Selasa, 10 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #4)


Karya : Ipey
        Dipandanginya langit-langit kamar dengan tatapan menerawang jauh setinggi langit diangkasa. Warna catnya sebagian memudar disana-sini. Namun meski demikian tak nampak sarang laba-laba bergelantungan di pojok-pojok atap, begitupun dibagian-bagian lainnya. Di atas meja seduhan kopi hanya tinggal satu tegukan saja untuk menyisakan ampasnya.
Lamunannya tiba-tiba dibuyarkan bunyi rintik hujan berirama menyentuh daun-daun kering di halaman rumah pemilik kost. Rendy secepatnya beranjak dari tempat tidur, berlari menuju halaman samping untuk mengambil jemuran pakaian yang tadi pagi ia cuci sebelum berangkat pergi. Setelah menyimpan pakaian, ia hempaskan tubuhnya di kursi, kemudian meraih gelas kopi dan menghabiskan tegukan terakhirnya.
Lembaran kertas yang menumpuk tak beraturan di atas meja ia rapikan perlahan. Di tangannya kini tergenggam satu bundel kertas poto copy berisi pernyataan sikap dari kelompok yang mengatas namakan diri sebagai Komunitas Peduli Rakyat Kecil (KPRK), lengkap dengan tanda tangan serta stempel di lembaran akhir. Otaknya berputar menyikapi uaraian pernyataan sikap tersebut. Di tengah-tengah keseriusannya, ia teringat akan pertemuan di basecamp tadi malam dengan beberapa kawan seperjuangannya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa sahabatnya tak pernah datang ke basecamp setelah pertemuannya dua minggu yang lalu. Kemana dia selama ini, menghilang tanpa kabar berita. Tak biasanya ia seperti itu. Banyak hal sesungguhnya ingin ia diskusikan dengannya. Meski terkadang tak selalu bersepakat dengan apa yang ia dan kawan-kawannya inginkan. Ia coba mengingat-ingat kembali pertemuan yang melibatkan sahabatnya saat itu. Tapi Rendy tak mendapatkan sesuatu apapun di memory pikirannya. Ia pikir semua berjalan baik-baik saja. Ketika itu dia tak menunjukkan tanda-tanda ketidaksepakatannya, tapi mengapa tiba-tiba kini ia seolah menghindar dari kawan-kawan dan sahabatnya. Sungguh, Rendy tak dapat memahaminya, semua diluar dari kebiasaan sikapnya. Ia pikir sejauh ini semuanya masih dalam kendalinya dan juga Yori, tapi ternyata tidak. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dari pergerakannya. Ada kehampaan dalam langkah-langkahnya. Benaknya semakin larut dalam pencarian sesuatu yang tak berujung. Sebentar kemudian secara reflek ia menggeser tubuh dan menoleh ke arah pintu yang sengaja terbuka ketika seseorang menegur tanpa menjawabnya.

“Sudah lama kau berdiri disitu Ka?”. Ucap Rendy spontan sambil menatap sahabatnya. “Kemana aja menghilang tanpa kabar?”. Sambungnya kemudian, setelah pertanyaan pertamanya tak mendapat balasan. Rhaka masih juga tak menyahut. Ia membungkuk, melepas tali sepatu satu persatu, kemudian nyelonong masuk. Setelah melepas jaket dan menggantungkannya dibalik pintu, ia mulai membuka suara. “Masih ada segelas kopi disini Ren?”. Pertanyaan pertama Rhaka pada sahabatnya. Rendy tak menjawab. Ia beranjak dari tempat, kemudian mengambil gelas untuk membuatkan seduhan kopi.
“Masih kopi hitam dengan sedikit gula Ka?”. Tanya Rendy tanpa menoleh kearah teman bicara.
“Masih Ren”. Jawab Rhaka singkat.
“Tadi malam di basecamp kami berkumpul. Banyak hal yang kami bicarakan disana, tapi belum sampai pada kesimpulan akhir. Sepertinya masih harus ada beberapa pertemuan untuk mematangkan rencana seperti yang telah kita mulai bersama dari awal. Situasi cepat sekali berubah. Untuk itu, sepertinya akan ada banyak perubahan pula dari rencana semula. Karena menurutku jika itu tidak kita sikapi dengan cepat dan cermat, akan berpengaruh pada hasil pelaksanaan di lapangan. Dan satu hal terpenting, kami tak ingin peristiwa yang lalu terulang kembali”. Jelas Rendy memaparkan hal yang ia pikir sahabatnya ingin mengetahuinya. Ia beranjak perlahan, menyimpan gelas kopi di lantai, kemudian duduk bersandar ke dinding kamar dengan kaki terlentang .
“Itu kopimu Ka”. Ucap Rendy sesantai mungkin.

Rhaka meraih gelas berisi seduhan kopi, meneguknya perlahan, kemudian menghempaskan nafas sambil menatap langit-langit kamar.
“Untuk kedua kalinya ketua jurusan mengingatkanku agar memfokuskan pada perkuliahan, yang menurutnya selama ini terabaikan. Ada peningkatan cukup signifikan atas nilai ujianku semester kemarin. Mungkin atas dasar itu ketua jurusan memotivasiku, dan aku sepakat dengannya. Dan sekarang, bukan tanpa alasan aku datang ketempatmu. Aku tak datang ketempat kebersamaan kita bukan untuk meninggalkan perjuangan, bukan juga karena meragukan keidealisan kita. Aku berpikir dan merasa bahwa ada hal lain yang harus aku utamakan terlebih dahulu saat-saat ini. Mungkin ini kedengarannya egois bagimu. Tapi jika pun kau menganggap begitu aku tak akan menolak, karena mungkin demikian adanya. Aku hanya berharap sedikit pengertianmu mengenai hal ini Ren”. Ungkap Rhaka apa adanya. Suasana pun hening sejenak. Hanya deru mesin kendaraan samar-samar serta hembusan angin menerpa gordin jendela yang akrab ditelinga mereka mengisi kesenyapan.     


Tidak ada komentar: