Rabu, 18 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #10)



Karya : Ipey

        Awan putih berarak menyelimuti langit tinggi, dan kilaunya tampak indah di sinari matahari. Sesekali angin semilir bertiup menyapa  dedaunan, memberi sentuhan pada suasana hati.  Langkah-langkah terdengar silih berganti melewati jalan sempit di depan rumah pemilik kost yang di tempatinya hampir setahun ini. Hanya tinggal menunggu hitungan hari ia harus secepatnya memberikan kepastian pada pemilik rumah, akan tetap tinggal atau mencari tempat lain. Rhaka menghitung kembali pecahan uang logam dalam kaleng biskuit dengan teliti, lalu memindahkannya ke kantung plastik dengan memasukkan secarik kertas bertuliskan jumlah uang didalamnya. Ia berpikir sejenak selepas menghitung jumlah keseluruhan tabungannya.
“Tinggal beberapa rupiah lagi aku baru bisa membayar uang kost pada pemilik rumah ini, seandainya akan tetap disini”. Gumamnya dalam hati.
Ia berpikir, menimbang ulang untuk memberikan jawaban pasti pada pemilik rumah. Beberapa hari lalu ketika dalam perjalanan pulang ia melihat sebuah rumah kost-an tak begitu jauh dengan tempat kost-nya sekarang. Kelihatannya cukup nyaman untuk ditinggali, meski agak jauh dari tempat penjual makanan. Halamannya tak seperti yang ditempatinya sekarang. Hanya teras pembatas halaman untuk sekedar berdiri memandangi jalan atau mengunjungi kawan setempat yang berjejer memanjang bersebelahan satu sama lain. Di ujung jalan hanya ada satu warung nasi yang bersebelahan dengan warung sembako. Tapi sepertinya itu tak menjadi soal baginya. Setelah yakin akan keputusannya, Rhaka beranjak dari tempat, menyambar handuk yang menggantung di balik pintu, lalu bergegas pergi ke kamar mandi.

   Langkah Diana terhenti ketika seseorang memanggil sambil berlari. Ia menoleh kebelakang, lalu membalikkan badan setelah tahu siapa orang yang bergerak kearahnya.
“Ada apa Na?”. Tanya Diana singkat.
“Ini, aku kembalikan bukumu. Thank’s ya atas pinjamannya. Bukumu ini telah menyelamatkan aku dari omelan ibu dosen yang gendut dan super galak itu. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana jika seandainya aku tak segera menyampaikan tugasnya”. Tutur Ratna tanpa memberi kesempatan pada Diana untuk memotong omongannya.
Diana tersenyum geli sambil menutup mulut degan jemari tangan mendengar penuturan temannya ini.
“Apa kamu tak sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”. Tanya Diana.
Ratna menatap heran, berpikir akan maksud dari pertanyaan yang dilontarkan padanya.
“Menurutmu ada yang salah dengan ucapanku Na?”. Ratna berusaha mencari tahu maksud pertanyaan Diana.
“Memang kamu nggak ngerasa kalau kamu juga sama seperti ibu dosen itu?”. Ia balik bertanya pada Ratna yang berdiri menunggu jawaban. Ratna mengangkat kedua tangan, lalu meletakkan dipinggangnya dengan pipi dikembungkan mendengar penuturan teman dihadapannya. Diana tak kuasa menahan tawa geli melihat ekspresi wajah Ratna, kemudian melangkah setengah berlari menjauh.
“Oke Na aku pergi dulu yach. Sampai ketemu nanti”. Diana terus memacu langkah tanpa menghiraukan Ratna yang memandanginya berlalu. Ia perlambat langkahnya ketika sampai di ujung gang. Ratna membalikkan badan, beralu meninggalkan kejengkelanya.
    Diana berdiri sejenak setelah ketukan di pintu tak mendapat jawaban. Selang beberapa saat, Rhaka keluar dari kamar mandi. Diana menarik nafas lega setelah tahu kedatangannya tidak sia-sia.
“Sudah lama menunggu disitu Na?”. Tanya Rhaka sambil membuka pintu. Ia meminta Diana menunggu sesaat untuknya berganti pakaian, lalu setelah itu Rhaka mempersilahkan masuk. Diana memandangi sejenak bungkusan plastik berisi pecahan uang logam tergeletak dilantai. Belum sempat ia bertanya, Rhaka mendahuluinya.
“Tinggal beberapa hari kedepan kesempatanku untuk menempati tempat ini. Aku coba menghitung tabunganku disini guna keperluan itu. Sepertinya tabunganku cukup untuk membayar uang sewa kost, tapi bukan membayar sewa ditempat ini”. Rhaka coba menuturkannya tanpa memberi ruang pada Diana memikirkan sesuatu tentang kemungkinan-kemungkinan yang sedang dihadapinya kini. Namun maksud baiknya tak menutup Diana mencari tahu keadaan sebenarnya. Pikirnya tak mungkin ia akan berpindah tempat, jika tak ada sesuatu mendorongnya melakukan hal itu.
“Apa sudah yakin dengan keputusanmu Ka?. Bukankah tempat ini cukup nyaman buatmu, atau mungkin ada sesuatu hingga membuatmu mengambil keputusan untuk pindah ke tempat lainnya?”. Diana berusaha mencari tahu dan ingin memastikan bahwa Rhaka tidak sedang dalam kesulitan.
“Aku ingin mencari suasana baru. Hanya itu saja”. Rhaka berusaha meyakinkan, agar tak menjadi beban baginya.
“Menurutmu, haruskah aku memberi tahumu kemana aku akan pindah?”. Tanya Rhaka  kemudian.
“Jika menurutmu aku harus tahu, aku siap mendengarkan. Dan kalaupun menurutmu aku tak harus tahu, itu kebangetan namanya Ka”. Canda Diana coba memecah suasana.
“Jika kamu berpikir aku tak harus tahu, berarti ada sesuatu ingin kau sembunyikan dariku”. Lanjutnya menegaskan.
“Tempatnya tak terlalu jauh dari sini. Jika kamu mau, kita bisa pergi kesana sekarang juga”. Jelas Rhaka diakhiri ajakannya untuk pergi ke tempat yang ia maksudkan. Ia tak ingin Diana berpikir jauh kearah pertanyaan lainnya.
Sejenak Diana menatapnya penuh harap mengetahui, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan lelaki didekatnya ini.
“Kebetulan aku berencana mengajakmu jalan, itu pun jika tak mengganggu aktifitasmu hari ini”. Diana coba menyampaikan niatnya semalam untuk mengajak Rhaka pergi.
Tanpa menunggu lama, Diana beranjak dari tempatnya, setelah Rhaka memberi isyarat untuk pergi.
       Diana tak mengira sore ini begitu ramai orang berdatangan ke tempat yang ia kunjungi. Untuk berjalan ke pintu masuk saja ia harus rela berdesakan dengan orang-orang disekitarnya. Ia baru mengetahui setelah berada di dalamnya. Rupanya pengelola usaha sedang memberi ruang bagi para produsen untuk mempromosikan hasil produksi terbaru di tempatnya. Diana menarik pergelangan tangan Rhaka ke arah eskalator menuju lantai atas.
Ia meminta Rhaka memilih tempat dimana mereka bisa melihat suasana di lantai bawah gedung. Rhaka berjalan mencari tempat seperti yang diinginkan Diana, sementara ia memesan makanan.
Rhaka memutar pandangan mata mengelilingi tempat sekitar dimana ia barada. Lamunan menghinggapi benaknya ketika menatap tempat penyaji makanan tak jauh darinya. Suasana masa lalu mengajak ia menelusuri kembali kebersamaan dengan seseorang yang pernah menorehkan kisah romansa dikehidupannya, hingga Diana datang menyadarkan lamunannya.
“Aku mau kamu mencoba menu baru yang sengaja aku pilihkan buat kita”. Ajak Diana sembari mengambil sendok dan garpu di dekatnya. Rhaka mengangguk setuju untuk mencobanya. Disela-sela waktu menyantap makanan, Rhaka merasa ada sesuatu mendorongnya untuk menatap ke arah meja dimana dulu ia pernah berada disana bersama seseorang. Matanya seakan tak bisa berkedip ketika melihat seseorang yang begitu ia kenal.
“Lembayung ?”. Ucapnya tanpa sadar, hingga membuat Diana menatap heran wajahnya.
“Ada apa Ka?. Tanya Diana mencari tahu.
Rhaka berusaha bersikap wajar ketika Diana menanyakan sesuatu padanya. Diam-diam ia kembali mencuri pandang ke arah dimana Lembayung tengah berada disana bersama anak perempuan dan seorang lelaki di dekatnya. Hatinya berkata-kata.
“Syukurlah kau baik-baik saja Bay. Aku senang melihatmu tersenyum bahagia. Semoga kau tetap bisa menjalaninya seperti yang pernah aku minta”.
Rhaka tak sadar butiran air menggelayut di kelopak matanya, hingga membuat Diana menatap penuh tanya.
“Kenapa matamu berkaca-kaca Ka?. Tanya Diana berharap jawaban. Ia menoleh ke arah tatapan mata lelaki dihadapannya.
Rhaka tersadar, kemudian ia mengusap matanya.
“nggak apa-apa, mungkin makanan memercik ke mataku”. Rhaka mencoba bersikap wajar, tak ingin membuat Diana bertanya-tanya. Setelah makanan yang disantapnya berpindah tempat ke tubuhnya, Rhaka mengajak Diana pergi, dengan alasan ada sesuatu yang ia lupa untuk dibelinya. Diana mengangguk, kemudian beranjak untuk pergi.
Sementara itu Lembayung masih tetap di mejanya menyantap sajian, sambil sesekali menyuapi anaknya. Tanpa sengaja ia menatap keluar, kemudian tiba-tiba raut wajahnya berubah ketika melihat seorang lelaki berjalan disamping seorang perempuan memegangi tangannya. Seakan tak percaya ia mengusap kedua mata dengan jari tanganya, hingga ia yakin lelaki itu tak lain seseorang yang sangat ia kenali. Ia beranjak dari kursi yang didudukinya, meminta pada suaminya pamit keluar sebentar. Ia berusaha sebisa mungkin agar tak mengundang pertanyaan. Matanya mencari ke arah dimana ia tadi melihat lelaki yang dikenalinya bersama perempuan disampingnya. Ingin rasanya ia memanggil dan berlari ke arah lelaki itu ketika didapatinya tengah menuruni tangga. Namun ia coba menahan sekuat hatinya untuk tak berbuat hal bodoh yang tentu akan membuatnya berada dalam masalah besar. Ia hanya bisa menatap dengan pandangan mata berkaca-kaca. Entah untuk apa butiran bening dikelopak matanya. Bahagia, sedih, kesal atau kecewa?. Hanya ia sendiri yang tahu akan perasaannya saat itu. Ia tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Setelah mereka hilang dari pandangannya, baru Lembayung kembali melangkah sambil menyeka butiran bening yang menetes di pipinya.  
        

       

Tidak ada komentar: