Jumat, 13 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #8)



Karya : Ipey

        Jarum jam menunjukkan pukul 18.15 wib ketika mereka tiba di tujuan. Rhaka mohon pamit pergi ke toilet, menyela saat Lembayung memesan meja untuk mereka. Ia coba meyakinkan bahwa Rhaka pergi ketempat seperti yang dikatakan tadi padanya. Merasa kurang atas tindakan kekhawatirannya, ia meminta tolong salah seorang pekerja  disana untuk memastikan yang datang bersamanya tidak pergi kemana-mana.
Rhaka membasahi wajah dan helai rambutnya dengan air kran di wastafel dekat pintu keluar masuk toilet. Kepalanya menunduk hampir menyentuh pegangan kran air dengan kedua tangan berpegang pada wastafel. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan pada Lembayung. Penjelasan seperti apa kiranya dapat membuat ia percaya padanya. Bagaimana caranya agar ia mengerti dan menerima apa yang telah terjadi. Sebentar ia pandangi dirinya di kaca cermin, kemudian beranjak menuju ruangan beralaskan karpet tak jauh dari sana.
        Di atas meja kini tersaji beberapa jenis makanan dan minuman yang dipesannya di awal kedatangan mereka di tempat itu. Rhaka tak kuasa menatap wanita dihadapannya yang tampak masih menyimpan sisa-sisa kemarahannya.
“Aku ingin mendengar penjelasanmu Ka. Buat aku mengerti mengapa kita harus bertemu dengan suasana seperti ini”. Lembayung coba memulai pembicaraan sambil memangku anaknya yang tertidur dipangkuan. Rhaka menarik nafas panjang, membuang pandangannya kesamping, lalu menundukan kepalanya sejenak.

“Bolehkah aku memangku anak itu untuk ayahnya Bay?”. Pinta Rhaka tiba-tiba. Ia pandangi kedua mata wanita di hadapannya dengan tatapan mata memohon. Lembayung tak menjawab, ia coba beranjak dari tempatnya, namun Rhaka menahan dengan isyarat tangannya. Diraihnya perempuan mungil dipangkuan ibunya, Kemudian ia dekap dipangkuan. Kini Lembayung terdiam, tak berucap sepatah katapun. Matanya berkaca-kaca menyaksikan pemandangan dihadapannya.
“Aku tak dapat membayangkan rasa bahagiaku andai saja anak dipangkuanmu itu anak kita Ka. Bukan anak dari lelaki yang belum bisa aku cintai hingga kini”. Tutur lembayung dengan nada pelan penuh harap di sorot matanya.
“Andai anak ini anak kita berdua, belum tentu saat ini kita berada di tempat seperti ini Bay. Aku mohonkan pengertianmu. Kumohon kau dapat memahami kenyataan yang aku hadapi. Mengertilah mengapa aku melakukan semua ini. Aku tak ingin membuatmu tersiksa menjalani hidup denganku. Aku hanya tak ingin kau terluka. Aku hanya..”. Belum sempat ia menuntaskan kalimatnya, Lembayung memotong dengan nada tinggi, hingga membuat beberapa pasang mata menoleh kearah mereka. Kedua tangannya mencengkram meja penuh kemarahan.


“Kamu pikir saat ini aku tidak terluka, dan kamu pikir selama ini aku tidak tersiksa hidup dengannya?!!. Apa kau tahu jika selama ini aku menjalani hidupku dengan penuh kepura-puraan. Berpura-pura mencintai setiap kali aku berada didekatnya. Berpura-pura seakan-akan aku merasa bahagia setiap kali berada di tengah-tengah keluargaku dan juga keluarganya. Apakah itu yang kamu harapkan, apakah itu yang kamu inginkan?!. Begitukah caramu memberiku kebahagiaan, seakan kau lebih mengetahui apa yang aku harapkan!!”. Lembayung menumpahkan segala perasaan yang dipendamnya selama ini dengan linangan air mata, hingga membangunkan wajah mungil dipangkuan lelaki diahadapannya. Seakan mengerti akan situasi, ia pun kembali memejamkan matanya. Rhaka kembali menghela nafas dalam-dalam. Rasa sesak didada membuat kerongkongannya terasa sakit.
“Aku merasa tak yakin kau mengerti dengan apa yang  kau ucapkan Bay”. Sahut Rhaka menyampaikan perasaannya.
“Tahu apa kau soal perasaan Ka?. Jangan menganggap dirimu lebih tahu soal perasaan yang kini aku rasakan”. Tegas Lembayung.
“Maaf Bay, apa kini kita tidak sedang menyakiti perasaan seseorang di luar sana, andai dia tahu keberadaan kita disini?.” Lanjut Rhaka menanggapi perkataan Lembayung padanya.
“Andai saja kau punya keberanian menghadapi semua ini, aku berharap ia datang kesini dan menyaksikan pembicaraan kita disini!!. Hanya saja sangat disayangkan dia sedang berada jauh diluar kota ini”. Ungkap Lembayung tanpa ragu.


Untuk kesekian kalinya Rhaka menarik nafas panjang dan membuangnya jauh-jauh, sejauh matanya memandang bintang-bintang bertebaran di langit tinggi. Ia masih tak bisa mengerti akan keinginannya, masih tak memahami akan harapan-harapannya.
“Andai saja kau percaya, tak pernah terlintas dibenakku untuk melupakan setiap kebersamaan kita dahulu. Tak sedikit pun keinginan tuk  mengahapus semua yang pernah tersimpan dihati, meski kenyataan memaksa kita terpisah jarak dan waktu. Percayalah Bay, kau akan tetap dan selamanya dihati ini. Kebaikan, ketulusan serta perhatianmu selama ini akan selalu terimpan rapi di lubuk sanubari terdalam. Kau pun harus tahu tak mudah bagiku melewati pergantian musim tanpa kehadiranmu. Kau pikir aku menjalani semua ini tanpa kepura-puraan seperti yang kau jalani selama ini?!. Berusaha melupakanmu semakin membuat aku terkurung dalam rasa sakitku. Jika merasa terusik dengan apa yang aku lakukan sore tadi, aku mohon kau bisa memafkan dan memahaminya. Mungkin benar aku tak mempertimbangkan perasaanmu, hingga kau semarah ini padaku. Aku hanya ingin kau mengingatku sampai batas waktu yang kau inginkan. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku tak berharap lebih. Rasanya cukup adil bagiku kau tetap mengingatku walau hanya untuk kau kenang”. Rhaka berusaha sebisa mungkin menyampaikan segala isi hatinya tanpa menyinggung perasaannya yang tengah terkoyak. Baru saja ia bermaksud melanjutkan penuturannya, Lembayung menahannya dengan menggapai jemari tangan Rhaka penuh kelembutan.


“Cukup Ka!. Setiap kata terucap darimu semakin membuatku terpuruk dalam kesedihan. Jangan kau tambah kepiluan ini dengan kepedihanmu. Namun demikian, sampai kapan pun aku akan menantimu, meski harus menunggu hingga dikehidupan selanjutnya. Jika waktu dan keadaan berpihak pada kita berdua, aku akan tetap menantimu. Dan jika saat itu tiba aku berharap kau ada untukku. Tolong simpan ini baik-baik seperti aku menyimpan ketulusanmu di hidupku”. Lembayung meletakkan sesuatu di telapak tangan Rhaka.
“Simpan dan jaga baik-baik untukku, untuk kita”. Lanjutnya diiringi derai air mata. Rhaka mengangguk perlahan penuh perasaan.
“Tolong simpan air mata ini untuk kebahagianmu, bukan untuk kesedihanmu!”. Ucap Rhaka setengah berbisik sambil menghapus air mata dikedua pipi Lembayung.
“Beri aku senyuman manismu biar hilang semua rasa sesak di dadaku”. Pintanya kemudian. Lembayung menunduk sejenak, kemudian menatap wajah Rhaka dengan senyum tersungging di bibirnya. Rhaka beranjak dari tempatnya, ketika wajah mungil dipangkuannya terbangun. Lembayung meraihnya, kemudian mendudukkannya di kursi setelah ia menolak untuk berada dipangkuannya. Lembayung berdiri menatap Rhaka penuh makna.
“Beri aku pelukan hangatmu Ka, agar kuingat selalu kedamaian berada didekapanmu, biar aku merasakan ketenangan selama dalam penantianku”. Pinta Lembayung mengiba.


Rhaka beranjak dari tempatnya, melangkah perlahan kemudian memeluk Lembayung teriring kedamaian dihatinya. Ia bisikkan kata-kata ditelinganya.
“Besarkan anak ini dengan penuh kasih sayang, seperti kau menyayangi aku. Rawat dia dengan setulus cintamu, seperti kau mencintai aku, meskipun dia bukan anak dariku. Belajarlah untuk mencintai pendamping hidupmu kini, hingga saat itu tiba. Berjanjilah untukku!”.
Lembayung menganggukkan kepala didekapan lelaki yang hingga kini masih bertahta di lubuk hatinya.

       
       
       


Tidak ada komentar: