Selasa, 10 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #5)

#5


Karya : Ipey

        Gema adzan maghrib tak menyurutkan pengunjung datang ke tempat perbelanjaan meski hanya untuk sekedar jalan-jalan melihat barang dagangan terpajang di tiap etalase atau menggantung di rak pakaian yang ditata sedemikian rupa untuk menarik minat para calon pembeli. Di parkiran kendaraan roda dua berderet rapi hingga tepi garis batas peruntukannya. Berbagai jenis kendaraan roda empat berjejer menyamping dari ujung tenda pujasera sebalah barat hingga ujung timur. Sementara disamping mesjid tak jauh dari sana, orang bergantian mengantri untuk mengambil air wudhu. Sepertinya cuaca hari ini memberi peran penting pada aktivitas sosial perekonomian yang sedang menggeliat, meronta sambil berlari mengejar ketertinggalan, dimana menurut para pelaku pasar serta pemangku kebijakan perlu menyikapinya dengan seksama guna kemajuan kedepan. Sektor perdagangan rupanya telah menjadi salah satu pertimbangan khusus di kota ini selain perbaikan infrastruktur sebagai sarana penunjang aktifitas roda perekonomian, sehingga diperhitungkan demi mendongkrak pendapatan daerahnya. Mungkin karena sektor wisata yang telah didahulukannya tidak begitu menjanjikan kemajuan bagi kotanya. Sektor wisata yang diimpikan dapat menyedot perhatian pengunjung guna mendongkrak sektor lainnya ternyata tidak membuahkan hasil yang optimal seperti yang diinginkan.
Setelah memastikan semua berjalan sesuai rencana, Yori dan sahabatnya memutuskan melanjutkan perjalanan. Disepanjang perjalanannya ia coba sampaikan hal-hal penting berkenaan dengan rencana kegiatan yang telah memasuki babak pertengahan menurut perhitungannya menuju pelaksanaan. Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan garasi yang telah berubah fungsi menjadi basecamp tempat berkumpul. Tempatnya cukup nyaman untuk saling berbagi cerita, juga untuk sekedar melepas kepenatan setelah seharian beraktifitas. Arok pamit sebentar untuk menyegarkan tubuhnya sementara kawan-kawan lain mempersiapkan keperluan guna pembahasan rencana kegiatan. Bunyi pagar berderit perlahan. Batu-batu kerikil yang diinjak langkah-langkah kaki di halaman rumah menarik perhatian Aray yang kebetulan tengah membasuh wajah di keran air tak jauh dari ruang garasi. Secepatnya ia menoleh ke arah datangnya suara.

“Hey kawan-kawan, lihat siapa ini yang datang!”. Ucapnya setengah berteriak.
Yori dan Rendy bergerak selangkah ke depan, meninju kepalan tangan Rhaka dengan jari terkepal, kemudian serentak mengacungkan tangan ke udara, dan kompak berucap, “Kopi pahit kawan!!”.
Setelah saling berangkulan, Yori mengajak sahabatnya bergabung di ruang garasi.
“Selamat datang kembali di kebersamaan”. Ujarnya penuh kehangatan.
Rhaka mengambil tempat dipojokan, setelah menyapa kawan-kawan yang hadir disana. Tak lama berselang Arok keluar dari pintu rumah dengan setumpuk gelas plastik dan bungkusan berisi gula dan kopi. Aray mengambil bawaannya, diletakkan di atas meja bundar terbuat dari bekas gulungan kabel listrik yang telah dimodifikasi.
Raut wajah Arok berubah ketika pandangannya tertuju ke pojokan.
“hey hey, Rock’n Roll menari kembali sobat!”. Ucapnya sambil menghampiri Rhaka, saling meninju kepalan tangan, mengacungkan tangan ke udara seraya berteriak. “Kopi pahit kawan!!”.
        Yori membuka pembicaraan sambil membagikan selebaran kertas sebagai bahan pembahasan.
“Kita evaluasi rencana kegiatan berdasarkan hasil pengamatan dilapangan beberapa hari kebelakang. Seperti telah diketahui bersama, bahwa hingga saat ini mereka masih bergerak sendiri. Surat pernyataan sikap dari sumber terpercaya sepertinya dapat kita jadikan sebagai bahan penyempurnaan tuntutan yang akan kita ajukan pada pihak terkait. Sebelum melangkah lebih jauh, barangkali ada beberapa usulan atau masukan mengenai hal ini”. Ia memberi kesempatan pada kawan-kawan untuk menyampaikan saran pendapatnya.

Setelah menanti beberapa saat, Rhaka menyeret tubuhnya kedepan perlahan.
“Pertama, aku mohon maaf atas ketidakhadiranku beberapa waktu lalu. Ada hal yang tak bisa disampaikan di kebersamaan ini. Untuk itu aku mohon maaf dan berharap pengertiannya”. Ungkapnya dengan nada pelan.
“Tadi siang selepas pulang dari kampus, aku mengamen di bis kota, kemudian mampir ke tempat yang menjadi pembahasan saat ini”. Lanjutnya kemudian. Arok dengan kawan-kawan lainnya saling menatap. Dibenaknya timbul tanya. Bukankah tadi siang mereka berada disana sebelum akhirnya berkumpul di basecamp. Namun ia coba mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang hal itu. Rhaka kembali melanjutkan penjelasannya.
“Sebagian besar mereka menolak tegas isu rencana relokasi jika pembangunan Mall didirikan disana. Hanya beberapa saja menerima rencana itu. Dan kenapa aku berpikiran bahwa yang menerima isu rencana relokasi hanya strategi dari persaingan saja, yang pada akhirnya mereka akan berada disana jika pembangunan itu selesai dilaksanakan. Namun terlepas dari persoalan itu, aku lebih tertarik dengan obrolan mereka di warung nasi tadi siang. Menurut mereka relokasi hanya alasan untuk meminggirkan dan mematikan perekonomian keluarganya. Mereka mencontohkan tempat relokasi atas pembangunan gedung perkantoran beberapa tahun lalu yang kini menjadi sarang tikus dan tempat sabung ayam. Lebih mengejutkan di malam hari tempat itu menjadi ajang transaksi para PSK dengan lapak-lapak perjudian menyertainya. Sementara bagi para tunawisma, itu menjadi tempat bermalam untuk mereka. Suatu kondisi yang memaksa semua pihak untuk mencermati efek ketidakberhasilan dari program pembangunan kota. Apakah para pemangku kebijakan tidak mempertimbangkan terlebih dahulu akan kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan dari program kerjanya. Atau mungkin koordinasi lintas sektor tak teroptimalkan dengan baik, sehingga sisi sinergisitas menjadi pertanyaan terhadap pertimbangan apa yang menjadi kebijakannya. Hingga akhirnya aku bertanya-tanya, sebenarnya apa skala prioritas dari kebijakan yang dibuatnya”.
Rhaka menghela nafas sejenak, meraih gelas kemudian meneguk perlahan seduhan kopi yang dibuat di sela-sela pembicaraannya.
“Jadi menurutmu inti persoalannya apa ka?”. Rendy menyahut dengan nada serius. Rhaka mendorong kedepan kertas yang tadi dibagikan Yori diawal pembukaan.

“Aku sepakat dengan pesatnya kemajuan kota ini, karena aku tidak anti terhadap kemapanan. Tapi disisi lain keprihatinanku tersentuh ketika melihat anak-anak menangis karena tak bisa melanjutkan sekolahnya. Para pedagang kecil akhirnya banyak yang gulung tikar, tak sanggup membayar pinjamannya ke bank. Banting setir sana-sini. Ini pun terjadi akibat realisasi program kredit usaha yang tidak tepat sasaran, dan aku tak ingin berprasangka tentang apa penyebabnya. Jika pembangunan, penataan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan rakyat serta kata-kata indah lainnya menjadi suatu alasan demi kemajuan, aku sepakat dan berada dibelakangnya. Tapi jika yang terjadi kemudian tidak seindah kata-kata mutiara yang dirangkainya, aku akan berada disini, diantara kalian, ditempat kebersamaan kita”. Rhaka coba memberi penegasan akan kehadirannya disana. Sontak yang hadir disana mengangkat gelas masing-masing dan meneriakkan, “Kopi pahit kawan!!”.
Suasana hening sejenak, sementara waktu terus bergulir menelusuri dingin malam bertabur bintang diangkasa sana.
      Arok bergeser kesamping, sekedar mengusir rasa pegal di bagian tubuhnya. Setelah meneguk seduhan kopi ia coba memecah kesunyian.
“Aku jadi berpikir untuk menimbang kembali tuntutan yang telah disusun kemarin malam. Aku coba mengerti apa maksud dan arah pembicaraanmu Ka”. Ucap Arok dengan yakin.
“Ya, menurutku jika kalian sepakat, sikap terhadap rencana pembangunan Mall itu kita kerucutkan pada tuntutan di kebijakannya, bukan pada penolakannya. Biarkan sistem yang berperan terhadap penolakan, bukan pergerakan kita. Dengan demikian resiko konflik terminimalkan. Biarkan mereka disana yang berkonflik, bukan kita yang disini. Menurut hematku kita datangi saja para pemangku kebijakan di gedung-gedung sana. Minta jadwal waktu beraudiensi, sehingga lebih leluasa menyampaikan aspirasi. Biarkan ini menjadi jalan akhir, apabila mereka tidak menyikapinya”. Tegas Rhaka penuh semangat.
“Jadi, apa yang akan kita sampaikan kesana kawan-kawan?”. Tanya Aray dengan kening berkerut.
“Sebagian masyarakat kita belum siap menerima persaingan bebas. Bagi mereka proses ini dirasa terlalu cepat. Pada akhirnya mereka memberi kesan pemaksaan. Seakan mereka dicambuki tali pecut, sementara mereka tak tahu harus berbuat apa, kemana arah tujuannya. Menyikapi kondisi demikian, aku hanya dapat mengusulkan, sebaiknya kita dorong mereka disana untuk mengeluarkan kebijakan. Misalnya kebijakan pembatasan terhadap pembangunan, diantaranya pembangunan Mall dan tempat-tempat sejenisnya seperti yang tengah dihadapi kini, tentu kita pun memberi masukan untuk lahirnya kebijakan tersebut. Kita usulkan syarat-syarat disertai alasan-alasan yang mendasarinya. Contohnya, jarak antara pembangunan satu tempat dengan tempat lainnya disertai sanksi-sanksi terhadap pelanggar kebijakan, juga pertimbagan-pertimbangan lain sekenaan degan hal tersebut. Aku pikir pergerakan ini lebih efektif jika kalian setuju untuk menempuhnya”. Rhaka mengakhiri pemaparannya dengan meneguk seduhan kopi.
Yori mengangguk-anggukan kepala dengan pandangan mata menatap jauh ke pemikirannya. “Baiklah, obrolan ini kita cukupkan dulu sampai disini. Mudah-mudahan besok bisa kembali berkumpul dikebersamaan ini”. Yori menutup pertemuan dengan mengangkat gelas. Kemudian semua serempak berucap “Kopi pahit kawan!!”.    
      
      

Tidak ada komentar: