Senin, 09 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #3)


 Karya : Ipey
        Langit tampak murung ketika sayap merpati bersembunyi dibalik reruntuhan. Riak air mencibir tumpukan sampah berserakan sepanjang pinggiran sungai yang dilaluinya. Tangan-tangan mungil bertebaran di setiap lampu merah, halte bis dan pintu-pintu gerbang terminal disaat teman sebayanya duduk rapi dibangku-bangku sekolah. Seorang ibu tua tanpa lelah memikul beban keluarganya dengan tanpa henti menjajakan barang dagangannya. Berpasang-pasang mata menatap tak acuh tubuh renta berjanggut putih ketika menengadahkan tangan mengemis untuk sesuap nasi. Sementara di bawah pohon rindang sekelompok lelaki asyik menghamburkan uang, mengadu peruntungan dengan sesama temannya.
Para pelajar menyimpan rapi senjata tajam dan perlengkapan tempurnya di balik pakaian serta tas gendong, yang semestinya hanya berisi buku dan peralatan sekolah demi wawasan keilmuannya.  

Sungguh realitas kehidupan kota yang sering kali dijumpai, tanpa bisa dipungkiri. Laju pembangunan seakan menjauhkan sentuhan manusiawi, bahkan mungkin mengesampingkan hal-hal sedemikian. Bukan tak meng-amini setiap keinginan memacu roda-roda kebanggaan, namun keseimbangan semestinya manjadi salah-satu acuan tak terpisahkan, sehingga keharmonisan dan keselarasan senantiasa terjaga. Hukum alam, seleksi alam menyatakan ketegasannya tanpa banyak bicara untuk diperdebatkan. Percepatan kini menjadi satu alasan sebagai alibi bagi pertanyaan, tak perduli lagi apakah itu kebenaran atau pembenaran. Persoalan pembenahan bagai panorama alam terselimuti kabut tebal, sehingga membutuhkan sesuatu untuk menembus keindahan bahkan keterkoyakannya. Keringat, pengorbanan, bahkan tetesan darah dijadikan selogan demi mempertahankan harga diri, harkat dan martabat, meski mungkin sesungguhnya hanya demi ambisi dan nafsu belaka. Kesenjangan sosial semakin merajalela, memicu kecemburuan melakukan hal-hal diluar kemanusiaannya. 
Benarkah demikian adanya?. Tak adil kiranya begitu saja menghakimi, tanpa mencari tahu terlebih dahulu alasan sesungguhnya dari setiap tindakan yang mendasarinya.
Karena beberapa alasan tertentu akhir-akhir ini Rhaka memutuskan mengurung diri, mencoba tak bersosialisasi dengan lingkungan dimana ia biasa melebur dengan berbagai aktivitas dalam kesehariannya. Dan pembicaraan dengan sahabat-sahabatnya beberapa hari lalu jelas meninggalkan berbagai pertanyaan, sehingga menjadi pertimbangan untuk menjernihkan pikiran tak menentu yang seringkali menghantui setiap gerak langkahnya. Ia berpikir bahwa apa yang menjadi pemikiran sahabatnya memerlukan berbagai pertimbangan serta ketelitian dalam menganalisa sesuatu, agar dikemudian tidak menimbulkan persoalan baru. Tidak berpihak pun kini menjadi suatu persoalan. Bukan soal solidaritas, atau kesetiakawanan, tapi lebih pada prinsip dalam menyikapi persoalan. Pergerakan memerlukan berbagai kajian mendasar, sehingga ketika berargumentasi tak mudah dimentahkan atau bahkan mungkin ditenggelamkan. Di sisi lain tak memungkiri bahwa setiap mereka membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Akal sehatnya bertanya, mengapa mereka yang disana seakan tidak mau melakukan hal atau menempuh jalan yang lebih sederhana, sehingga tidak akan menimbulkan efek domino dikemudian harinya, dan mungkin ongkosnya tidak terlalu mahal. Atau mungkin mereka telah menempuh jalan itu, namun tak bisa menembus keberhasilannya?. Dibenaknya berputar kata-kata. Korban, mengorbankan, dikorbankan, pengorbanan. Ditindas, tertindas, menindas, ketertindasan. Benar, kebenaran, dibenarkan, terbenarkan, pembenaran. Terngiang ditelinganya beberapa hal mengenai isu dari pergerakannya kali ini mengenai pe-marginal-an kaum pribumi demi kepentingan sekelompok kaum pendatang yang coba merebut peran utama kendali ekonomi ditanah kelahirannya. Isu penjajahan versi baru mengenai melemahnya peran pemerintah dalam mengantisipasi kemiskinan yang tercerminkan dalam kebijakan yang diberlakukannya tidak terlepas dari bagian rencana pergerakannya. 
    
   

Waktu bergulir tanpa bisa dihindari sepersekian detik pun untuk menahan lajunya kedepan. Terus menerus memikirkannya hanya menjadi hambatan langkah menuju harapan. Entah apa harapan di depan sana yang telah menantinya, ketika proses pencapaian telah dilewati dengan berbagai liku-liku merintanginya. Ia harus menemukan jawabannya, dan jawaban itu hanya bisa didapatkan dengan melakukan apa yang semestinya ia lakukan. Setelah merapikan kamar kost, Rhaka bergegas mengayun langkah kakinya menjalani proses pencapaian, dengan harapan dapat menemukan jawaban di ujung pencariannya. Terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi sahabat-sahabatnya, kini ia harus mengambil jalan pilihan terbaik bagi masa depannya. Ketua jurusan telah beberapa kali mengingatkan agar memfokuskan dirinya pada perkuliahan yang semestinya cepat-cepat ia rampungkan, mengingat kawan-kawan seangkatannya kini sudah banyak yang mengambil tugas akhir, sementara Rhaka masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah sebagai syarat utama untuk dapat menyelesaikan tugas akhirnya. Namun disisi lain ia pun tak bisa tidak harus melengkapi persayaratan lain selain menyelesaikan mata kuliah di kampusnya yaitu melunasi uang kuliah. Belum lagi biaya hidup kesehariannya. Untuk keperluan itu ia terpaksa sesekali mengamen di bis kota, dan atau menawarkan jasa pada para pengemudi untuk memenuhi jok angkutannya, karena lebih malu jika ia terus meminta pada orang tuanya. Pernah sekali waktu mencoba mencari pekerjaan di kantoran, namun kenyataan belum memberikannya kesempatan. Kawan-kawan lain yang telah lebih dulu menyelesaikan kemahasiswaannya, dan cukup baik mendapatkan posisi dipekerjaannya, ketika ditemui dan diminta sedikit bantuan untuk mendapatkan pekerjaan ternyata tak memberikan jawaban yang menggembirakan. Bukan tanpa alasan memang, ia pun dapat mengerti, cukup memahami dan memakluminya. Kenyataan pahit yang harus ia jalani, namun itu semua mesti ia terima tanpa harus berhenti di titik yang tak semestinya.    

Tidak ada komentar: