Karya : Ipey
Hampir semalaman ia tak henti merenungkan apa yang telah dilakukannya beberapa waktu kebelakang. Dibuka kembali helai demi helai buku catatan yang tersimpan rapi dibawah tumpukan pakaian, tanpa melewatkan satu katapun disetiap halamannya. Dua gelas seduhan kopi sudah ia habiskan untuk menghindari rasa kantuk yang bisa saja tiba-tiba datang. Setelah menyimpan buku catatan ketempat semula, Rhaka merebahkan diri ditempat tidur sambil memainkan senar-senar gitar. Dipetiknya perlahan agar tak mengganggu waktu istirahat penghuni kost lainnya. Nyanyian binatang malam tak bosan-bosan menemani kesendirian melewati detik-detik berjalan tanpa bisa dihentikan. Getar dawai gitar ia hentikan ketika terdengar langkah berjalan. Tak lama berselang bunyi nyaring bergema ditelinga ketika seseorang memukul benda keras diluar sana, memberitahukan bahwa mereka sedang menjalankan tugas malam di lingkungannya. Rhaka memadamkan cahaya terang yang menempel di langit-langit kamar, lalu menekan saklar guna memberi suasana redup disekitar ia merebahkan diri. Sebelum terlelap ia berharap hari esok memberinya kehidupan lebih baik dari hari kemarin.
Siraman air dingin disekujur tubuhnya memberi kesegaran, dan memacu semangat untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Tanpa sarapan pagi dan segelas kopi, Rhaka bergegas pergi. Ia tak ingin melewatkan pertemuan kali ini dengan kawan dan sahabat, yang mungkin saat ini mereka pun sedang menuju ketempat tujuan. Kendaraan umum yang ditumpangi melaju tak seperti keinginannya. Berjalan perlahan dan berhenti disetiap persimpangan karena jok penumpang belum terisi sesuai kapasitas muatannya. Rhaka hanya berharap bisa sampai ditujuan sebelum diskusi terbuka dimulai. Ia meminta pengemudi menghentikan laju roda kendaraan setelah melewati tikungan jalan utama sebelum lampu merah diujung sana. Jalan sempit satu arah yang dilaluinya saat itu mulai ramai dengan laju kendaraan roda dua serta para pejalan kaki, juga kendaraan roda empat yang sesekali melaju berlawanan arah dengan arah tujuannya. Ia membalas lambaian tangan seseorang ketika tiba di depan pintu pagar yang terbuka, kemudian menghampiri dan menyalaminya. Rhaka berjalan menghampiri Yori yang tengah menikmati segelas kopi di taman. Rupanya ia lebih dulu sampai, karena memang letak rumahnya tak begitu jauh dari sana. Tak lama berselang asisten rumah tangga mendekati mereka dengan membawa baki, kemudian meletakkan bawaannya di meja.
“Terima kasih”. Sahut Rhaka pada asisten rumah tangga keluarga Yanuar sebelum ia berlalu dari hadapan mereka.
Hanya dalam hitungan menit saja beberapa kawan mereka satu persatu mulai berdatangan dan langsung bergabung ditaman. Obrolan pembuka pertemuan mereka berlangsung hangat, sehangat mentari pagi yang memanjakan pepohonan rindang disekitar taman. Tak ada pembawa acara maupun pemimpin do’a, karena memang bukan kegiatan formal. Pertemuan ini hanya sekedar obrolan santai, untuk sekedar saling bertukar pikiran. Tanpa tema utama sebagai pembatas pembahasan ataupun mederator sebagai pengawas jalannya diskusi. Semuanya dibiarkan mengalir begitu saja, hingga diakhir pembicaraan mereka memiliki kesimpulan menurut persepsi dan perspektifnya masing-masing.
Berdasar pada rasa kepenasarannya atas pemikiran Rhaka yang disampaikan pada obrolan santai bersama kawan-kawan, Yori memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ditempat lain. Setelah bersepakat mereka bergegas pergi menuju tempat dimana Rhaka tinggal.
Yori membuka nasi bungkus yang tadi dibelinya diperjalanan, sementara Rhaka membuatkan seduhan teh untuk mereka berdua.
“Dapat ide dan inspirasi dari mana Ka. Pemikiranmu terdengar cukup ekstrim dan radikal menurutku. Memang dikelas kamu diajarkan atau dikenalkan begitu banyak persoalan tentang hukum. Aku saja yang kuliah di jurusan hukum tak terpikir tentang itu”. Yori mengungkapkan kepenasarannya. Rhaka menanggapinya dengan tenang dan santai tanpa terburu-buru menyampaikan penuturannya.
“Suatu ketika aku tak sengaja nonton film Dark Justice yang ditayangkan oleh salahsatu televisi swasta. Hingga aku tertarik untuk terus mengikuti kisah-kisah selanjutnya setiap kali film itu ditayangkan. Aku merasa ada suatu hal yang tak jauh berbeda kondisinya dengan keadaan di sekitar kita, dimana rasa ketidakadilan akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, atau.... tepatnya menjalankan keadilan itu menurut caranya sendiri”. Papar Rhaka memberikan penjelasan mengenai kronologi timbulnya pemikiran yang membuat Yori penasaran dibuatnya.
“Aku tahu film itu, dan hampir tak pernah melewatkannya setiap kali ditayangkan. Tapi apa yang kamu bicarakan tadi tak seperti apa yang dikisahkan film itu Ka”. Ucap Yori dengan raut muka masih diliputi kepenasaran.
“Aku tak tahu, apalagi mengerti soal hukum, jadi aku sama sekali tak tahu jika pemikiranku kamu bilang ekstrim atau radikal. Aku hanya berusaha menyampaikan apa yang ada dibenakku saat itu, dan itu bergulir begitu saja”. Lanjut Rhaka menyampaikan apa adanya.
“Aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana pergulatan yang terjadi seandainya saja mereka-mereka digedung sana membahas soal ini. Apa yang kamu sampaikan diluar sistem hukum kita Ka”. Tutur Yori menegaskan.
Pemaparan Rhaka mengenai praktek hukum dipengadilan dengan penerapan cara pengambilan keputusan terhadap vonis hakim sungguh diluar kebiasaan. Dewan Juri yang dituturkan Rhaka, sebagai tim yang bersumber dari berbagai kalangan ahli, mulai dari para pemangku adat, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, ahli ekonomi, para pakar hukum, Perwakilan TNI dan POLRI serta para ahli lainnya, membuat Yori berkesimpulan hal itu merupakan pemikiran ekstrim baginya. Tapi tak begitu halnya dengan Rhaka. Ia menganggap itu hanya sebuah pemikiran biasa saja, dan bukan juga suatu hal baru. Diluar sana praktek hukum dipengadilan seperti itu dilakukan, meski mungkin ada sedikit perbedaan di komposisi Dewan Juri yang diisitilahkannya. Mungkin Yori berpikir lebih jauh mengenai sistem hukum dinegara ini, sehingga perjalanan untuk menuju kesana memerlukan proses yang begitu panjang.
“Itu kan hanya pemikiran sontoloyoku saja Yor, dan aku tak mengatakan itu sebuah keinginan. Jadi aku pikir tak perlu kemudian kita membahas lebih jauh. Cukup sebatas obrolan kita-kita saja. Yaa.. anggaplah pemikiranku sebagai dongeng sebelum tidur, yang ketika terbangun kita sudah melupakannya”. Papar Rhaka kemudian, meminta Yori untuk tak membahasnya lebih lanjut.
Perbincangan mereka terhenti sejenak, ketika seseorang memanggil Rhaka dengan nada candanya. Rhaka membuka pintu perlahan, dan ia dapat melihat jelas dua orang wanita diluar sana.
“hai.. dari mana mau kemana?”. Tanya Rhaka pada mereka.
Diana dan temannya bersamaan melempar senyuman ke arahnya.
“Ini tuan putri kangen ketemu sama pangerannya”. Ratna menyahut dengan candaannya. Diana mencubit temannya hingga ia meringis dibuatnya.
“Dari tempat Ratna, terus mau kekampus Ka. Aku ada kuliah hari ini”. Diana menjawab apa adanya.
“Jika tak keberatan, selepas kuliah nanti aku tunggu kamu di kampus ya. Aku takut pulang malam sendirian”. Lanjut Diana kemudian.
Rhaka mengangguk untuk kesanggupannya.
“Baik Na, sampai ketemu nanti disana”. Ucap Rhaka menegaskan.
Diana melambaikan tangan, sebelum mereka bergegas pergi. Rhaka pun membalas dengan lambaian tangan dan senyuman serta sepenggal kalimat untuk mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar