Karya : Ipey
Alunan
lagu menyapa ramah para pengguna jasa angkutan bis kota jurusan Cicaheum saat
rintik hujan datang menyirami kota kembang siang itu. Lagu “Yang Terlupakan”
milik penyanyi kenamaan negeri ini menjadi penutup pertemuannya dengan beberapa
penikmat keromantisan suasana langit redup berhias tetes air hujan dari atas
sana.
“Yaah itulah beberapa bait kata dengan
alunan nada yang mungkin terdengar sumbang di telinga anda semua. Untuk itu
dengan segala hormat diiringi ketulusan hati, kami mohon maaf apabila telah
mengusik ketenangan anda selama perjalanan. Semoga rintik hujan diluar sana menyentuh
keikhlasan untuk memberi setitik rezeki pada pengamen tak tahu diri ini. Tetap
berhati-hati selama perjalanan, pastikan barang anda tak terjamah tangan-tangan jahil yang mengincar kelengahan
anda semua. Terima kasih pada bapak sopir dan bapak kondektur atas kerelaannya
memberi sedikit waktu kepada kami untuk ikut mengais rezeki di sela-sela
kesibukannya, dan kepada para penumpang kami ucapkan selamat menikmati hari
teriring do’a semoga anda selamat sampai tujuan”. Ucapnya tanpa ragu, meski tersirat malu terpancar
diraut muka, diantara langkah-langkah kaki dengan wajah sedikit merunduk hormat
pada setiap penumpang, tak terkecuali mereka yang memberinya kata maaf.
Rhaka
berjalan setengah berlari menuju warteg di pojokan terminal. Setelah menyimpan
gitar dan membuka kain penutup kepala yang menempel di sweaternya, ia meminta
ibu penunggu warung membuatkan menu makan pesanannya. Tanpa basa basi ia
melahap masakan pemilik warteg hingga menyisakan daun salam di akhir santapan.
Ibu penunggu warung menawarkan untuk menambah atau memesan menu lain yang
tersedia disana. Rhaka meneguk air teh sambil menggelengkan kepala serta
mengangkat tangannya.
“Tidak bu, terima kasih”. Jawabnya singkat. Disela-sela menyiapkan
makanan untuk pengunjung lainnya, ia sempatkan bertanya sekedar menghilangkan
ketidaktahuan tentang apa yang terjadi pada lelaki dihadapannya.
“Bagaimana rezekimu hari ini nduk?. Ibu
harap keberuntungan menaungi jerih payah segala ikhtiarmu”. Ucapnya kemudian,
seolah ia bicara pada anaknya sendiri.
“Alhamdulillah bu, lumayan buat
tambah-tambah tabungan untuk melunasi uang kuliahku”. Jawabnya disertai
penjelasan.
“Oh ya, bagaimana dengan kuliahmu?.
Dosen yang kamu ceritakan tempo hari sudah
berbaik hati memberikan ujian susulan padamu atau belum?”. Tanya ibu warung penuh
keingintahuan tersirat di wajahnya.
Rhaka tak segera menjawab. Dihempaskan nafas jauh-jauh dari mulutnya.
“Alhamdulillah bu, akhirnya dia memberikan juga
kesempatan untuk mengikuti ujian susulan meski dengan syarat”. Ia coba memberi
penjelasan sesingkat mungkin.
“Syarat apa itu nduk, ibu nggak ngerti
maksudmu?!”. Tanya ibu warung menyambung pertanyaannya sambil memberikan piring
dan gelas pada pengunjung lainnya.
“Sebelum mengikuti ujian susulan, aku harus
menyelesaikan makalah yang ditugaskannya. Beruntung tugasnya tidak sesulit yang
di bayangkan, hingga bisa secepatnya diselesaikan”. Tuturnya memberi
penjelasan.
“Oooh, ibu kira syarat apa. Syukurlah jika
demikian adanya”. Perasaan lega di tutur katanya mengakhiri perbincangan
mereka. Setelah memberikan uang makanan santapannya, Rhaka pamit pergi
melanjutkan perjalanannya.
Rhaka
mampir sebentar di warung tak jauh dari tempat kostnya guna melunasi pembayaran
atas pengambilan kopi dan gula beberapa hari lalu. Lalu kemudian ia melanjutkan
langkahnya menuju jalan raya. Beberapa saat setelah berdiri menunggu, ia
menaiki angkutan kota dengan tujuan terminal Kebon Kelapa.
Sore hari yang cerah mengantarkan tekadnya
membeli beberapa senar gitar di toko penyedia alat musik tak jauh dari
perempatan lampu merah. Ramai pejalan kaki menghiasi trotoar sepanjang Jl. Rd
Dewi Sartika. Ia menyeberang jalan, melangkah perlahan diantara para pejalan
kaki, lalu memasuki salah satu tempat perbelanjaan. Ia ingat betul, hari itu
menunjukkan tanggal dan bulan dimana ia pernah melewati romantisme bersama wanita
pujaannya. Barang yang dihadiahkan untuknya kini masih melingkar utuh di
pergelangan tangannya. Pandangan mata Rhaka terhenti di sosok wanita berbalut
gaun merah muda di counter pakaian yang dulu pernah disinggahi bersamanya. Berbagai
perasaan bercampur aduk menjadi satu dalam hati. Ada setangkup rindu di binar
bola matanya yang tak berkedip memandangi arah dimana wanita itu berada. Seorang
anak perempuan dengan hiasan pita dirambut berdiri disampingnya, memegang gaun
dengan sikap manja. Dari penampilan wanita itu ia dapat menduga kehidupannya kini
seperti apa yang ada di benaknya. Karena terlalu asyik dengan pencarian guna
melengkapi kebutuhannya, ia tak menyadari perempuan kecil disampingnya berjalan
menjauh menuju etalase barang pajangan mainan anak. Tanpa menunggu lama-lama,
Rhaka beranjak ke arah anak perempuan itu.
“Hai cantik, sedang apa disitu?”. Sapanya
dengan senyum dibibir. Tangannya mengelus-elus rambut halus, mencium kening
anak itu sepenuh hati. Ia seakan mengerti dengan apa yang dilakukan Rhaka
terhadapnya. Sebelah tangan mungilnya menepuk-nepuk bahu, sementara tangan
satunya menunjuk boneka di etalase. Rhaka mengerti isyarat itu. Tanpa pikir
panjang ia meminta penjaga counter mainan mengambilkan boneka yang diinginkan
anak perempuan ini. Setelah membayar, ia pandangi sejenak gelang yang melingkar
di pergelangan tangan, kemudian melepasnya perlahan dan menggantungkan di leher
boneka sebelum ia memberikannya pada si kecil.
“Tidak, aku tak akan menemuinya”. Umpatnya dalam
hati.
Kain penutup kepala yang menempel di
sweater secepatnya ia kenakan ketika ibu
sang anak meluaskan pencarian hingga tertuju ke arah dimana ia berada. Rhaka
segera beranjak menjauh, melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Perasaan
khawatir akan kehilangan terhapus sudah manakala didapati anak perempuannya
tengah berdiri sambil memegang boneka ditangan mungilnya.
“Aduuuh sayang, mama mengkahawatirkanmu.
Maafkan kelalaian mama ya nak”. Ucapnya penuh penyesalan.
“Boneka siapa ini yang kau bawa nak?”.
Tanya sang ibu menatap heran barang di genggaman buah hatinya. Penjaga counter
tersenyum seramah mungkin pada ibu sang anak, meski terselip sesuatu di sorot
matanya.
“Ibu tidak bersama suami datang ke tempat
ini?”. Tanya penjaga counter mencari tahu.
“Tidak”. Jawab ibu sang anak keheranan.
“Saya kira tadi ia bersama ayahnya. Boneka
itu dibelikan untuknya”. Lanjut pramuniaga menjelaskan.
Sejenak ibu sang anak terdiam. Diraihnya
boneka dalam genggaman anaknya. Raut mukanya tiba-tiba berubah ketika mendapati
sesuatu menempel dileher boneka.
“Rhaka....”. Bibirnya mengukir kata sebuah
nama. Matanya berkeliling mencari-cari. Mencari pemilik gelang yang menempel di
leher boneka dalam genggamannya. Sang anak meronta, meminta ibunya
mengembalikan mainan baru kembali kepangkuannya. Tanpa diminta kembali, ia
mengembalikan boneka kepangkuan anaknya setelah sebelumnya mengambil gelang
yang melingkar di leher boneka itu, kemudian memangku sang anak dan bergegas
pergi.
Rhaka
memacu langkah kakinya secepat yang bisa ia lakukan. Sementara di tempat
parkiran, wanita bergaun merah muda nampak terburu-buru memasuki kendaraan. Setelah
menyerahkan selembar uang kertas pada petugas parkir, ia mengarahkan roda-roda kendaraannya
berputar menuju jalan besar dan menghilang di belokan ujung jalan sana.
Rhaka berjalan dan terus berjalan menuju
persimpangan arah tujuannya.
Langkah-langkah pun terhentikan suara seseorang
memanggil namanya. Ia mencari-cari arah datangnya suara. Jantungnya berdetak
kencang ketika matanya beradu pandang dengan wanita diseberang jalan. Ingin
rasanya ia berlari menghindar kembali, namun tubuhnya seakan terpaku.
“Kamu tahu aku tadi ada ditempat perbelanjaan itu, tapi mengapa kau tak berupaya menemuiku, malah pergi menghindar. Tak terbersitkah dibenakmu keinginan untuk sekedar menyapaku?. Ooooh, jadi beginikah caramu menghapusku dari ingatanmu. Sementara kau sama sekali tidak mempertimbangkan perasaanku dengan mengembalikan bukti bahwa diantara kita pernah terukir cerita meski tak berakhir indah diakhir kisah!”. Mata Lembayung berkaca-kaca menatap wajah lelaki dihadapannya yang tertunduk diam tanpa kata.
“Kamu tahu aku tadi ada ditempat perbelanjaan itu, tapi mengapa kau tak berupaya menemuiku, malah pergi menghindar. Tak terbersitkah dibenakmu keinginan untuk sekedar menyapaku?. Ooooh, jadi beginikah caramu menghapusku dari ingatanmu. Sementara kau sama sekali tidak mempertimbangkan perasaanku dengan mengembalikan bukti bahwa diantara kita pernah terukir cerita meski tak berakhir indah diakhir kisah!”. Mata Lembayung berkaca-kaca menatap wajah lelaki dihadapannya yang tertunduk diam tanpa kata.
“Sampai kapan kau akan menyiksa perasaanku
Ka?. Kau pikir aku bahagia menjalani hidup dengan ayah anak itu, meski secara
materi kau dapat melihat sendiri keadaanku kini. Aku mohon tolong kau jaga
baik-baik perasaanku seperti dulu kau menjaganya untukku. Perasaan ini tak
pernah berkurang sedikit pun padamu Ka, jika kau ingin tahu. Apa kau tahu setelah
pertemuan terakhir kita waktu itu (baca : Cinta ini masih ada), aku mencarimu dan terus mencari, hingga
akhirnya orang tuaku memaksa aku menerima lamaran keluarga ayahnya anak itu”.
“Aku minta maaf atas tindakanku Bay”. Ucap Rhaka
dengan nada bergetar.
“Oooooh, hanya itu Ka. Semudah itukah kau
mengatakannya?”. Bentak Lembayung memotong perkataan.
“Baik. Aku, aku meminta paksa waktumu untuk
kita bicara barang sebentar saja”. Ucap wanita dihadapan Rhaka.
Entah mengapa Rhaka Tak bisa menolak permintaannya. Wanita itu berjalan menyeberang sambil menuntun tangan Rhaka menuju kendaraan yang di parkir di pinggiran jalan. Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, tak sepatah kata pun terucap dari keduanya.
Entah mengapa Rhaka Tak bisa menolak permintaannya. Wanita itu berjalan menyeberang sambil menuntun tangan Rhaka menuju kendaraan yang di parkir di pinggiran jalan. Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, tak sepatah kata pun terucap dari keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar