah memegangi kepala dengan kedua tangannya, kemudian mencolek paha
Rendy dan memberi isyarat untuk pergi mengantarkan Lembayung ke tempat yang ia
minta. Rendy menyesal telah memberi tahu tentang sesuatu yang telah menimpa
sahabatnya pada Lembayung meski hanya sekedar mengabarkan keadaannya. Tak bisa
dibayangkan seandainya ia menceritakan secara detail pada Lembayung mengenai
peristiwa yang telah dialami Rhaka, seperti Rhaka menceritakan kejadian itu
padanya. Sungguh, ia tak mengira jika wanita yang duduk dihadapannya akan
bersikap seperti ini. Dan kini mau tak mau ia harus mengantarkan Lembayung pada
Rhaka. Rendy jadi serba salah dan menjadi salah tingkah. Dalam hati ia
bertanya-tanya, akan senang atau marahkah Rhaka andai dia membawa Lembayung
padanya. Terbayang raut muka Rhaka dengan luka lebam di beberapa bagian
wajahnya. Terbayang ia berjalan tertatih sambil meringis menahan rasa sakit di
kedua kakinya. Terbayang luka memar di kedua tangannya karena menahan hantaman
dan tendangan dari kawan - kawan Rustam yang telah mengeroyoknya. Kini ia
dihadapkan pada pilihan yang menyulitkannya untuk secepat mungkin mengambil
keputusan. Yori kembali mengingatkan dan meminta Rendy untuk mengantarkan
Lembayung pada sahabatnya. Rendy akhirnya pasrah dan menyetujui permintaan
Lembayung. Setelah mempersilahkan Lembayung untuk menunggunya di bawah tangga,
Rendy beranjak pergi , melangkah menuruni tangga untuk mangambil sepeda
motornya yang di parkir di basement.
Kendaraan
di seputaran kampus ketika itu tak dapat bergerak sama sekali. Halaman kampus
sebuah Universitas yang letaknya tak begitu jauh dari kampusnya, di penuhi
mahasiswa pengunjuk rasa hingga keluar halaman kampus. Seorang kordinator
lapangan aksi mahasiswa berbicara lantang menggunakan pengeras suara yang
digenggam erat-erat, memberi komando pada kawan-kawannya untuk tak beranjak
dari tempatnya. Sepanduk bertuliskan tuntutan mereka pada pejabat kampusnya
dibentangkan di barisan terdepan para pengunjuk rasa. Aksi tersebut memaksanya untuk memutar arah, karena jalan di blokir
para mahasiswa. Di perempatan lampu merah ia mengambil arah kiri memasuki jalan
Ir.H. Juanda dan terus memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang.
Sementara itu Rhaka tengah mencoba
melatih pergelangan tangan dengan menggerak-gerakkannya perlahan. Kedua kakinya
dibiarkan telentang dengan tubuh bersandar pada dinding kamar. Asap mengepul
dari gelas berisi wedang jahe yang belum lama ia seduh untuk menghangatkan
tubuh dan membantu melancarkan peredaran darahnya. Cuaca di luar terlihat
mendung pertanda akan turun hujan. Ia berusaha bangkit dari tempatnya perlahan,
berjalan mengelilingi ruangan untuk melemaskan kakinya yang terasa kaku. Dan langkahnya
terhenti manakala pintu di ketuk seseorang dari luar dan memanggil-manggil namanya.
Karena ia mengenali suara dari luar kamar, ia berjalan mendekat ke arah suara
tersebut dan membukakan pintu. Rhaka terkejut bukan kepalang melihat seseorang
yang berdiri di belakang Rendy. Andai ia tahu Rendy datang bersama Lembayung,
mungkin ia akan berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan mereka mengira
dirinya sedang tak berada di tempat saat ini. Tapi kini Lembayung telah berada
di hadapannya, dan ia tak mungkin untuk menghindar darinya. Rendy sadar dan
mengerti jika Rhaka tak mengharapkan dia membawa Lembayung padanya untuk saat
ini.
“Aku tak tahu harus bagaimana. Aku
pikir……” Rhaka memotong perkataan Rendy dan mempersilahkan mereka berdua untuk
masuk. “Sudahlah Ren”. Rhaka tak meneruskan kalimatnya. Rendy menjadi serba
salah dan tak tahu harus berkata apa di hadapan sahabatnya. Lembayung tak henti
menatap Rhaka dengan pandangan menyiratkan rasa iba di kedua bola matanya. Ia
tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tak satu katapun keluar dari mulutnya.
Butiran bening menetes dari ujung kedua mata Lembayung. Hanya itu yang bisa
dilakukannya saat melihat keadaan Rhaka dengan beberapa luka di wajah dan luka
memar di kedua tangan dan kakinya. Rhaka berusaha mengendalikan situasi yang
terasa kaku dan coba memecah kebisuan.
“Beginilah keadaanku saat ini. Tapi, ya
sudahlah, semua telah terjadi. Bagaimana kuliahmu Bay ?”. Rhaka mengalihkan
pembicaraan untuk menepis kesedihan di raut wajah Lembayung yang masih diam
seribu bahasa. Rendy beranjak dari tempatnya dan memohon pamit untuk pergi
dengan alasan ada sesuatu yang harus ia beli di mini market di depan jalan
sana. Tapi Rhaka menahannya dan memintanya untuk tetap menemaninya. Rendy pun
mengurungkan niatnya dan kembali ke tempatnya semula. “Apakah semua ini ada
hubungannya denganku?”. Tanya Lembayung pada Rhaka. Ia tak memperdulikan
pertanyaan Rhaka mengenai aktivitas perkuliahannya, karena ia tahu itu hanya
untuk mengalihkan pembicaraan saja. Rhaka berusaha tetap tenang sembari
berpikir mencari jawaban, mempersiapkan kemungkinan Lembayung mempertanyakan
lebih lanjut penyebab luka di sekujur tubuhnya. Ia tak akan memberitahu jika
yang membuat luka di wajah dan di beberapa bagian tubuhnya adalah orang yang
sama yang pernah berkelahi dengannya, ketika ia berusaha menyelamatkan
Lembayung dari lelaki iseng yang menggodanya di kampus di awal pertemuannya
dengan Lembayung. Ia tak ingin memberi beban rasa bersalah pada Lembayung, walau
pada dasarnya dialah yang menjadi penyebab perkelahiannya dengan Rustam, hingga
ia menerima perlakuan yang tak mengenakkan dari Rustam cs.
“Tidak ada Bay. Semua ini sama sekali
tak ada hubungannya denganmu. Hanya miss understanding, hanya kesalahfahaman
saja. Mereka pikir aku orang yang harus di pukuli”. Rhaka sengaja memberi
jawaban yang kiranya dapat membuat Lembayung merasa lega. Ia terpaksa berbohong
pada Lembayung demi kebaikannya, karena tak berkeinginan mendiskreditkannya atas
perkara yang menimpanya, lebih jauh ia tak ingin memupuk perasaan
bersalah pada diri Lembayung. Rhaka khawatir akan berpengaruh terhadap
hubungannya dengan Lembayung di kemudian hari, jika ia memberitahukan kejadian
yang sebenarnya. Jadi ia mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat
peristiwa perkelahiannya dengan Rustam cs beberapa waktu lalu. Kalaupun pada
akhirnya ia mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, biarlah Lembayung
mengetahuinya dari orang lain.
Rhaka coba meraih minyak gosok yang
tergelak di meja belajar untuk membalurkan ke pergelangan tangannya yang masih
bengkak, tapi Lembayung terlebih dulu mengambilkannya. “Biar aku bantu mengurus
lukamu Ka”. Lembayung memegangi tangan Rhaka, kemudian membaluri pergelangannya
yang masih terlihat bengkak dengan hati-hati.
“Jika tak keberatan, aku akan
menyempatkan waktu setiap pulang kuliah untuk membantu merawat lukamu sampai
kau sembuh”. Pinta lembayung padanya.
“Menurutmu apakah orang tuamu harus tahu
keadaanmu seperti sekarang ini ?”. Tanya Lembayung kemudian. Ia dapat menebak
jika Rhaka maupun temannya belum memberitahukan kondisinya saat ini pada orang
tuanya. Andai orang tuanya tahu, mungkin Rhaka sekarang tak berada di tempat
ini. Ia mengungkapkan alasan mengapa ia tak memberi kabar pada orang tuanya di
kampung halaman. Rhaka tak ingin masalah yang dihadapinya saat ini menjadi
beban pikiran kedua orang tuanya. Tentu mereka akan memiliki pertimbangan lain
dalam menyikapi persoalan yang ia hadapi kini, dan akan berakibat pada program
study-nya di kota kembang saat ini. Setelah mendengar penuturan Rhaka mengenai
sikapnya untuk memilih tak mengabari orang tuanya, Lembayung dapat mengerti.
Alasannya pun cukup masuk akal jika ia berpandangan ke arah sana. Untuk saat
ini Lembayung hanya berharap supaya Rhaka cepat sembuh. Dalam hati ia
menyimpan kekhawatiran akan trauma yang mungkin dialaminya setelah peristiwa
yang menimpanya. Tapi dari cara dia menghadapi hidup seperti yang Lembayung
saksikan di depan matanya saat ini, ia merasa yakin bahwa Rhaka akan mampu
melewati persoalan yang datang menghampirinya. Mungkin baginya peristiwa yang
telah menimpanya hanya pesoalan kecil sehingga ia tak perlu mengabari orang
tuanya. Ia pun sepertinya tak ingin menyulitkan dan membebani kawan dan
sahabatnya dalam persoalan ini. Ia berusaha menyelesaikan persoalannya sendiri
tanpa melibatkan kawan atau sahabatnya. Rendy sebagai sahabatnya mengetahui
sifat Rhaka yang memang jarang meminta bantuan jika memang tak sedang
benar-benar kepepet. Tapi Rhaka pun tak menolak bantuan yang diberikan kawan
dan sahabatnya ketika ia mendapat masalah. Dan kini, peristiwa yang terjadi
padanya ternyata membawa hikmah. Selain hubungan dengan kawan dan sahabat
semakin erat, hubungan perkawanan dengan Lembayung pun semakin memberi makna
dan menyimpan arti tersendiri baginya maupun Lembayung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar