Kamis, 12 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #7 )



Karya : Ipey

        Alunan lagu menyapa ramah para pengguna jasa angkutan bis kota jurusan Cicaheum saat rintik hujan datang menyirami kota kembang siang itu. Lagu “Yang Terlupakan” milik penyanyi kenamaan negeri ini menjadi penutup pertemuannya dengan beberapa penikmat keromantisan suasana langit redup berhias tetes air hujan dari atas sana.
“Yaah itulah beberapa bait kata dengan alunan nada yang mungkin terdengar sumbang di telinga anda semua. Untuk itu dengan segala hormat diiringi ketulusan hati, kami mohon maaf apabila telah mengusik ketenangan anda selama perjalanan. Semoga rintik hujan diluar sana menyentuh keikhlasan untuk memberi setitik rezeki pada pengamen tak tahu diri ini. Tetap berhati-hati selama perjalanan, pastikan barang anda tak terjamah  tangan-tangan jahil yang mengincar kelengahan anda semua. Terima kasih pada bapak sopir dan bapak kondektur atas kerelaannya memberi sedikit waktu kepada kami untuk ikut mengais rezeki di sela-sela kesibukannya, dan kepada para penumpang kami ucapkan selamat menikmati hari teriring do’a semoga anda selamat sampai tujuan”.  Ucapnya tanpa ragu, meski tersirat malu terpancar diraut muka, diantara langkah-langkah kaki dengan wajah sedikit merunduk hormat pada setiap penumpang, tak terkecuali mereka yang memberinya kata maaf.
      Rhaka berjalan setengah berlari menuju warteg di pojokan terminal. Setelah menyimpan gitar dan membuka kain penutup kepala yang menempel di sweaternya, ia meminta ibu penunggu warung membuatkan menu makan pesanannya. Tanpa basa basi ia melahap masakan pemilik warteg hingga menyisakan daun salam di akhir santapan. Ibu penunggu warung menawarkan untuk menambah atau memesan menu lain yang tersedia disana. Rhaka meneguk air teh sambil menggelengkan kepala serta mengangkat tangannya.
“Tidak bu, terima kasih”.  Jawabnya singkat. Disela-sela menyiapkan makanan untuk pengunjung lainnya, ia sempatkan bertanya sekedar menghilangkan ketidaktahuan tentang apa yang terjadi pada lelaki dihadapannya.
“Bagaimana rezekimu hari ini nduk?. Ibu harap keberuntungan menaungi jerih payah segala ikhtiarmu”. Ucapnya kemudian, seolah ia bicara pada anaknya sendiri.

“Alhamdulillah bu, lumayan buat tambah-tambah tabungan untuk melunasi uang kuliahku”. Jawabnya disertai penjelasan.
“Oh ya, bagaimana dengan kuliahmu?.
Dosen yang kamu ceritakan tempo hari sudah berbaik hati memberikan ujian susulan padamu atau belum?”. Tanya ibu warung penuh  keingintahuan tersirat di wajahnya. Rhaka tak segera menjawab. Dihempaskan nafas jauh-jauh dari mulutnya.
“Alhamdulillah bu, akhirnya dia memberikan juga kesempatan untuk mengikuti ujian susulan meski dengan syarat”. Ia coba memberi penjelasan sesingkat mungkin.
“Syarat apa itu nduk, ibu nggak ngerti maksudmu?!”. Tanya ibu warung menyambung pertanyaannya sambil memberikan piring dan gelas pada pengunjung lainnya.
“Sebelum mengikuti ujian susulan, aku harus menyelesaikan makalah yang ditugaskannya. Beruntung tugasnya tidak sesulit yang di bayangkan, hingga bisa secepatnya diselesaikan”. Tuturnya memberi penjelasan.
“Oooh, ibu kira syarat apa. Syukurlah jika demikian adanya”. Perasaan lega di tutur katanya mengakhiri perbincangan mereka. Setelah memberikan uang makanan santapannya, Rhaka pamit pergi melanjutkan perjalanannya.
        Rhaka mampir sebentar di warung tak jauh dari tempat kostnya guna melunasi pembayaran atas pengambilan kopi dan gula beberapa hari lalu. Lalu kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju jalan raya. Beberapa saat setelah berdiri menunggu, ia menaiki angkutan kota dengan tujuan terminal Kebon Kelapa.
Sore hari yang cerah mengantarkan tekadnya membeli beberapa senar gitar di toko penyedia alat musik tak jauh dari perempatan lampu merah. Ramai pejalan kaki menghiasi trotoar sepanjang Jl. Rd Dewi Sartika. Ia menyeberang jalan, melangkah perlahan diantara para pejalan kaki, lalu memasuki salah satu tempat perbelanjaan. Ia ingat betul, hari itu menunjukkan tanggal dan bulan dimana ia pernah melewati romantisme bersama wanita pujaannya. Barang yang dihadiahkan untuknya kini masih melingkar utuh di pergelangan tangannya. Pandangan mata Rhaka terhenti di sosok wanita berbalut gaun merah muda di counter pakaian yang dulu pernah disinggahi bersamanya. Berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu dalam hati. Ada setangkup rindu di binar bola matanya yang tak berkedip memandangi arah dimana wanita itu berada. Seorang anak perempuan dengan hiasan pita dirambut berdiri disampingnya, memegang gaun dengan sikap manja. Dari penampilan wanita itu ia dapat menduga kehidupannya kini seperti apa yang ada di benaknya. Karena terlalu asyik dengan pencarian guna melengkapi kebutuhannya, ia tak menyadari perempuan kecil disampingnya berjalan menjauh menuju etalase barang pajangan mainan anak. Tanpa menunggu lama-lama, Rhaka beranjak ke arah anak perempuan itu.
“Hai cantik, sedang apa disitu?”. Sapanya dengan senyum dibibir. Tangannya mengelus-elus rambut halus, mencium kening anak itu sepenuh hati. Ia seakan mengerti dengan apa yang dilakukan Rhaka terhadapnya. Sebelah tangan mungilnya menepuk-nepuk bahu, sementara tangan satunya menunjuk boneka di etalase. Rhaka mengerti isyarat itu. Tanpa pikir panjang ia meminta penjaga counter mainan mengambilkan boneka yang diinginkan anak perempuan ini. Setelah membayar, ia pandangi sejenak gelang yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian melepasnya perlahan dan menggantungkan di leher boneka sebelum ia memberikannya pada si kecil.
“Tidak, aku tak akan menemuinya”. Umpatnya dalam hati.
Kain penutup kepala yang menempel di sweater secepatnya ia kenakan  ketika ibu sang anak meluaskan pencarian hingga tertuju ke arah dimana ia berada. Rhaka segera beranjak menjauh, melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Perasaan khawatir akan kehilangan terhapus sudah manakala didapati anak perempuannya tengah berdiri sambil memegang boneka ditangan mungilnya.
“Aduuuh sayang, mama mengkahawatirkanmu. Maafkan kelalaian mama ya nak”. Ucapnya penuh penyesalan.
“Boneka siapa ini yang kau bawa nak?”. Tanya sang ibu menatap heran barang di genggaman buah hatinya. Penjaga counter tersenyum seramah mungkin pada ibu sang anak, meski terselip sesuatu di sorot matanya.
“Ibu tidak bersama suami datang ke tempat ini?”. Tanya penjaga counter mencari tahu.
“Tidak”. Jawab ibu sang anak keheranan.
“Saya kira tadi ia bersama ayahnya. Boneka itu dibelikan untuknya”. Lanjut pramuniaga menjelaskan.
Sejenak ibu sang anak terdiam. Diraihnya boneka dalam genggaman anaknya. Raut mukanya tiba-tiba berubah ketika mendapati sesuatu menempel dileher boneka.
“Rhaka....”. Bibirnya mengukir kata sebuah nama. Matanya berkeliling mencari-cari. Mencari pemilik gelang yang menempel di leher boneka dalam genggamannya. Sang anak meronta, meminta ibunya mengembalikan mainan baru kembali kepangkuannya. Tanpa diminta kembali, ia mengembalikan boneka kepangkuan anaknya setelah sebelumnya mengambil gelang yang melingkar di leher boneka itu, kemudian memangku sang anak dan bergegas pergi.


        Rhaka memacu langkah kakinya secepat yang bisa ia lakukan. Sementara di tempat parkiran, wanita bergaun merah muda nampak terburu-buru memasuki kendaraan. Setelah menyerahkan selembar uang kertas pada petugas parkir, ia mengarahkan roda-roda kendaraannya berputar menuju jalan besar dan menghilang di belokan ujung jalan sana.
Rhaka berjalan dan terus berjalan menuju persimpangan arah tujuannya.
Langkah-langkah pun terhentikan suara seseorang memanggil namanya. Ia mencari-cari arah datangnya suara. Jantungnya berdetak kencang ketika matanya beradu pandang dengan wanita diseberang jalan. Ingin rasanya ia berlari menghindar kembali, namun tubuhnya seakan terpaku.
“Kamu tahu aku tadi ada ditempat perbelanjaan itu, tapi mengapa kau tak berupaya menemuiku, malah pergi menghindar. Tak terbersitkah dibenakmu keinginan untuk sekedar menyapaku?. Ooooh, jadi beginikah caramu menghapusku dari ingatanmu. Sementara kau sama sekali tidak mempertimbangkan perasaanku dengan mengembalikan bukti bahwa diantara kita pernah terukir cerita meski tak berakhir indah diakhir kisah!”. Mata Lembayung berkaca-kaca menatap wajah lelaki dihadapannya yang tertunduk diam tanpa kata.
“Sampai kapan kau akan menyiksa perasaanku Ka?. Kau pikir aku bahagia menjalani hidup dengan ayah anak itu, meski secara materi kau dapat melihat sendiri keadaanku kini. Aku mohon tolong kau jaga baik-baik perasaanku seperti dulu kau menjaganya untukku. Perasaan ini tak pernah berkurang sedikit pun padamu Ka, jika kau ingin tahu. Apa kau tahu setelah pertemuan terakhir kita waktu itu (baca : Cinta ini masih ada), aku mencarimu dan terus mencari, hingga akhirnya orang tuaku memaksa aku menerima lamaran keluarga ayahnya anak itu”.


“Sakiiit Ka. Apa kamu tak bisa merasakan sakit yang aku rasakan selama ini. Betapa tersiksanya aku ketika mengingatmu, mengingat segala kebaikanmu, ketulusan dan kesungguhan yang pernah kau janjikan padaku. Dan lebih sakit lagi ketika kau mengembalikan ini, dengan caramu yang sungguh membuat aku terpukul”.  Lanjut Lembayung kemudian tanpa menghiraukan berpasang-pasang mata memperhatikan mereka. Rhaka memberanikan diri membuka mulut.
“Aku minta maaf atas tindakanku Bay”. Ucap Rhaka dengan nada bergetar.
“Oooooh, hanya itu Ka. Semudah itukah kau mengatakannya?”. Bentak Lembayung memotong perkataan.
“Baik. Aku, aku meminta paksa waktumu untuk kita bicara barang sebentar saja”. Ucap wanita dihadapan Rhaka.


Entah mengapa Rhaka Tak bisa menolak permintaannya. Wanita itu berjalan menyeberang sambil menuntun tangan Rhaka menuju kendaraan yang di parkir di pinggiran jalan. Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, tak sepatah kata pun terucap dari keduanya.



Tidak ada komentar: