Karya : Ipey
Meskipun dia telah menyampaikan beberapa penjelasan serta alasan, namun Rendy masih belum bisa menerima juga. Kawan-kawan yang berusaha menenangkan, akhirnya memutuskan untuk diam dan sedikit menjauh. Sepertinya Rendy benar-benar marah kali ini. Yori, Aray dan Arok hanya bisa diam tertunduk sambil sesekali menghela nafas panjang, dan Rhaka masih mencoba berusaha tetap tenang menghadapinya. Namun melihat Rendy masih saja tak mengerti, akhirnya dinding kesabarannya pun terkoyak sudah.
"Sekarang tak penting bagiku, kau percaya atau tidak atas semua penjelasanku!. Aku hanya minta kalian mengerti situasiku saat ini. Hanya itu saja. Cobalah mengerti sikap egoisku saat ini, jika memang kalian menganggapnya itu sikap keegoisan. Coba tolong kau ingat baik-baik, apa sebelumnya aku pernah seperti ini Ren?. Tidak pernah!. Apa kalian pikir selama ini aku pernah mengecewakan atau menghianati kalian, menghianati perjuangan dan kebersamaan kita?!. Seingatku pun tidak. Rhaka benar-benar tak dapat lagi menahannya.
Sejenak ia menghela nafas panjang, menengadahkan wajah, lalu membuang pandangannya sejauh mungkin.
"Aku hanya berpikir, untuk apa berada diantara kalian sementara pikiranku tidak berada diantara kalian. Aku lakukan itu karena tak ingin membuat kalian kecewa, dan aku juga tak berharap rencana kita berantakan. Dan ingat tentang satu hal Ren!. Aku tak pernah memaksamu dan juga kalian untuk mengikutiku, karena kalian sendiri yang memutuskan itu, bukan aku!. Aku merasa...., sangat tidak adil bagiku jika kini kalian coba menumpahkan segala kesalahan ini padaku, sementara aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kita. Selama ini aku tak pernah mempersoalkan ketidakadilan yang kalian tunjukkan padaku, meski hati kecilku ingin sekali berteriak. Ya, selama ini aku hanya diam dan diam, mencoba menerima dan memaklumi bagaimanapun kalian perlakukan aku. Meski sakit tapi aku paksakan tetap bertahan demi persahabatan kita. Apa kalian tidak merasa jika selama ini kalian lakukan itu padaku?”.
Rhaka coba mengulas balik apa yang telah terjadi, dengan harapan mereka dapat mengerti, memahami dan merasakan apa yang dirasakannya selama ini.
Yori melangkah perlahan menghampiri Rhaka, menepuk bahu lalu merangkulnya erat-erat. Aray dan Arok bergerak bersamaan, menepuk bahu Rhaka, lalu kemudian saling memeluk satu sama lain hingga membentuk suatu lingkaran. Dan tak lama berselang, Rendy pun turut bergabung diantara mereka.
Awan kelabu perlahan menepi ke sisi lain, bertukar tempat dengan gumpalan putih berseri, dihembuskan angin utara memecah keheningan. Kilaunya yang indah merangkai senyum di wajah-wajah pencari kedamaian, hingga sujud syukur pun melimpah ruah dijalanan, disurau-surau tempat mereka mengaji dan berbagi kehangatan, tak terkecuali di hati hati mereka yang bersembunyi dibalik penantiannya meraih angan yang kemarin sore tertunda dihempas keramaian dan tawa bertabur nestapa. Daun-daun kering pun berbisik tanpa kata luka disetiap rangkaian kalimatnya, pertanda bahagia menyambut hari baru di pelukannya.
Dan diantara terik matahari, langkah kaki berbalut keresahan perlahan menapaki trotoar jalan menuju persinggahannya. Seikat senyum ia relakan pada setiap wajah yang dikenalinya ketika berpapasan hingga sampai ditujuan. Kampus tempat bertemunya berbagai ilmu yang tadi ia datangi, hari ini tak memberi suasana ceria seperti harapannya. Namun demikian ia tetap menghadapinya dengan senyuman. Kesombongan telah mengajarkannya cara menyikapi hidup agar berpihak pada etika dan sikap rendah hati dalam bertutur kata. Keangkuhan memberinya pelajaran bagaimana hidup toleran diantara keberagaman, dan kebencian serta kedengkian telah menuntunnya untuk berbelas kasih terhadap sesama. Adapun kenyataan pahit yang dirasakan, ia jadikan sebagai guru spiritual yang membimbingnya pada kesabaran serta keagungan sang maha pencipta. Ia bersyukur hari ini masih dapat berbagi cerita dengan kawan-kawan, meski tak sesuai skenario yang mereka harapakan. Dan kini ia bisa bernafas lega ketika sampai di tempat persinggahan yang baru ditempatinya beberapa hari kebelakang. Meski hanya segelas air putih menyambutnnya, namun cukup untuk sekedar melepas dahaga setelah menempuh perjalanan. Jaket lusuh dan t-shirt ia kaitkan dibalik pintu, setelah membiarkan sepasang sepatunya tergeletak diluar, sebagai tanda ia berada ditempat. Sejenak ia rebahkan tubuhnya sambil manatap langit-langit kamar, berharap dapat menenangkan otaknya setelah beradu pendapat. Rasa kantuk perlahan mengajak matanya terpejam, namun suara ketukan dipintu membuatnya untuk tetap terjaga.
“Siapa?”. Tanya Rhaka seraya beranjak mendekati pintu.
“Ini aku Ka”. Jawab seseorang dari luar.
Suara itu tak asing ditelinganya. Setelah minta menunggunya sesaat, kemudian Rhaka membuka pintu. Dugaannya sama sekali tak meleset. Diana menyapa dengan senyum manis tersungging dibibirnya. Tanpa diminta berulangkali ia melangkah memasuki ruang hati yang terbuka untuknya.
“Ini aku bawakan makanan kesukaanmu Ka”. Ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan. Rhaka menerimanya dengan tangan terbuka.
“Tadi aku mampir ke tempat makan disana sepulang dari rumah teman sekelasku, jadi sekalian saja aku pesankan buatmu”. Lanjut Diana menjelaskan. Ia pun memberi tahu jika teman sekelasnya tinggal tak jauh dari tempat Rhaka ngekost.
“Mungkin kamu masih ingat temam sekelas yang tempo hari aku kenalkan saat bertemu di Palasari, sewaktu kamu mengantar aku mencari buku. Masih ingat kan?”. Diana menuntun Rhaka mengingat temannya.
Rhaka terdiam sejenak, coba membuka memory ingatannya.
“Oooh ya aku ingat sekarang. Temenmu yang itu kan Na, yang.....”. Rhaka menyebutkan ciri-ciri teman Diana dengan gerakan tangannya. Diana tersenyum lebar sambil menepuk tangannya.
“yeeeech.., kamu kok gitu sich sama teman aku. Ratna itu salahsatu teman terbaik dikelasku, dan dia tadi titip salam buatmu Ka, karena tahu aku akan mampir kesini”. Diana menimpali diiringi canda khasnya.
“Aku dengar di kampus tadi kamu ribut sama kawan-kawanmu, apa benar begitu?. Apa sich yang diributin kalian?. Soal anggaran kegiatan organisasi atau persoalan lain yang tak ada hubungannya dengan itu?”. Diana berusaha mengkonfirmasi informasi yang didapatkannya. Tatapannya menyelidik ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Rhaka diam sejenak, kemudian beranjak meraih bungkus makanan yang tadi diberikan Diana untuknya.
“Terima kasih Na atas kirimannya. Aku cicipin ya”. Ucapnya sambil membuka bungkus makanan.
Diana menggeleng pelan ketika Rhaka menawarinya untuk menyantap makanan bersama. Raut wajahnya menyimpan penantian dan tanya akan apa saja yang ingin didengarnya. Setelah menanti beberapa saat, ia coba menyimak setiap kalimat yang dituturkan Rhaka padanya.
Rhaka memulai pemaparannya dari pertama ia bertemu sahabatnya, sampai akhirnya terjadi insiden kecil di kampusnya tadi pagi menjelang siang. Padanya kemudian ia bertutur kata tentang situasi dan keadaan yang belum berpihak ke arah pergerakan kawan-kawannya. Padanya juga ia paparkan mengenai ketidakmengertiannya akan sikap mereka-mereka disana dalam menyikapi persoalan, lebih tepat sikap apatisnya terhadap situasi yang berkembang, seakan mereka tak memanfaatkan pemberian Tuhan atas pendengaran dan penglihatannya. Padahal jika mereka menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan mereka di gedung sana semata-mata atas kepercayaan yang diamanatkan dan dititipkan pada setiap langkah-langkahnya. Ia menyayangkan kepekaan terhadap setiap ketidakadilan yang seolah menjauh dari sentuhan nuraninya. Yach, jangankan mendengarkan teriakan diluar gedungnya, keterpurukan didalamnya saja seolah mereka tak tertarik untuk sekedar meliriknya. Sungguh ironis memang. Tapi ini kenyataan yang tengah terjadi sebenarnya. Mungkin khawatir ketika bersuara pun akan menjadi bumerang bagi mereka. Dilematis mungkin jika seandainya mereka mau jujur mengakuinya.
“Dan aku Na. Apalah artinya aku ditengah-tengah perjuangan mereka diluar sana. Aku merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku hanya seekor semut kecil, yang coba merajut angan diantara keberadaan kawan-kawan, hanya untuk menegaskan bahwa aku berada dipihaknya. Itu karena aku dapat merasakan keterpurukan mereka yang diperjuangkan atas rasa ketertindasannya. Adapun ketidakikutsertaanku saat itu, bukan berarti aku berpaling dari keberpihakan sebelumnya. Sikapku tadi pagi itu hanya tak terima jika aku dijadikan kambing hitam atas kegagalan rencananya”. Rhaka kembali menyampaikan kekesalan atas perlakuan kawan-kawan yang seakan menyudutkannya.
Diana menarik nafas panjang sambil mengarahkan pandangannya ke jalan tempat orang hilir mudik melangkah ketujuannya masing-masing.
“Mungkin aku hanya bisa mengerti tentang situasi yang kau hadapi saja Ka. Selebihnya aku tak memahami, apa yang telah terjadi dilingkaran persahabatanmu dengan mereka, apalagi mereka-mereka yang di gedung sana, karena di kelas aku tak diajarkan mengenai apa yang tadi kamu jelaskan padaku. Maaf ya Ka, aku tak bisa memberimu komentar apapun mengenai hal ini. Aku berharap kamu bisa sabar menghadapi segalanya”.
Tutur Diana sambil meraih jemari tangan lelaki didekatnya dengan penuh kelembutan. Rhaka menatap wajah Diana teriring senyum di bibirnya.
“Aku tak memintamu untuk mengerti, juga memahaminya Na. Dan kamu tak perlu bersusah payah berpikir untuk mengomentarinya. Kamu mau tetap berada disini mendengarkan penuturanku saja aku sudah merasa lega. Terima kasih karena telah membuatku merasa tak sendirian”. Rhaka mengelus perlahan jemari tangan Diana dengan ketulusan dan keikhlasannya.
“Sebenarnya sore ini aku berencana ke tempatmu, tapi ternyata kau lebih dulu mendatangiku, pake bawa makanan segala lagi. Terima kasih ya kamu sudah begitu baik padaku. Aku jadi berpikir khawatir tak sanggup membalasnya”.
Diana menarik badannya kebelakang, kemudian mencubit pergelangan tangan Rhaka dengan wajah merah merona di pipinya.
“Ngomong apaan sich kamu. Jika harus dibandingkan dengan kebaikanmu padaku, tak ada seberapanya Ka. Sudah ach nggak usah bahas soal itu”. Ucap Diana berharap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar