Karya : Ipey
Meski tak pandai merangkai kata-kata seindah syair para pujangga kenamaan dibelahan dunia, Rhaka berusaha menuangkan segala yang tersimpan di benak pikirannya. Kata demi kata mulai berderet perlahan menyusun rangkaian makna, tanpa berpikir apakah orang lain akan mengerti atau tidak tentang apa yang digoreskan, andai mereka tak sengaja membacanya. Ia hanya berusaha mencurahkan isi hati dan perasaannya untuk disimpan sendiri, dan kelak menjadi lembar kenangan bahwa ia pernah melewati masa-masa itu. Alasannya sederhana saja, agar ia senantiasa mengingat apa yang telah dialami, sehinnga bisa memetik pelajaran dari setiap kesalahan, kekhilapan dan apapun itu demi kebaikannya semata. Kata-kata pujian, cibiran, caci maki dan sumpah serapah yang ia terima, menjadi irama bagi ujung pena melukiskan peristiwa. Berteman angin malam bertiup perlahan menyapa kesunyian, berkawan bintang-bintang dan rembulan bercahaya merona, ia mengulas langkah-lagkahnya menapaki bumi tanpa bicara. Dan di akhir kalimat penutup berhurup kapital dan tercetak tebal penanya, terangkaikan sederet kata dengan tanda kutip diawal dan akhirnya,
“DAN AKUPUN SADAR DIRI, KARENA AKU BUKAN APA-APA DAN BUKAN SIAPA-SIAPA”.
Seperti halnya pagi mendambakan mentari, dan lautan luas mencoba ikhlas menjadikan pantai sebagai batas kerinduannya, Rhaka pun berharap dapat merengkuh keinginannya, meski kerinduan terusik batas penghalang bagi ketulusannya. Namun menyadari sepenuhnya ketika kenyataan memaksa ia untuk kembali merenungkan tegur yang menyapa ingatan, meskipun kejujuran tak dapat memungkiri bahwa hatinya masih terpaut erat pada seseorang yang menghiasi mimpinya tadi malam. Ingin rasanya ia bersikap bijak dan toleran terhadap kegamangan menghadapi suasana hati yang terbagi antara berdiam diri atau pergi. Dan akhirnya naluri menuntunnya untuk mencoba berpihak di dua sisi. Rhaka memutuskan berkemas pergi, namun akan berdiam diri menyikapi kerinduannya kini. Kaki pun mengayunkan langkah ditepian jalan, hingga kemudian menyeberang ke arah tujuan.
Senyum sapa dan sikap hormat ia tunjukan ketika berpapasan jalan dengan setiap mereka yang dikenalinya, hingga ia menghentikan langkah didepan kantin untuk kemudian mengambil tempat di bangku panjang. Menarik nafas sejenak, dan melepas pandangan mata ke arah pintu gerbang. Tak berharap menemukan apapun diujung tatapannya, karena ia datang hanya untuk memenuhi kewajibannya mengikuti perkuliahan. Mata kuliah yang akan diikuti masih memberikan waktu baginya memesan segelas kopi sebagai teman menantikan saat tiba.
“Seperti biasa, kopi hitam dengan sedikit gula”. Pintanya pada penunggu kantin.
Rupanya selera seduhan kopi ini memberi arti tersendiri. Rhaka ingin setiap tegukan mengingatkannya pada bagaimana ia merasakan pahit getir perjalanan hidup ketika ia menikmati aroma dan rasanya. Bersikap rendah hati ketika bahagia datang menghampiri, serta tetap mawas diri manakala keangkuhan menyentuh ketersinggungannya.
Diana menghiasi bibir dengan senyum hangat disela-sela obrolan sambil tetap berjalan. Perlahan semakin mendekat ke arah dimana Rhaka berada tanpa ia menyadarinya. Tegukan terakhir pun menyisakan ampas kopi mengendap di gelasnya. Niat Rhaka untuk beranjak pergi tertahan seseorang yang berdiri tepat dihadapannya tanpa kata. Rhaka pun diam mematung, bukan karena terpesona paras cantiknya. Tapi ia bimbang untuk bertutur kata, hingga hanya senyum saja yang mampu ia persembahkan. Rasa rindunya ia sembunyikan diantara helaan nafas dan irama detak jantung yang menggoda pikirannya. Diana masih bertahan ditempatnya tanpa mengalihkan pandangan. Matanya mencari sesuatu di raut wajah dan sikap Rhaka yang tak seperti biasanya.
“Kamu lagi sariawan ya, kok diam saja?. Mukamu juga agak pucat. Kenapa Ka. Kamu sakit?”. Tanya Diana mencari tahu.
Rhaka menggelengkan kepala perlahan, lalu menoleh ke samping, kemudian menatap lantai yang dipijaknya.
“Mungkin semalam aku kurang tidur Na”. Jawab Rhaka singkat.
Diana merasakan ada kehampaan di nada bicaranya, tapi ia tak tahu mengapa. Diana tak ingin mengeruhkan pikiran dengan praduga tak beralasan. Ditepisnya semua prasangka yang hinggap dibenaknya saat itu.
“Maaf aku tak mengabarimu sepulang dari luar kota. Kemarin aku diantar keluargaku Ka. Kebetulan mereka ada keperluan menghadiri undangan”. Ucap Diana menyampaikan apa adanya.
“Nggak apa-apa Na. Kamu tak harus selalu memberitahuku apa yang kamu lakukan, toh aku tak pernah meminta itu darimu”. Sahut Rhaka menimpali dengan menyelipkan senyum disela-sela penuturannya.
Diana membalas senyuman, meski tampak sedikit dipaksakan. Hatinya kembali bertanya-tanya, mengapa Rhaka bersikap tak seperti biasanya.
“Oh iya Ka, jika ada waktu sepulang kuliah, aku tunggu kamu disini ya?!. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Hari ini hanya satu mata kuliah yang aku ikuti, jadi aku punya cukup waktu. Bagaimana Ka?”. Lanjut Diana berharap Rhaka bisa memenuhi permintaannya.
Sejenak Rhaka terdiam, berpikir menimbang untuk kesanggupannya. Dan Diana pun akhirnya mendapatkan anggukan kepala dari Rhaka meski tanpa kata. Tapi itu cukup baginya sebagai jawaban. Setelah itu ia pamit pergi menuju kelas karena jadwal perkuliahan sebentar lagi akan tiba. Begitupun halnya dengan Rhaka, ia bergegas menuju kelasnya.
Ruang sekretariat tampak sepi ketika Rhaka mendatanginya selepas mengikuti perkuliahan hari itu. Hanya ada Roni dan Siska dikursi panjang tengah santai berbincag. Sementara beberapa teman lainnya hilir mudik keluar masuk ruangan untuk menyimpan tas atau sekedar menanyakan sesuatu. Di dinding ruangan menempel white board dengan sederet agenda tersusun rapi disana. Beberapa hari kedepan ruangan ini tampaknya akan sepi, karena rekan-rekannya sedang melaksanakan study tour ke luar kota. Dan seperti biasa Rhaka hanya bisa menatap agenda tanpa kata-kata. Rhaka menoleh ke arah pintu ketika seseorang tiba-tiba datang menghampiri.
“Disini kau rupanya”. Ucap Arok sambil berjalan, lalu ia mengambil tempat tak jauh dari Rhaka bersandar di dinding kursi.
“Aku sempat mencarimu di taman dan tempat parkiran. Aku pikir tadi kau yang berdiri diparkiran dekat pintu gerbang belakang. Sebabya aku mengenali sarung gitar yang dibawanya tadi”. Lanjut Arok kemudian.
Rhaka menggeser duduknya kedepan dengan ekspresi wajah berhias tanya.
“Kamu bilang tadi sarung gitar?”. Tanya Rhaka berharap jawaban.
“Iya sarung gitar, mirip banget dengan sarung gitar punyamu!. Aku lihat ada Diana juga disana. Makanya aku pikir tadi itu kamu. Kenapa Ka, ada yang salah dengan ucapanku?”. Arok menegaskan apa yang tadi dilihatnya, dan benaknya pun bertanya atas perubahan diraut wajah sahabatnya. Rhaka mendongakkan kepala dengan mata terpejam sambil menarik nafas dalam. Hatinya berkata-kata mengingat sesuatu saat bertemu Rumie. Ia lupa hingga tak sempat membawa gitarnya kembali ketika itu.
“Apa maksudnya ia datang kesini. Jika memang ia ingin berbaik hati mengantarkan barang milikku, toh ia bisa mencari cara lain”. Gumam Rhaka dalam hati.
Diana tak menghentikan langkah ketika melewati salahsatu sekretariat yang berjejer memanjang. Ia hanya menoleh sekejap saja ke dalam ruangan, karena yang dia cari tidak berada disana. Sementara itu Rhaka tengah terdiam mematung, dengan menyenderkan tubuh ke dinding kursi panjang di depan kantin, hingga Diana tiba dan kemudian duduk tak jauh di sampingnya dengan memegang barang yang tak lain adalah miliknya. Rhaka tak mampu berucap sepatah katapun. Bagaimana tidak?, ia tak tahu harus mengatakan apa atau bertanya apa, saat ia menyaksikan barang miliknya kini berada di genggaman Diana. Dan barang miliknya itu tak begitu saja secara tiba-tiba berada digenggaman tangannya. Ia pikir pasti ada maksud dibalik semua ini, dan ia yakin betul akan hal itu. Diam membisu tanpa kata, dengan wajah tertunduk menatap kedua kaki yang diayun-ayunkannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
“Beri aku alasan bagaimana gitarmu bisa ada padanya Ka?. Tanya Diana memecah kebisuan.
“Apa dia tak memberi tahumu mengapa gitar ini ada padanya?”. Rhaka balik bertanya tanpa menoleh kearah Diana. Ia khawatir tak sanggup menyembunyikan persaaannya.
Perlahan Diana memegang pergelangan tangan Rhaka dengan penuh kelembutan.
“Aku lebih percaya jika kamu yang mengatakannya Ka”. Diana bersikeras meminta Rhaka memberi tahu alasan tentang apa yang dimaksudkannya.
“Aku percaya dia telah berkata jujur menyampaikan yang sebenarnya Na. Jadi aku pikir, tak perlu lagi aku menjelaskannya”. Rhaka tetap pada pendiriannya saat itu.
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain saja Ka. Aku mohon padamu”. Harap Diana meminta Rhaka memberi kesempatan waktu untuk mereka bicara.
Sepanjang perjalanan, tak satu katapun terucap dari mereka. Diana mulai tak enak perasaan ketika tiba dipersimpangan Rhaka mengambil arah menuju cafe di sudut jalan. Namun ia berusaha sebisa mungkin tetap bersikap wajar. Setibanya di cafe Rhaka mendahului memilih tempat dimana waktu itu ia berbincang panjang dengan seseorang yang menitipkan gitarnya pada Diana. Perubahan riak muka di wajah Diana tak bisa ditutupinya lagi. Rhaka terpaksa harus berpura-pura tak melihat itu, demi menjaga suasana hati mereka masing-masing. Rhaka memulai pembicaraan ketika pramusaji meletakkan pesanan mereka dimeja.
“Disini Na, ditempat ini aku lupa membawa gitarku, ketika selesai bicara dengannya. Maksudku selesai bicara dengan Rumie waktu itu, setelah sebelumnya ia bicara panjang lebar dan memaksa aku untuk pergi. hmmm, maksudku, aku pergi setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku pergi setelah aku tahu maksud dia mengajakku ke tempat ini”. Papar Rhaka menuturkan maksudnya.
“Lalu apa maksud dia mengajakmu bicara di tempat ini?. Apa saja yang dia bicarakan denganmu?”. Diana benar-benar penasaran dan ingin tahu.
Rhaka tak segera menjawab. Ia mengeluarkan gitar dari sarungnya, untuk memastikan barang miliknya dalam kondisi baik-baik saja.
“Syukurlah gitar ini masih bisa aku pergunakan kembali untuk meng....”. Penuturannya terpotong ditengah kalimat, ketika Diana memegangi pergelangan tangan.
“Ka.....!. Aku kesini bukan untuk membahas soal itu”. Ucap Diana meminta Rhaka tak melanjutkan penuturannya.
“Senarnya putus satu Na!. Menurutmu senar ini tak senganja putus, atau memang seseorang sengaja mengharapkan senar ini terputus?”. Rhaka coba melempar tanya tentang gitarnya.
Diana tak menjawab. Setelah menarik nafas panjang, ia meminta Rhaka memberikan gitar itu padanya.
“Aku ingin kamu mengajariku bagaimana cara memainkan gitar ini, sampai aku bisa mengiringi setiap lagu yang ingin kita nyanyikan. Kamu mau kan mengajari aku cara memainkannya?”. Pinta Diana kemudian.
Rhaka menatap pemilik mata lentik dihadapannya dengan senyuman. Ia tak tahu apa yang bersarang dipikiran Diana saat itu.
“Mengapa aku harus mengajarimu?”. Tanya Rhaka dengan tatapan menyelidik.
Diana meletakkan dua sikutnya dimeja, dengan kedua telapak tangan menyangga dagunya.
“Seperti kataku tadi, agar aku bisa mengiringi setiap lagu yang ingin kita nyanyikan. Aku juga mau menemanimu memainkan gitar ini, dimanapun kamu ingin memainkannya. Jika itu dapat meyakinkanmu, bahwa aku tidak terusik dengan apa yang dikatakan Rumie padaku”. Diana memberi penegasan akan maksudnya.
“Tapi seseorang tak berharap aku mengajarimu cara memainkan gitar itu Na. Mungkin karena itu mengapa dia sengaja memutuskan tali senarnya”. Ucap Rhaka merespon penuturan Diana.
“Aku akan melengkapi kembali senar gitarmu, agar kamu bisa cepat mengajarkanku. Bagaimana Ka?”. Diana kembali meyakinkan Rhaka akan kesungguhannya.
Rhaka hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar