Selasa, 24 Mei 2016

Dari Balik Kaca Jendela (Episode #13)



Karya : Ipey


        Dengan suara nyaring dan lantang ia berkokok, mengucapkan selamat pagi pada jiwa-jiwa yang bersembunyi dibalik selimut mimpinya tadi malam. Burung-burung menanti sinar mentari datang menghangatkan tubuhnya, setelah sepanjang malam berdiam diri di sarang-sarang tanpa kata. Rembulan pun perlahan pergi menjauh melanjutkan pengembaraan ke belahan dunia lainnya, seperti yang telah digariskan alam semesta, dengan membawa berbagai kisah ke tujuan berikutnya tanpa banyak bicara. Trotoar jalan memasang kuda-kuda, bersiap diri diinjak-injak para pejalan kaki tanpa henti, hingga mereka lelah untuk melangkah. Butiran embun perlahan berjatuhan dari ujung dedaunan, membasuh tanah kering di pelataran rumah.
Rhaka menyempatkan diri merapikan tempat tidur sebelum ia pergi. Setelah memastikan semuanya aman, ia melangkah berteman gitar kesayangan terbungkus sarungnya ditentengan tangan. Ia harus sampai di tujuan sebelum matahari beranjak semakin tinggi, seperti janjinya pada Diana yang kini menunggu kedatangan Rhaka, guna mengantarnya ke terminal untuk menuju kampung halaman.
        Bus terminal antar kota berjejer di jalurnya masing-masing, sesuai kota tujuan yang akan ditempuhnya. Rhaka mencarikan tempat duduk untuk Diana menikmati perjalanan hingga sampai di tempat tujuan. Tak lama kemudian bus pun melaju perlahan. Itu tanda perpisahan sementara bagi mereka, dan Rhaka harus rela membalas lambaian tangan Diana yang tampak tulus menyelipkan senyum di bibirnya, sebelum tikungan jalan menghapus pandangan mata mereka berdua.
Baru beberapa menit berselang Diana merasakan ada sesuatu yang hilang darinya. Tak ada bahu disampingnya, tempat dimana ia menyandarkan keluh kesah, mencurahkan isi hati dikala merasa gundah. Kuncup rindu pun perlahan mekar disanubari tanpa sanggup ia hindari, meski ini bukan kali pertama ia mengenal cinta. Mungkin begitulah adanya jika asmara telah merasuk ke dalam jiwa. Perlahan tapi pasti ia datang tanpa disadari, serta sulit untuk dihindari ketika ia meminta pergi meski dengan permisi.
        Rhaka bergerak menjauh dari terminal bus antar kota, menelusuri trotoar jalan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan. Setelah berbincang sejenak dengan seseorang disana, ia mempersiapkan perlengkapannya sebelum mulai melantunkan nada. Hanya tersisa satu meja kosong di sudut ruangan. Tanpa menunggu pengunjung datang menempati meja yang belum terisi, Rhaka mulai melantunkan lagu setelah sebelumnya menyampaikan kata-kata pembuka seperti biasa.
Rhaka berusaha membaca suasana para pengunjung disela-sela lantunan lagu yang dibawakannya. Pada awalnya ada beberapa raut wajah dan sikap menampakkan ketidaknyamanan. Rhaka coba mencari tahu, apakah karena lagu yang dibawakannya atau memang terganggu dengan keberadaannya. Satu lagu sudah ia persembahkan sebagai ucapan selamat datang dan selamat menikmati sajian yang disuguhkan. Baru di lagu kedua Rhaka merasa lebih santai, menemani penikmat kuliner kota kembang tanpa beban di setiap alunan nadanya. Pengunjung pun datang dan pergi silih berganti. Rhaka menerima beberapa lembar kertas bertuliskan judul lagu dari para pengunjung yang dititipkan pada seorang karyawan disana.
Ia menarik nafas lega karena lagu yang diminta bisa ia bawakan tanpa melihat wajah ketidakpuasan dari para pengunjung. Rhaka menyampaikan ucapan terima kasih serta salam hormat setelah menerima lembaran uang kertas yang diselipkan ditangan, ketika mereka menyalaminya sebelum pergi. Dan jarum jam di dinding ruangan saat itu  telah menandakan ia harus berganti tempat dengan teman lainnya. Setelah mohon pamit ia tak menunda waktu untuk segera pergi, karena hari ini ia harus melanjutkan aktifitasnya kembali di tempat yang berbeda.
        Langkah kakinya terpaksa berhenti manakala tangan seseorang memegangi pundaknya dari belakang. Ia menoleh kearah pemilik tangan di pundaknya, lalu kemudian membalikkan badan. Sejenak ia terdiam memandangi lelaki dihadapannya. Keningnya berkerut coba mengingat sesuatu, ia pikir barangkali mengenalnya. Tapi seingatnya ia tak pernah bertemu, apalagi mengenal siapa orang ini.
“Mungkin kau tak pernah melihatku sebelumnya, karena memang kita baru bertatap muka kali ini. Tapi  aku pernah beberapa kali melihatmu di sekitaran kampus dan di tempat lainnya”. Papar lelaki itu coba menjelaskan keadaan.
“Terus kalau bolah aku tahu, maksudmu mendatangiku untuk keperluan apa ya?”. Tanya Rhaka dengan wajah penasaran.
“Oh ya, perkenalkan, aku Rumie”. Lelaki itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Rhaka menerima uluran tangan sambil menyebutkan nama untuk lelaki bernama Rumie. Selepas berbincang beberapa saat, mereka pergi ke tempat yang disepakati bersama.
Rumie menawarkan Rhaka untuk memesan sesuatu pada pramusaji, setelah ia memesan terlebih dahulu.  
“Aku minta secangkir coffee dengan gula terpisah dan tanpa cream”. Pinta Rhaka pada pramusaji.
Rumie mulai mengarahkan pembicaraan pada maksud yang ingin ia sampaikan, ketika pramusaji meletakkan pesanan mereka dimeja.
Dengan gaya bicaranya yang santai ia bertutur kata.
“Berawal ketika disuatu tempat aku mendapati dompet yang ditinggal pemiliknya tanpa sengaja di atas meja. Hanya berselang beberapa saat ia kembali dan menanyakan sesuatu padaku, karena kebetulan aku menmpati meja yang ia tempati sebelumnya. Aku pun memberikan dompet itu pada pemiliknya, lalu kemudian kami saling berkenalan. Setelah perkenalan itu, beberapa kali sengaja aku menemuinya untuk sekedar mengobrol atau mengajaknya makan bersama. Hingga suatu waktu terucap kata jika aku menaruh hati pada teman wanitaku itu, dan ia membuka hatinya lebar-lebar untukku”. Rumie menahan sejenak penuturannya untuk menikmati jus mangga yang tadi ia pesan. Rhaka mulai menebak-nebak akhir cerita yang dikisahkan padanya. Ia meneguk coffee setelah membubuhi sedikit gula kedalam cangkirnya. Rumie pun tersenyum, kemudian ia kembali melanjutkan penuturannya.
“Kalau aku tidak salah, setahun lebih-kurang aku menjalani hubungan baik dengannya, hingga suatu ketika ia memutuskan untuk mengambil jalan sendiri-sendiri. Aku tahu itu karena salahku, dan aku tak ragu mengakuinya. Namun hingga kini aku belum menemukan kata yang mampu membuatnya memaafkan kesalahan yang telah aku perbuat”.
Rhaka memotong penuturan Rumie dengan pertanyaan seadanya.
“Kalau boleh aku tahu, apa yang telah kau lakukan hingga ia belum bisa memaafkanmu?. Mungkin aku bisa membantumu mencarikan kata maaf buatnya”.
Sebenarnya hati kecil Rhaka sudah dapat menebak kemana arah pembicaraannya, tapi ia berusaha menahan diri untuk mendahului. Logikanya telah memberi cukup jawaban, sehingga ia telah bersiap menghadapi apapun yang terjadi kemudian.
“Keselahanku karena aku tak jujur padanya. Aku tak bicara terus terang jika aku masih menjalin hubungan dengan wanita lain ketika aku menjalin hubungan dengannya, hingga akhirnya ia mengetahui itu dari orang lain dan ia membuktikannya sendiri. Tak lama kemudian pacarku yang dulu pun memutuskanku”. Papar Rumie menyiratkan penyesalan di raut wajahnya. Rhaka merasakan sesuatu menggelitik tenggorokannya, hingga sebagian coffee dimulutnya tersembur keluar. Rhaka mengambil tissue dimeja untuk menyeka coffee di seputar bibirnya. Rumie meraih jus dan meneguknya tanpa sedotan, lalu kembali melanjutkan kisahnya.
“Aku mulai berpikir dan terus berpikir, hingga aku putuskan untuk berbaikan dengan salahsatu dari mereka. Dan wanita itu dulu pernah beberapa kali aku ajak kesini untuk sekedar menikmati waktu kebersamaan sambil bertukar cerita dan pengalaman. Jika datang ketempat ini ia selalu memilih meja yang sekarang aku tempati. Aku tak tahu alasannya kenapa, dan itu tak pernah aku tanyakan padanya. Lalu kemudian ia memesan jus alpukat dengan sedikit susu coklat kesukaannya”.              
Sejenak Rhaka terdiam memandangi cangkir coffee, hatinya berucap bahwa wanita yang disebut Rumie memiliki selera yang sama seperti wanita yang dikenalnya. Namun ia masih tetap bertahan untuk tak bicara. Dengan sabar ia menunggu penuturan Rumie selanjutnya.
“Aku mencintainya lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Karena itu aku tak ingin kehilangannya, dan aku tak rela bila ia terluka. Namun belakangan aku tahu dari temanku, jika kini telah ada seseorang mengisi hari-harinya. Untuk itu aku berusaha mencari tahu kebenarannya. Dan suatu hari aku sempat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, ia jalan berdua dengan seorang lelaki di area perbelanjaan. Mulai dari situ, aku coba mencari tahu siapa lelaki yang bersamanya”. Rumie terdiam sejenak, menatap gumpalan awan sambil menarik nafas panjang.
“Tadi pagi aku melihatnya kembali, dan masih dengan lelaki yang sama seperti yang aku lihat di area perbelanjaan waktu itu. Karena dari rumah aku belum sempat sarapan, maka aku mampir di sebuah rumah makan. Makanannya lumayan bersahabat dengan seleraku, dan suasananya cukup nyaman. Para pengunjung disana bisa menikmati santapanya sambil mendengarkan alunan musik”. Rumie menghentikan penuturannya sesaat untuk meneguk jus yang masih tersisa.
Rhaka menarik kursi kedepan, meraih cangkir coffee dan meneguknya perlahan. Ia mulai tak sabar untuk berkata-kata. Kedua tangannya memegang cangkir coffee, dan sesekali menggeser-geserkannya.
“Apakah kemudian kau berkenalan dengan lelaki itu dan mengajaknya ketempat ini untuk bicara denganmu?”. Tanya Rhaka setenang mungkin.
Rumie menundukkan kepala dengan mata terpejam, lalu mengangkatnya kembali perlahan, kemudian menatap kedepan dengan pandangan jauh menerawang.
“Aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya apabila teman-temannya tahu siapa lelaki yang selalu bersamanya. Dan aku sangat tak ingin jika itu terjadi padanya”. Rumie mulai menyampaikan maksud sebenarnya mengajak Rhaka bicara di tempat itu.
Rhaka menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku mengerti maksudmu kawan. Jia tak ada hal lain yang ingin kau sampaikan, aku masih harus melanjutkan aktifitasku hari ini. Terima kasih atas secangkir coffee-nya”. Ucap Rhaka berpamitan.
        Sepanjang perjalanan Rhaka berusaha untuk tak memikirkan pembicaraannya dengan Rumie. Ia berupaya sekuat mungkin agar dirinya tetap merasa nyaman selama diperjalanan. Ia pikir masih ada hal lain lebih penting untuk di utamakan, daripada memikirkan hal yang akan menghambat laju kehidupannya. Melangkah dan terus melangkah hingga ia sampai di kost-an, untuk kemudian bersiap melanjutkan aktifitasnya di kampus. Selepas menyirami tubuh untuk kesegarannya, Rhaka berganti pakain, lalu memasukkan beberapa buku kedalam tas gendong, kemudian  beranjak pergi dengan langkah pasti menuju arah tujuan.



           

Tidak ada komentar: