Karya : Ipey
Bayang-bayang senyuman diwajah merah merona berbalut keteduhan serta kelembutan tak jua sirna dari benaknya. Hingga larut malam menyapa, serta udara dingin mengelilingi kesendirian, ia masih duduk termenung memegang pena ditangan berteman cahaya lampu redup diatas meja. Sesekali pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, memutar arah waktu, mencari sesuatu yang mungkin dapat membuka celah sebagai bekal baginya untuk melangkah menelusuri masa yang akan dilewati. Banyak kata ingin ia tuangkan dilembaran kertas putih yang setia menanti goresan hati, meski tak mudah merangkai kalimat hingga menjadikannya berarti. Mencoba mengambil hikmah dari setiap langkah, berharap kepasrahan menjadi jembatan perekat hati dengan ilahi. Menyikapi air mata dalam dekapan luka tanpa angkara murka, serta mensyukuri senyum bahagia tanpa berpaling dari-Nya, meski terkadang membersit dendam disela-sela penderitaan. Dan seiring detik-detik jarum jam berdetak, batinnya pun perlahan mulai terusik untuk menuntun jemari tangan mengoreskan tinta.
Kalimat pertama yang ia tuliskan dengan mata berkaca-kaca membawa alam pikirannya ke dalam pencarian menuju singgasana-Nya.
“Aku ingin bertemu untuk mengadu pada-Mu, wahai zat yang maha bijaksana”.
Hatinya pun bergetar ketika ia membaca ulang apa yang telah ia tuliskan. Bergetar melawan rasa takut bercampur rasa sedih yang membaur menjadi satu dalam hati serta pikirannya. Sejenak ia terdiam, lalu menutup buku catatan, lantas mematikan lampu di atas meja, dan kemudian merebahkan diri dipembaringan.
Curah hujan deras yang datang tiba-tiba di pagi hari menahan langkahnya untuk bergegas pergi. Rhaka kembali meletakkan sepatu dan tas gendong ketempatnya semula. Ia tersentak dan spontan menoleh, ketika angin bertiup kencang membanting daun pintu hingga menutup rapat-rapat. Setelah menyalakan lampu kamar, ia pun kemudian membuat seduhan kopi untuk mengimbangi udara dingin yang mulai terasa mengaliri tubuhnya. Setelah berdiam diri sejenak, Rhaka mengambil gitar akustik dipojok ruangan dan mulai memainkannya. Dawai guitar pun berdenting membunyikan nada ketika jemari tangan memetiknya perlahan. Tembang-tembang lawas mengalun satu persatu diiringi petikan gitar. Entah berapa lagu sudah ia nyanyikan ketika curah hujan hanya tinggal menyisakan rintiknya. Seduhan kopi digelasnya pun kini tinggal menyisakan satu tegukan saja. Setelah hujan benar-benar reda, baru kemudian ia memutuskan untuk bergegas pergi.
Suasana cukup ramai ketika ia menginjakkan kakinya di trotoar jalan didepan kios-kios penjual buku waktu itu. Tampak para pelajar berseragam sekolah tengah berebut tawar dengan para penjual buku. Tak sedikit pula mahasiswa dan mahasiswi yang datang ke tempat itu untuk tujuan yang sama. Rhaka mengeluarkan lipatan kertas dari dalam saku jaketnya, kemudian ia berikan pada penjaga kios guna mencarikan buku yang ia perlukan. Setelah sepakat mengenai berapa harga harus ia bayarkan, Rhaka mengeluarkan lembaran uang kertas dari dompet, lantas memberikannya pada penjual buku tersebut. Rasa dahaga yang bersarang dikerongkongan mendorongnya untuk meminta pemilik warung memberikan satu gelas air mineral padanya. Selepas memberikan sejumlah uang pada pemilik warung, ia kembali melanjutkan langkahnya. Ditikungan trotoar tanpa sengaja ia menyenggol seorang pejalan kaki. Mungkin karena terkejut, apa yang di genggamnya pun jatuh terhempas hingga ke jalan raya. Rhaka segera memunguti beberapa buku tanpa menghiraukan kata-kata yang dilontarkan pemiliknya. Dengan diliputi rasa bersalah ia menyodorkan buku-buku tersebut. Betapa terkejutnya Rhaka begitu ia mengenali siapa orang yang berdiri dihadapannya, begitupun sebaliknya.
“Lembayung.....?”. Hanya itu yang terucap dari mulutnya.
Rhaka menatap perempuan dihadapannya tanpa berkedip, seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Begitu juga halnya dengan Lembayung. Ia pun menatap Rhaka tanpa berkedip, seolah tak percaya dengan apa yang tengah terjadi.
“Rhaka...?”. Bibirnya bergerak sekajap mengucap nama lelaki dihadapannya.
Baik Rhaka maupun Lembayung tak pernah mengira mereka akan bertemu ditempat itu. Tak mudah kiranya melukiskan suasana hati mereka ketika perjumpaan tersebut terjadi secara tiba-tiba. Semua benar-benar diluar dugaan mereka berdua. Dan suasana kembali mencair ketika para pejalan kaki yang hendak melintas menyadarkan mereka untuk menepi dari trotoar jalan. Setelah berbincang sejenak, Lembayung mengajak Rhaka menuju parkiran, untuk kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.
Rintik hujan kembali menyapa dua hati yang sekian lama tak berjumpa, menghiasi suasana sore hari dimana mereka saling berbagi kisah dan cerita. Lembayung tak melewatkan untuk menyampaikan perjalanannya hingga ia bertemu Rhaka hari itu, juga mengapa ia tak bersama anak serta suaminya. Rhaka tak berusaha mempertanyakan lebih jauh mengenai penuturan Lembayung padanya. Ia hanya ingin percaya terhadap apapun yang dikatakannya. Seperti janji yang telah diucapkan dulu, ia akan selalu berusaha memberikan rasa bahagia itu padanya. Dan jika ia merasa bahagia berbagi kisah dan cerita dengannya, ia akan memberikan semua itu dengan segenap hati dan ketulusannya. Rhaka cukup senang melihat Lembayung tersenyum manis tanpa beban diwajahnya ketika ia bertutur kata, karena memang itu yang ia harapkan tanpa berharap lebih. Meski ia tak tahu pasti rasa bahagia apa yang tengah dirasakan Lembayung saat itu, Rhaka tetap berusaha larut dalam rasa kebahagiaannya. Beberapa saat kemudian Rhaka mulai menyampaikan apa yang ingin Lembayung dengar mengenai kisah darinya selama ini. Namun ketika ia hendak menyampaikan kisah tentang dia dan Diana beberapa waktu lalu, sejenak Rhaka berpikir, menimbang-nimbang apakah Lembayung harus tahu tentang hal itu. Ia tak ingin mengusik suasana hatinya, akan tetapi perubahan di raut wajahnya menimbulkan rasa kepenasaran pada diri Lembayung.
“Sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu sembunyikan dariku Ka!”. Ucap Lembayung tiba-tiba.
Rhaka menggelengkan kepala sambil menyelipkan senyuman. Ia berusaha sedapat mungkin menutupi gejolak perasaan dilubuk hati, ketika ingatannya tertuju pada sosok perempuan beberapa waktu lalu. Lembayung terus merajuk, mendesak dan meminta Rhaka untuk menyampaikan apa yang ingin ia ketahui darinya.
“Sebenarnya aku tak ingin kau mendengar tentang hal ini, tapi karena kau tetap memaksa, aku harap kamu bisa mengerti dan memahaminya”. Ucap Rhaka dengan berat hati. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Rhaka pun membeberkan sekilas kisah yang pernah dijalinnya bersama Diana. Ia berusaha mengalihkan pandangan setiap kali mendapati perubahan di riak wajah dan sikap Lembayung, ketika ia menuturkan kisah perjalanannya bersama Diana.
“Saat pertama kali aku mengenalnya, tak pernah ada niat sedikitpun untuk mengukir kisah dengannya, selain sebagai teman biasa seperti halnya dengan teman-temanku yang lain. Semua berjalan begitu saja, dan aku tak mampu mampu menghindari rasa yang tumbuh dalam hati ini. Hingga suatu ketika ada pihak-pihak yang menginginkan kami terpisah. Yaach.... apa mau dikata, aku telah berusaha mempertahankan segalanya, namun ternyata kenyataan berkata lain. Dan sejak saat itu, aku tak pernah menerima khabar lagi darinya hingga kini”.
Rhaka menghentikan penuturan kisahnya sejenak. Kepalanya menunduk menatap gelas yang ia pegangi dengan kedua tangannya. Lembayung berusaha menunjukkan kelembutan sikap dengan mengelus pergelangan tangan Rhaka sebagai tanda empatinya. Rhaka melihat dan merasakan ada ketidakjujuran disorot mata Lembayung ketika itu, tapi ia tak ingin membahas soal itu lebih lanjut. Ia hanya berpikir bagaimana langkahnya ke depan nanti.
“Untuk saat ini aku hanya ingin mengejar ketertinggalanku dari kawan-kawan yang telah merampungkan studinya dikampus Bay”. Ucap Rhaka mengakhiri penuturannya, lalu kemudian ia meneguk jus tomat yang masih tersisa digelas.
Lampu-lampu penerangan jalan mulai dinyalakan ketika senja beranjak perlahan menyambut datangnya malam. Dari balik kaca jendela Rhaka menatap pohon-pohon rindang yang meliuk-liuk diterpa hembusan angin yang bertiup cukup kencang. Sementara itu sepasang mata indah tampak tak bergeming pandangannya dari arah lelaki yang duduk dihadapannya. Dan untuk beberapa saat mereka hanya duduk terdiam, saling menerawang jauh ke arah pandangannya masing-masing, diiringi tembang manis dari audio player yang disuguhkan pengelola tempat makanan cepat saji saat itu. Cahaya redup dari setiap sudut atap ruangan memberi sentuhan tersendiri terhadap suasana sekitarnya. Perlahan Rhaka menoleh kearah dimana Lembayung berada, dan seikat senyum pun menyambutnya dengan penuh kehangatan.
“Jangan menatapku seperti itu Bay!. Aku tak kan sanggup membalasnya. Senyummu saja sudah cukup untukku merasa bahwa aku tidak sendirian”. Pinta Rhaka dengan nada berharap.
Lembayung kembali mengukir senyum manis dibibirnya tanpa mengalihkan pandangan kearah lain, seakan ia tak rela senyumannya direnggut siapapun, karena ia hanya mempersembahkan itu hanya untuk Rhaka seorang.
“Aku ingin kamu tahu bahwa sampai saat ini aku masih memegang janjiku, tak perduli apakah kamu juga masih memegang janjimu padaku atau tidak. Tapi...., sejujurnya aku berharap kamu masih memegang erat apa yang pernah kamu katakan padaku saat itu”. Tegas Lembayung meyakinkan Rhaka akan keteguhan hatinya.
Rhaka menyikapi penuturan Lembayung dengan senyuman, setulus dan seikhlas yang dapat ia berikan. Lalu kemudian ia menyampaikan isi hatinya sejujur mungkin, tanpa menyembunyikan sesuatupun darinya.
“Aku akan tetap berusaha memegang janjiku, meski terkadang merasa tak yakin, apakah kita akan mampu menjalaninya. Aku berharap waktu akan menuntun kita pada pilihan terbaik untuk dijalani. Jika pun dunia tak memberi kesempatan untuk kita bersama hingga maut memisahkan, biarlah kehidupan berikutnya yang akan mempersatukan kita selamanya, seperti apa yang pernah kau katakan padaku dulu. (baca : Episode #8). Aku dan kamu sebaiknya meyakini saja bahwa tuhan telah mengatur semua ini demi kebaikan kita bersama”.
Sejenak keheningan melingkupi hati mereka. Rhaka menundukkan kepalanya dalam-dalam, merenungkan setiap kalimat yang telah ia ucapkan. Ia tak ingin melangkah lebih jauh membicarakan hal-hal yang sesungguhnya tak pantas bagi mereka untuk mempersoalkannya. Pikiran jernihnya terus mengingatkan untuk senantiasa bersikap bijak terhadap kenyataan. Rhaka pun berharap suatu saat Lembayung menyadari serta menerima kenyataan hidup dengan tulus dan penuh keikhlasan.
“Hari sudah mulai gelap Bay, dan aku harus pergi. Jika aku tak sengaja menyakitimu dengan perkataanku, dengan sangat aku mohon kamu mau memaafkan. Aku ingin kau ingat satu hal bahwa, bahagiamu dengan siapapun akan menjadi kebahagiaanku juga”. Paparnya dengan sungguh-sungguh meyakinkan Lembayung akan pengakuannya. Lembayung mengangguk perlahan dengan seutas senyum dibibirnya.
“Izinkan aku untuk mengantarmu pulang yach Ka!”. Pintanya penuh harap.
Rhaka memberi isyarat dengan anggukan kepala dan senyuman untuknya.
Bersambung.........................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar