Karya : Ipey
Langit
tampak murung ketika sayap merpati bersembunyi dibalik reruntuhan. Riak air
mencibir tumpukan sampah berserakan sepanjang pinggiran sungai yang dilaluinya.
Tangan-tangan mungil bertebaran di setiap lampu merah, halte bis dan
pintu-pintu gerbang terminal disaat teman sebayanya duduk rapi dibangku-bangku
sekolah. Seorang ibu tua tanpa lelah memikul beban keluarganya dengan tanpa
henti menjajakan barang dagangannya. Berpasang-pasang mata menatap tak acuh
tubuh renta berjanggut putih ketika menengadahkan tangan mengemis untuk sesuap
nasi. Sementara di bawah pohon rindang sekelompok lelaki asyik menghamburkan
uang, mengadu peruntungan dengan sesama temannya.
Para pelajar menyimpan rapi senjata tajam
dan perlengkapan tempurnya di balik pakaian serta tas gendong, yang semestinya
hanya berisi buku dan peralatan sekolah demi wawasan keilmuannya.
Sungguh realitas kehidupan kota yang sering
kali dijumpai, tanpa bisa dipungkiri. Laju pembangunan seakan menjauhkan
sentuhan manusiawi, bahkan mungkin mengesampingkan hal-hal sedemikian. Bukan
tak meng-amini setiap keinginan memacu roda-roda kebanggaan, namun keseimbangan
semestinya manjadi salah-satu acuan tak terpisahkan, sehingga keharmonisan dan
keselarasan senantiasa terjaga. Hukum alam, seleksi alam menyatakan
ketegasannya tanpa banyak bicara untuk diperdebatkan. Percepatan kini menjadi
satu alasan sebagai alibi bagi pertanyaan, tak perduli lagi apakah itu
kebenaran atau pembenaran. Persoalan pembenahan bagai panorama alam terselimuti
kabut tebal, sehingga membutuhkan sesuatu untuk menembus keindahan bahkan
keterkoyakannya. Keringat, pengorbanan, bahkan tetesan darah dijadikan selogan
demi mempertahankan harga diri, harkat dan martabat, meski mungkin sesungguhnya
hanya demi ambisi dan nafsu belaka. Kesenjangan sosial semakin merajalela,
memicu kecemburuan melakukan hal-hal diluar kemanusiaannya.
Benarkah demikian adanya?. Tak adil kiranya
begitu saja menghakimi, tanpa mencari tahu terlebih dahulu alasan sesungguhnya
dari setiap tindakan yang mendasarinya.
Karena beberapa alasan
tertentu akhir-akhir ini Rhaka memutuskan mengurung diri, mencoba tak
bersosialisasi dengan lingkungan dimana ia biasa melebur dengan berbagai
aktivitas dalam kesehariannya. Dan pembicaraan dengan sahabat-sahabatnya
beberapa hari lalu jelas meninggalkan berbagai pertanyaan, sehingga menjadi
pertimbangan untuk menjernihkan pikiran tak menentu yang seringkali menghantui
setiap gerak langkahnya. Ia berpikir bahwa apa yang menjadi pemikiran
sahabatnya memerlukan berbagai pertimbangan serta ketelitian dalam menganalisa
sesuatu, agar dikemudian tidak menimbulkan persoalan baru. Tidak berpihak pun
kini menjadi suatu persoalan. Bukan soal solidaritas, atau kesetiakawanan, tapi
lebih pada prinsip dalam menyikapi persoalan. Pergerakan memerlukan berbagai
kajian mendasar, sehingga ketika berargumentasi tak mudah dimentahkan atau
bahkan mungkin ditenggelamkan. Di sisi lain tak memungkiri bahwa setiap mereka
membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Akal sehatnya bertanya,
mengapa mereka yang disana seakan tidak mau melakukan hal atau menempuh jalan
yang lebih sederhana, sehingga tidak akan menimbulkan efek domino dikemudian
harinya, dan mungkin ongkosnya tidak terlalu mahal. Atau mungkin mereka telah
menempuh jalan itu, namun tak bisa menembus keberhasilannya?. Dibenaknya
berputar kata-kata. Korban, mengorbankan, dikorbankan, pengorbanan. Ditindas,
tertindas, menindas, ketertindasan. Benar, kebenaran, dibenarkan, terbenarkan, pembenaran.
Terngiang ditelinganya beberapa hal mengenai isu dari pergerakannya kali ini
mengenai pe-marginal-an kaum pribumi demi kepentingan sekelompok kaum pendatang
yang coba merebut peran utama kendali ekonomi ditanah kelahirannya. Isu
penjajahan versi baru mengenai melemahnya peran pemerintah dalam mengantisipasi
kemiskinan yang tercerminkan dalam kebijakan yang diberlakukannya tidak
terlepas dari bagian rencana pergerakannya.
Waktu bergulir tanpa bisa
dihindari sepersekian detik pun untuk menahan lajunya kedepan. Terus menerus
memikirkannya hanya menjadi hambatan langkah menuju harapan. Entah apa harapan
di depan sana yang telah menantinya, ketika proses pencapaian telah dilewati
dengan berbagai liku-liku merintanginya. Ia harus menemukan jawabannya, dan
jawaban itu hanya bisa didapatkan dengan melakukan apa yang semestinya ia
lakukan. Setelah merapikan kamar kost, Rhaka bergegas mengayun langkah kakinya
menjalani proses pencapaian, dengan harapan dapat menemukan jawaban di ujung
pencariannya. Terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi
sahabat-sahabatnya, kini ia harus mengambil jalan pilihan terbaik bagi masa
depannya. Ketua jurusan telah beberapa kali mengingatkan agar memfokuskan
dirinya pada perkuliahan yang semestinya cepat-cepat ia rampungkan, mengingat
kawan-kawan seangkatannya kini sudah banyak yang mengambil tugas akhir,
sementara Rhaka masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah sebagai syarat
utama untuk dapat menyelesaikan tugas akhirnya. Namun disisi lain ia pun tak
bisa tidak harus melengkapi persayaratan lain selain menyelesaikan mata kuliah
di kampusnya yaitu melunasi uang kuliah. Belum lagi biaya hidup kesehariannya.
Untuk keperluan itu ia terpaksa sesekali mengamen di bis kota, dan atau
menawarkan jasa pada para pengemudi untuk memenuhi jok angkutannya, karena
lebih malu jika ia terus meminta pada orang tuanya. Pernah sekali waktu mencoba
mencari pekerjaan di kantoran, namun kenyataan belum memberikannya kesempatan.
Kawan-kawan lain yang telah lebih dulu menyelesaikan kemahasiswaannya, dan
cukup baik mendapatkan posisi dipekerjaannya, ketika ditemui dan diminta
sedikit bantuan untuk mendapatkan pekerjaan ternyata tak memberikan jawaban
yang menggembirakan. Bukan tanpa alasan memang, ia pun dapat mengerti, cukup
memahami dan memakluminya. Kenyataan pahit yang harus ia jalani, namun itu
semua mesti ia terima tanpa harus berhenti di titik yang tak semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar