Senin, 23 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #12)



Karya : Ipey

    Nada-nada mengalun perlahan diiringi petikan senar-senar gitar dikeheningan malam bertaburkan kerlip bintang dan senyum sang rembulan. Semilir angin berhembus membawa kabar suka dan duka para pewaris tahta negeri khatulistiwa di belahan dunia. Penunjuk waktu berkeliling tanpa henti mengitari haluannya. Tak bosan-bosan memandu para pengejar mimpi, menjadi saksi bisu perjalanan ke tujuannya masing-masing. Mereka yang resah menanti  hari esok, setia menemani nyanyian malam dengan keresahannya. Sementara para pengabdi Tuhan terhanyut dan larut dalam permohonan, bersimbah air mata di sela-sela kekhusuannya. Dan hingga gerimis datang menyapa lamunan, Yori masih diam terpaku bersandar ke dinding kamar, menikmati asap rokok sambil sesekali meneguk seduhan kopi. Pintu kamar perlahan terbuka setelah Yori menyahuti suara panggilan dari luar. Rhaka mengaitkan jaket di balik pintu setelah meletakkan bungkus makanan di lantai, kemudian meminta Aray membuat seduhan kopi untuk mereka.
“Dia nggak ada di tempat Yor. Aku sudah coba cari berkeliling dan menanyakan pada penjaga keamanan kampus, tapi tak satupun yang tahu dimana ia berada. Mungkin dia pulang ke kostannya”.
Aray coba menyampaikan hasil pencariannya dengan ekspresi wajah menyiratkan kekecewaan. Rhaka mengambil gelas seduhan kopi yang baru saja dibuatkan Aray untuk mereka.
“Berikan dia waktu untuk menenangkan diri. Mungkin ia membutuhkan itu  saat ini. Jangan terlalu memaksakan, karena aku khawatir akan berdampak kurang baik bagi kita. Masih ada waktu untuk kita menyusun kembali rencana kedepan”.
Sahut Rhaka, berusaha menenangkan suasana.
         Seminggu sudah sejak peristiwa hari itu, Rendy tak menampakkan dirinya di kampus. Apakah sebenarnya ia masih menyimpan kekecewaannya terhadap Rhaka, atau memang ada hal lain. Yori terus coba mencari tahu, alasan apakah sebenarnya yang membuat Rendy bersikap seperti itu. Hingga sampai malam ini ia masih menduga-duga tanpa tahu kepastiannya.
“Andai saja ia mau terbuka mengenai persoalan yang sedang dihadapinya, mungkin saat ini ia berada diantara kita”. Ucap Yori menyiratkan penyesalan.
Rhaka dan juga Aray hanya bisa diam mendengar penyesalan sahabatnya.  Selang beberapa saat kemudian mereka saling pandang satu sama lain, ketika mendengar suara dari balik pintu menyapa kesunyian.
“Itu dia datang”. Sahut Aray spontan mendengar suara panggilan dari luar yang tak asing ditelinganya. Aray membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.
“Aku pikir kalian ada dikampus, jadi sepulang menemui teman aku menuju kesana. Kebetulan aku bertemu Roni, dan ia memberitahuku jika kalian ada disini”. Jelas Rendy tanpa basa basi.
Yori, Rhaka dan Aray tampak menarik nafas lega atas kedatangan sahabat yang memang dinantinya. Tak lama berselang Rendy memaparkan beberapa hal mengenai hasil pertemuannya dengan beberapa teman beberapa waktu lalu.
“Mereka masih sangat berharap kita bisa menjadi jembatan bagi terwujudnya keinginan mereka. Tapi aku tidak menjanjikan apa-apa padanya”. Lanjut Rendy menambahkan penuturannya. Kemudian ia sampaikan kemungkinan mereka akan kalah dalam pelelangan tender proyek pembangunan kota seperti yang mereka jelaskan padanya.
“Mungkin mereka pesimis dapat melalui tahapan pelelangan, karena ada kekuatan lain mengitari prosesnya, hingga meminta kita untuk terlibat didalam kepentingannya”. Ungkap Rendy, serius menuturkannya.
Rhaka beranjak dari tempat, tanpa pamit pergi ke kamar kecil. Yori menatap langit-langit kamar sambil menarik nafas panjang. Sementara Aray bergeser duduk kebelakang. Rendy diam sejenak sambil memegangi kepalanya, dan suasana pun kembali senyap. Hanya rintik hujan terdengar nyata dikeheningan malam yang semakin larut.
Yori menunggu beberapa saat untuk menuturkan apa yang saat ini bermuara dipikirannya. Baru kemudian ia membuka suara, ketika Rhaka kembali diantara mereka.
“Bukan aku tak ingin menuntaskan apa yang telah kita mulai dari awal, tapi setelah aku berpikir ulang, ada baiknya kita mempertimbangkan apa yang dikatakan Rhaka padaku. Sebaiknya kita tak perlu memaksakan diri. Seperti kata Rhaka, kita tak ingin terlibat lebih jauh dalam persoalan ini, mengingat ini sudah jauh bergeser dari tujuan kebersamaan kita Ren”. Yori berusaha memberi pengertian. Rhaka mengangguk perlahan, menyikapi penuturan Yori. Ia membenarkan apa yang disampaikan Yori pada sahabatnya.
“Ini sudah jauh menyimpang dari tujuan kebersamaan kita Ren. lebih baik aku tak melibatkan diri jika sejak awal tahu kenyataan yang sebenarnya seperti ini. Sekarang, ini menjadi kepentinganmu sendiri Ren, bukan kepentinganku atau kita. Dan kau harus menyelesaikan sendiri apa yang telah kau mulai”. Rhaka menyampaikan penegasannya setenang mungkin, berharap Rendy bisa mengerti akan keputusan yang dipilihnya.


      Pagi yang cerah memancarkan sinar mentari, memberikan kehangatan pada kehidupan untuk memulai berrbagai aktifitas. Tak terkecuali pada mereka yang semalam menghabiskan waktu berdiskusi, saling mempertahankan pendapat dan argumentasinya. Mereka memulai hari dengan berebut waktu untuk mempergunakan kamar mandi lebih dulu. Perdebatan semalam ternyata masih menyisakan kebersamaan menjalani hari dengan senyuman dan canda tawa. Soal perbedaan sebisa mungkin mereka kesampingkan demi menjaga keutuhan persahabatan, dan ketika sampai dipersimpangan jalan, arah serta tujuan melangkah menjadi keputusan paripurna bagi mereka. Sepakat untuk tidak bersepakat dalam suatu persoalan, bukan suatu keniscayaan bagi mereka tetap menikmati kebersamaan. Dinamika hidup dan kehidupan sudah semestinya disikapi secara dewasa, hingga tak menimbulkan kekecewaan yang tak berkesudahan, apalagi menyimpan dendam. Dan pagi itu Rhaka memutuskan untuk pergi ke kampus guna mengejar ketertinggalan dari teman-temannya yang hampir sampai di penghujung tujuannya. Hanya berbekal tekad bulat ia mendatangi ruang perpustakaan. Setelah memastikan kebutuhannya berada digenggaman tangan, ia menemui petugas perpustakaan untuk mencatatkan buku pinjamannya. Setelah selesai Rhaka bergegas pergi menuju parkiran, dimana seseorang telah menjanjikan menemuinya disana pagi ini. Ketika ia meluaskan pencarian, seseorang dengan senyum hangat melambaikan tangan ke arahnya. Rhaka mengayun langkah menghampiri seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari taman.
“Maaf jika aku sudah membuatmu menunggu. Aku harus ke perpustakaan dulu untuk melengkapi kebutuhan mata kuliah yang aku ambil semester ini”. Sapanya memberi penjelasan.
Diana menggelengkan kepalanya perlahan.
“Tak apa-apa Ka. Aku juga baru sampai kok”. Ucap Diana meyakinkan Rhaka.
“Bagaimana Ka, jadi kita pergi?”. Lanjut Diana mencari tahu akan rencana mereka. Rhaka mengangguk perlahan, memberi isyarat bahwa mereka bisa segera pergi.
   Sambil menunggu pesanannya datang, Diana mengisi waktu dengan membuka obrolan ringan seputar kegiatannya di kampus beberapa hari lalu. Sesekali Rhaka menimpali dengan menyelipkan canda dan kata gurauan untuk mengimbangi percakapannya. Bukan untuk kali ini saja Rhaka memberikan sedikit demi sedikit perhatiannya pada Diana yang telah ia kenal beberapa bulan kebelakang. Dan bukan sekali ini saja ia coba mengerti dan memahami setiap maksud perkataan Diana yang ia sampaikan padanya. Seiring waktu berjalan, keakraban pun mulai terasa diantara mereka berdua. Sulit dimengerti mengapa dihatinya mulai timbul perasaan lain yang tumbuh begitu saja, tanpa mampu ia hindari. Perlahan namun pasti rasa itu merasuk dijiwanya, hingga akhirnya ia menyadari bahwa cinta bisa hadir tanpa disadari. Sejenak menyimpan waktu kebersamaan dengan seseorang di masa lalu, meski ruang dihati masih terpaut dengan kisahnya. Namun kemudian ia berusaha menyikapi kenyataan dengan menjalani kisah apa adanya. Biarkan waktu yang menjawab semuanya. Mungkin itu kalimat yang tepat baginya saat ini.

Rhaka tak mau terjebak menjalani hari dalam lingkaran kenangan masa lalu, hingga menutup ruang hati bagi siapapun yang datang mengetuknya. Tak bijak rasanya jika ia harus memasung diri sendiri, sementara cinta yang lain datang menanti uluran hati. Diana telah merelakan diri berbagi waktu dan perasaan dengannya, dan sepertinya ia percaya menjadikan dirinya tempat berkeluh kesah untuknya. Sikap yang ditunjukkan Diana disaat ia mendapati Rhaka tengah berbincang dengan teman sekelasnya cukup memberi arti tersendiri baginya. Sudah semestinya Rhaka mengerti dan memahami arti kebersamaan mereka saat ini. 
                
  

          

Tidak ada komentar: