Karya : Ipey
Dipandanginya
langit-langit kamar dengan tatapan menerawang jauh setinggi langit diangkasa.
Warna catnya sebagian memudar disana-sini. Namun meski demikian tak nampak
sarang laba-laba bergelantungan di pojok-pojok atap, begitupun dibagian-bagian
lainnya. Di atas meja seduhan kopi hanya tinggal satu tegukan saja untuk
menyisakan ampasnya.
Lamunannya tiba-tiba dibuyarkan bunyi
rintik hujan berirama menyentuh daun-daun kering di halaman rumah pemilik kost.
Rendy secepatnya beranjak dari tempat tidur, berlari menuju halaman samping
untuk mengambil jemuran pakaian yang tadi pagi ia cuci sebelum berangkat pergi.
Setelah menyimpan pakaian, ia hempaskan tubuhnya di kursi, kemudian meraih
gelas kopi dan menghabiskan tegukan terakhirnya.
Lembaran kertas yang
menumpuk tak beraturan di atas meja ia rapikan perlahan. Di tangannya kini
tergenggam satu bundel kertas poto copy berisi pernyataan sikap dari kelompok
yang mengatas namakan diri sebagai Komunitas Peduli Rakyat Kecil (KPRK),
lengkap dengan tanda tangan serta stempel di lembaran akhir. Otaknya berputar
menyikapi uaraian pernyataan sikap tersebut. Di tengah-tengah keseriusannya, ia
teringat akan pertemuan di basecamp tadi malam dengan beberapa kawan seperjuangannya.
Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa sahabatnya tak pernah datang ke basecamp setelah
pertemuannya dua minggu yang lalu. Kemana dia selama ini, menghilang tanpa
kabar berita. Tak biasanya ia seperti itu. Banyak hal sesungguhnya ingin ia
diskusikan dengannya. Meski terkadang tak selalu bersepakat dengan apa yang ia
dan kawan-kawannya inginkan. Ia coba mengingat-ingat kembali pertemuan yang
melibatkan sahabatnya saat itu. Tapi Rendy tak mendapatkan sesuatu apapun di
memory pikirannya. Ia pikir semua berjalan baik-baik saja. Ketika itu dia tak
menunjukkan tanda-tanda ketidaksepakatannya, tapi mengapa tiba-tiba kini ia
seolah menghindar dari kawan-kawan dan sahabatnya. Sungguh, Rendy tak dapat
memahaminya, semua diluar dari kebiasaan sikapnya. Ia pikir sejauh ini semuanya
masih dalam kendalinya dan juga Yori, tapi ternyata tidak. Ia merasa ada sesuatu
yang hilang dari pergerakannya. Ada kehampaan dalam langkah-langkahnya. Benaknya
semakin larut dalam pencarian sesuatu yang tak berujung. Sebentar kemudian
secara reflek ia menggeser tubuh dan menoleh ke arah pintu yang sengaja terbuka
ketika seseorang menegur tanpa menjawabnya.
“Sudah lama kau berdiri disitu Ka?”. Ucap
Rendy spontan sambil menatap sahabatnya. “Kemana aja menghilang tanpa kabar?”.
Sambungnya kemudian, setelah pertanyaan pertamanya tak mendapat balasan. Rhaka masih
juga tak menyahut. Ia membungkuk, melepas tali sepatu satu persatu, kemudian
nyelonong masuk. Setelah melepas jaket dan menggantungkannya dibalik pintu, ia
mulai membuka suara. “Masih ada segelas kopi disini Ren?”. Pertanyaan pertama Rhaka
pada sahabatnya. Rendy tak menjawab. Ia beranjak dari tempat, kemudian
mengambil gelas untuk membuatkan seduhan kopi.
“Masih kopi hitam dengan sedikit gula Ka?”.
Tanya Rendy tanpa menoleh kearah teman bicara.
“Masih Ren”. Jawab Rhaka singkat.
“Tadi malam di basecamp kami berkumpul.
Banyak hal yang kami bicarakan disana, tapi belum sampai pada kesimpulan akhir.
Sepertinya masih harus ada beberapa pertemuan untuk mematangkan rencana seperti
yang telah kita mulai bersama dari awal. Situasi cepat sekali berubah. Untuk
itu, sepertinya akan ada banyak perubahan pula dari rencana semula. Karena menurutku
jika itu tidak kita sikapi dengan cepat dan cermat, akan berpengaruh pada hasil
pelaksanaan di lapangan. Dan satu hal terpenting, kami tak ingin peristiwa yang
lalu terulang kembali”. Jelas Rendy memaparkan hal yang ia pikir sahabatnya ingin
mengetahuinya. Ia beranjak perlahan, menyimpan gelas kopi di lantai, kemudian
duduk bersandar ke dinding kamar dengan kaki terlentang .
“Itu kopimu Ka”. Ucap Rendy sesantai
mungkin.
Rhaka meraih gelas berisi seduhan kopi,
meneguknya perlahan, kemudian menghempaskan nafas sambil menatap langit-langit
kamar.
“Untuk kedua kalinya ketua jurusan
mengingatkanku agar memfokuskan pada perkuliahan, yang menurutnya selama ini
terabaikan. Ada peningkatan cukup signifikan atas nilai ujianku semester
kemarin. Mungkin atas dasar itu ketua jurusan memotivasiku, dan aku sepakat
dengannya. Dan sekarang, bukan tanpa alasan aku datang ketempatmu. Aku tak
datang ketempat kebersamaan kita bukan untuk meninggalkan perjuangan, bukan juga
karena meragukan keidealisan kita. Aku berpikir dan merasa bahwa ada hal lain
yang harus aku utamakan terlebih dahulu saat-saat ini. Mungkin ini
kedengarannya egois bagimu. Tapi jika pun kau menganggap begitu aku tak akan
menolak, karena mungkin demikian adanya. Aku hanya berharap sedikit pengertianmu
mengenai hal ini Ren”. Ungkap Rhaka apa adanya. Suasana pun hening sejenak.
Hanya deru mesin kendaraan samar-samar serta hembusan angin menerpa gordin
jendela yang akrab ditelinga mereka mengisi kesenyapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar