Karya
: Ipey
Jarum
jam menunjukkan pukul 18.15 wib ketika mereka tiba di tujuan. Rhaka mohon pamit
pergi ke toilet, menyela saat Lembayung memesan meja untuk mereka. Ia coba meyakinkan
bahwa Rhaka pergi ketempat seperti yang dikatakan tadi padanya. Merasa kurang
atas tindakan kekhawatirannya, ia meminta tolong salah seorang pekerja disana untuk memastikan yang datang bersamanya
tidak pergi kemana-mana.
Rhaka membasahi wajah dan helai rambutnya
dengan air kran di wastafel dekat pintu keluar masuk toilet. Kepalanya menunduk
hampir menyentuh pegangan kran air dengan kedua tangan berpegang pada wastafel.
Ia tak tahu apa yang harus dikatakan pada Lembayung. Penjelasan seperti apa
kiranya dapat membuat ia percaya padanya. Bagaimana caranya agar ia mengerti
dan menerima apa yang telah terjadi. Sebentar ia pandangi dirinya di kaca
cermin, kemudian beranjak menuju ruangan beralaskan karpet tak jauh dari sana.
Di
atas meja kini tersaji beberapa jenis makanan dan minuman yang dipesannya di
awal kedatangan mereka di tempat itu. Rhaka tak kuasa menatap wanita
dihadapannya yang tampak masih menyimpan sisa-sisa kemarahannya.
“Aku ingin mendengar penjelasanmu Ka. Buat
aku mengerti mengapa kita harus bertemu dengan suasana seperti ini”. Lembayung
coba memulai pembicaraan sambil memangku anaknya yang tertidur dipangkuan.
Rhaka menarik nafas panjang, membuang pandangannya kesamping, lalu menundukan
kepalanya sejenak.
“Bolehkah aku memangku anak itu untuk
ayahnya Bay?”. Pinta Rhaka tiba-tiba. Ia pandangi kedua mata wanita di
hadapannya dengan tatapan mata memohon. Lembayung tak menjawab, ia coba
beranjak dari tempatnya, namun Rhaka menahan dengan isyarat tangannya. Diraihnya
perempuan mungil dipangkuan ibunya, Kemudian ia dekap dipangkuan. Kini
Lembayung terdiam, tak berucap sepatah katapun. Matanya berkaca-kaca
menyaksikan pemandangan dihadapannya.
“Aku tak dapat membayangkan rasa bahagiaku
andai saja anak dipangkuanmu itu anak kita Ka. Bukan anak dari lelaki yang belum
bisa aku cintai hingga kini”. Tutur lembayung dengan nada pelan penuh harap di
sorot matanya.
“Andai anak ini anak kita berdua, belum
tentu saat ini kita berada di tempat seperti ini Bay. Aku mohonkan pengertianmu.
Kumohon kau dapat memahami kenyataan yang aku hadapi. Mengertilah mengapa aku
melakukan semua ini. Aku tak ingin membuatmu tersiksa menjalani hidup denganku.
Aku hanya tak ingin kau terluka. Aku hanya..”. Belum sempat ia menuntaskan
kalimatnya, Lembayung memotong dengan nada tinggi, hingga membuat beberapa
pasang mata menoleh kearah mereka. Kedua tangannya mencengkram meja penuh
kemarahan.
“Kamu pikir saat ini aku tidak terluka, dan
kamu pikir selama ini aku tidak tersiksa hidup dengannya?!!. Apa kau tahu jika selama
ini aku menjalani hidupku dengan penuh kepura-puraan. Berpura-pura mencintai
setiap kali aku berada didekatnya. Berpura-pura seakan-akan aku merasa bahagia
setiap kali berada di tengah-tengah keluargaku dan juga keluarganya. Apakah itu
yang kamu harapkan, apakah itu yang kamu inginkan?!. Begitukah caramu memberiku
kebahagiaan, seakan kau lebih mengetahui apa yang aku harapkan!!”. Lembayung
menumpahkan segala perasaan yang dipendamnya selama ini dengan linangan air
mata, hingga membangunkan wajah mungil dipangkuan lelaki diahadapannya. Seakan
mengerti akan situasi, ia pun kembali memejamkan matanya. Rhaka kembali
menghela nafas dalam-dalam. Rasa sesak didada membuat kerongkongannya terasa
sakit.
“Aku merasa tak yakin kau mengerti dengan
apa yang kau ucapkan Bay”. Sahut Rhaka
menyampaikan perasaannya.
“Tahu apa kau soal perasaan Ka?. Jangan
menganggap dirimu lebih tahu soal perasaan yang kini aku rasakan”. Tegas
Lembayung.
“Maaf Bay, apa kini kita tidak sedang
menyakiti perasaan seseorang di luar sana, andai dia tahu keberadaan kita
disini?.” Lanjut Rhaka menanggapi perkataan Lembayung padanya.
“Andai saja kau punya keberanian menghadapi
semua ini, aku berharap ia datang kesini dan menyaksikan pembicaraan kita disini!!.
Hanya saja sangat disayangkan dia sedang berada jauh diluar kota ini”. Ungkap
Lembayung tanpa ragu.
Untuk kesekian kalinya
Rhaka menarik nafas panjang dan membuangnya jauh-jauh, sejauh matanya memandang
bintang-bintang bertebaran di langit tinggi. Ia masih tak bisa mengerti akan
keinginannya, masih tak memahami akan harapan-harapannya.
“Andai saja kau percaya, tak pernah
terlintas dibenakku untuk melupakan setiap kebersamaan kita dahulu. Tak sedikit
pun keinginan tuk mengahapus semua yang
pernah tersimpan dihati, meski kenyataan memaksa kita terpisah jarak dan waktu.
Percayalah Bay, kau akan tetap dan selamanya dihati ini. Kebaikan, ketulusan serta
perhatianmu selama ini akan selalu terimpan rapi di lubuk sanubari terdalam.
Kau pun harus tahu tak mudah bagiku melewati pergantian musim tanpa
kehadiranmu. Kau pikir aku menjalani semua ini tanpa kepura-puraan seperti yang
kau jalani selama ini?!. Berusaha melupakanmu semakin membuat aku terkurung dalam
rasa sakitku. Jika merasa terusik dengan apa yang aku lakukan sore tadi, aku
mohon kau bisa memafkan dan memahaminya. Mungkin benar aku tak mempertimbangkan
perasaanmu, hingga kau semarah ini padaku. Aku hanya ingin kau mengingatku
sampai batas waktu yang kau inginkan. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku tak
berharap lebih. Rasanya cukup adil bagiku kau tetap mengingatku walau hanya
untuk kau kenang”. Rhaka berusaha sebisa mungkin menyampaikan segala isi
hatinya tanpa menyinggung perasaannya yang tengah terkoyak. Baru saja ia
bermaksud melanjutkan penuturannya, Lembayung menahannya dengan menggapai
jemari tangan Rhaka penuh kelembutan.
“Cukup Ka!. Setiap kata terucap darimu
semakin membuatku terpuruk dalam kesedihan. Jangan kau tambah kepiluan ini
dengan kepedihanmu. Namun demikian, sampai kapan pun aku akan menantimu, meski
harus menunggu hingga dikehidupan selanjutnya. Jika waktu dan keadaan berpihak
pada kita berdua, aku akan tetap menantimu. Dan jika saat itu tiba aku berharap
kau ada untukku. Tolong simpan ini baik-baik seperti aku menyimpan ketulusanmu
di hidupku”. Lembayung meletakkan sesuatu di telapak tangan Rhaka.
“Simpan dan jaga baik-baik untukku, untuk
kita”. Lanjutnya diiringi derai air mata. Rhaka mengangguk perlahan penuh
perasaan.
“Tolong simpan air mata ini untuk
kebahagianmu, bukan untuk kesedihanmu!”. Ucap Rhaka setengah berbisik sambil
menghapus air mata dikedua pipi Lembayung.
“Beri aku senyuman manismu biar hilang
semua rasa sesak di dadaku”. Pintanya kemudian. Lembayung menunduk sejenak,
kemudian menatap wajah Rhaka dengan senyum tersungging di bibirnya. Rhaka beranjak
dari tempatnya, ketika wajah mungil dipangkuannya terbangun. Lembayung
meraihnya, kemudian mendudukkannya di kursi setelah ia menolak untuk berada
dipangkuannya. Lembayung berdiri menatap Rhaka penuh makna.
“Beri aku pelukan hangatmu Ka, agar kuingat
selalu kedamaian berada didekapanmu, biar aku merasakan ketenangan selama dalam
penantianku”. Pinta Lembayung mengiba.
Rhaka beranjak dari tempatnya, melangkah
perlahan kemudian memeluk Lembayung teriring kedamaian dihatinya. Ia bisikkan
kata-kata ditelinganya.
“Besarkan anak ini dengan penuh kasih
sayang, seperti kau menyayangi aku. Rawat dia dengan setulus cintamu, seperti
kau mencintai aku, meskipun dia bukan anak dariku. Belajarlah untuk mencintai
pendamping hidupmu kini, hingga saat itu tiba. Berjanjilah untukku!”.
Lembayung menganggukkan kepala didekapan
lelaki yang hingga kini masih bertahta di lubuk hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar