Karya : Ipey
Gema
adzan maghrib tak menyurutkan pengunjung datang ke tempat perbelanjaan meski
hanya untuk sekedar jalan-jalan melihat barang dagangan terpajang di tiap
etalase atau menggantung di rak pakaian yang ditata sedemikian rupa untuk
menarik minat para calon pembeli. Di parkiran kendaraan roda dua berderet rapi
hingga tepi garis batas peruntukannya. Berbagai jenis kendaraan roda empat
berjejer menyamping dari ujung tenda pujasera sebalah barat hingga ujung timur.
Sementara disamping mesjid tak jauh dari sana, orang bergantian mengantri untuk
mengambil air wudhu. Sepertinya cuaca hari ini
memberi peran penting pada aktivitas sosial perekonomian yang sedang
menggeliat, meronta sambil berlari mengejar ketertinggalan, dimana menurut para
pelaku pasar serta pemangku kebijakan perlu menyikapinya dengan seksama guna
kemajuan kedepan. Sektor perdagangan rupanya telah menjadi salah satu
pertimbangan khusus di kota ini selain perbaikan infrastruktur sebagai sarana
penunjang aktifitas roda perekonomian, sehingga diperhitungkan demi mendongkrak
pendapatan daerahnya. Mungkin karena sektor wisata yang telah didahulukannya
tidak begitu menjanjikan kemajuan bagi kotanya. Sektor wisata yang diimpikan
dapat menyedot perhatian pengunjung guna mendongkrak sektor lainnya ternyata
tidak membuahkan hasil yang optimal seperti yang diinginkan.
Setelah memastikan semua
berjalan sesuai rencana, Yori dan sahabatnya memutuskan melanjutkan perjalanan.
Disepanjang perjalanannya ia coba sampaikan hal-hal penting berkenaan dengan
rencana kegiatan yang telah memasuki babak pertengahan menurut perhitungannya
menuju pelaksanaan. Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan garasi yang
telah berubah fungsi menjadi basecamp tempat berkumpul. Tempatnya cukup nyaman
untuk saling berbagi cerita, juga untuk sekedar melepas kepenatan setelah
seharian beraktifitas. Arok pamit sebentar untuk menyegarkan tubuhnya sementara
kawan-kawan lain mempersiapkan keperluan guna pembahasan rencana kegiatan.
Bunyi pagar berderit perlahan. Batu-batu kerikil yang diinjak langkah-langkah kaki
di halaman rumah menarik perhatian Aray yang kebetulan tengah membasuh wajah di
keran air tak jauh dari ruang garasi. Secepatnya ia menoleh ke arah datangnya
suara.
“Hey kawan-kawan, lihat siapa ini yang
datang!”. Ucapnya setengah berteriak.
Yori dan Rendy bergerak selangkah ke depan,
meninju kepalan tangan Rhaka dengan jari terkepal, kemudian serentak mengacungkan
tangan ke udara, dan kompak berucap, “Kopi pahit kawan!!”.
Setelah saling berangkulan, Yori mengajak
sahabatnya bergabung di ruang garasi.
“Selamat datang kembali di kebersamaan”.
Ujarnya penuh kehangatan.
Rhaka mengambil tempat
dipojokan, setelah menyapa kawan-kawan yang hadir disana. Tak lama berselang
Arok keluar dari pintu rumah dengan setumpuk gelas plastik dan bungkusan berisi
gula dan kopi. Aray mengambil bawaannya, diletakkan di atas meja bundar terbuat
dari bekas gulungan kabel listrik yang telah dimodifikasi.
Raut wajah Arok berubah ketika pandangannya
tertuju ke pojokan.
“hey hey, Rock’n Roll menari kembali sobat!”.
Ucapnya sambil menghampiri Rhaka, saling meninju kepalan tangan, mengacungkan
tangan ke udara seraya berteriak. “Kopi pahit kawan!!”.
Yori
membuka pembicaraan sambil membagikan selebaran kertas sebagai bahan
pembahasan.
“Kita evaluasi rencana kegiatan berdasarkan
hasil pengamatan dilapangan beberapa hari kebelakang. Seperti telah diketahui
bersama, bahwa hingga saat ini mereka masih bergerak sendiri. Surat pernyataan
sikap dari sumber terpercaya sepertinya dapat kita jadikan sebagai bahan penyempurnaan
tuntutan yang akan kita ajukan pada pihak terkait. Sebelum melangkah lebih
jauh, barangkali ada beberapa usulan atau masukan mengenai hal ini”. Ia memberi
kesempatan pada kawan-kawan untuk menyampaikan saran pendapatnya.
Setelah menanti beberapa saat, Rhaka menyeret
tubuhnya kedepan perlahan.
“Pertama, aku mohon maaf atas
ketidakhadiranku beberapa waktu lalu. Ada hal yang tak bisa disampaikan di
kebersamaan ini. Untuk itu aku mohon maaf dan berharap pengertiannya”. Ungkapnya
dengan nada pelan.
“Tadi siang selepas pulang dari kampus, aku
mengamen di bis kota, kemudian mampir ke tempat yang menjadi pembahasan saat
ini”. Lanjutnya kemudian. Arok dengan kawan-kawan lainnya saling menatap. Dibenaknya
timbul tanya. Bukankah tadi siang mereka berada disana sebelum akhirnya
berkumpul di basecamp. Namun ia coba mengurungkan niatnya untuk bertanya
tentang hal itu. Rhaka kembali melanjutkan penjelasannya.
“Sebagian besar mereka menolak tegas isu
rencana relokasi jika pembangunan Mall didirikan disana. Hanya beberapa saja
menerima rencana itu. Dan kenapa aku berpikiran bahwa yang menerima isu rencana
relokasi hanya strategi dari persaingan saja, yang pada akhirnya mereka akan
berada disana jika pembangunan itu selesai dilaksanakan. Namun terlepas dari
persoalan itu, aku lebih tertarik dengan obrolan mereka di warung nasi tadi
siang. Menurut mereka relokasi hanya alasan untuk meminggirkan dan mematikan
perekonomian keluarganya. Mereka mencontohkan tempat relokasi atas pembangunan
gedung perkantoran beberapa tahun lalu yang kini menjadi sarang tikus dan tempat
sabung ayam. Lebih mengejutkan di malam hari tempat itu menjadi ajang transaksi
para PSK dengan lapak-lapak perjudian menyertainya. Sementara bagi para
tunawisma, itu menjadi tempat bermalam untuk mereka. Suatu kondisi yang memaksa
semua pihak untuk mencermati efek ketidakberhasilan dari program pembangunan
kota. Apakah para pemangku kebijakan tidak mempertimbangkan terlebih dahulu akan
kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan dari program kerjanya. Atau mungkin
koordinasi lintas sektor tak teroptimalkan dengan baik, sehingga sisi sinergisitas
menjadi pertanyaan terhadap pertimbangan apa yang menjadi kebijakannya. Hingga
akhirnya aku bertanya-tanya, sebenarnya apa skala prioritas dari kebijakan yang
dibuatnya”.
Rhaka menghela nafas sejenak, meraih gelas
kemudian meneguk perlahan seduhan kopi yang dibuat di sela-sela pembicaraannya.
“Jadi menurutmu inti persoalannya apa ka?”.
Rendy menyahut dengan nada serius. Rhaka mendorong kedepan kertas yang tadi
dibagikan Yori diawal pembukaan.
“Aku sepakat dengan pesatnya kemajuan kota
ini, karena aku tidak anti terhadap kemapanan. Tapi disisi lain keprihatinanku
tersentuh ketika melihat anak-anak menangis karena tak bisa melanjutkan
sekolahnya. Para pedagang kecil akhirnya banyak yang gulung tikar, tak sanggup
membayar pinjamannya ke bank. Banting setir sana-sini. Ini pun terjadi akibat
realisasi program kredit usaha yang tidak tepat sasaran, dan aku tak ingin
berprasangka tentang apa penyebabnya. Jika pembangunan, penataan, penyerapan
tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan rakyat serta kata-kata indah lainnya menjadi
suatu alasan demi kemajuan, aku sepakat dan berada dibelakangnya. Tapi jika yang
terjadi kemudian tidak seindah kata-kata mutiara yang dirangkainya, aku akan
berada disini, diantara kalian, ditempat kebersamaan kita”. Rhaka coba memberi
penegasan akan kehadirannya disana. Sontak yang hadir disana mengangkat gelas
masing-masing dan meneriakkan, “Kopi pahit kawan!!”.
Suasana hening sejenak, sementara waktu
terus bergulir menelusuri dingin malam bertabur bintang diangkasa sana.
Arok bergeser kesamping, sekedar mengusir rasa
pegal di bagian tubuhnya. Setelah meneguk seduhan kopi ia coba memecah
kesunyian.
“Aku jadi berpikir untuk menimbang kembali
tuntutan yang telah disusun kemarin malam. Aku coba mengerti apa maksud dan arah
pembicaraanmu Ka”. Ucap Arok dengan yakin.
“Ya, menurutku jika kalian sepakat, sikap
terhadap rencana pembangunan Mall itu kita kerucutkan pada tuntutan di
kebijakannya, bukan pada penolakannya. Biarkan sistem yang berperan terhadap
penolakan, bukan pergerakan kita. Dengan demikian resiko konflik terminimalkan.
Biarkan mereka disana yang berkonflik, bukan kita yang disini. Menurut hematku
kita datangi saja para pemangku kebijakan di gedung-gedung sana. Minta jadwal
waktu beraudiensi, sehingga lebih leluasa menyampaikan aspirasi. Biarkan ini
menjadi jalan akhir, apabila mereka tidak menyikapinya”. Tegas Rhaka penuh
semangat.
“Jadi, apa yang akan kita sampaikan kesana kawan-kawan?”.
Tanya Aray dengan kening berkerut.
“Sebagian masyarakat kita belum siap
menerima persaingan bebas. Bagi mereka proses ini dirasa terlalu cepat. Pada
akhirnya mereka memberi kesan pemaksaan. Seakan mereka dicambuki tali pecut,
sementara mereka tak tahu harus berbuat apa, kemana arah tujuannya. Menyikapi
kondisi demikian, aku hanya dapat mengusulkan, sebaiknya kita dorong mereka disana
untuk mengeluarkan kebijakan. Misalnya kebijakan pembatasan terhadap pembangunan,
diantaranya pembangunan Mall dan tempat-tempat sejenisnya seperti yang tengah
dihadapi kini, tentu kita pun memberi masukan untuk lahirnya kebijakan
tersebut. Kita usulkan syarat-syarat disertai alasan-alasan yang mendasarinya.
Contohnya, jarak antara pembangunan satu tempat dengan tempat lainnya disertai
sanksi-sanksi terhadap pelanggar kebijakan, juga pertimbagan-pertimbangan lain
sekenaan degan hal tersebut. Aku pikir pergerakan ini lebih efektif jika kalian
setuju untuk menempuhnya”. Rhaka mengakhiri pemaparannya dengan meneguk seduhan
kopi.
Yori mengangguk-anggukan kepala dengan pandangan
mata menatap jauh ke pemikirannya. “Baiklah, obrolan ini kita cukupkan dulu
sampai disini. Mudah-mudahan besok bisa kembali berkumpul dikebersamaan ini”.
Yori menutup pertemuan dengan mengangkat gelas. Kemudian semua serempak berucap
“Kopi pahit kawan!!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar