Perhelatan Di Tanah Kelahiran

Penulis
: BoipKetika
ruang hampa terbuka tiba-tiba, menyeret kesadaran bertengger diantara dua sisi
keadaan alam pikiran, fase dimana manusia tak kan mampu berkelit atas
perbuatannya. Suatu kondisi dimana yang ada hanyalah rangkuman pengakuan
kejujuran yang bahkan mungkin lebih jujur dari kejujuran itu sendiri. Suatu
langkah perjalanan menembus ruang dan waktu, seakan terjebak dalam keghaiban
yang tak dapat dihindari walau hanya sekejap saja.Satu
persatu nada mengalun syahdu dari dalam jiwa. Getar seruling mengalun menyayat
kalbu, melantunkan gejolak perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata
seindah syair para pujangga kenamaan dibelahan dunia. Berharap alam pikiran
setiap penikmat getaran nada terlintas secara ikhlas mencerna maksud dan pesan
yang tersirat didalamnya. Terdengar begitu menyayat kalbu, mencari kesejatian
diri yang terombang-ambing, bahkan mungkin seakan tenggelam dan terpisah dari
raga, karena larut dalam kekosongan diri seakan berharap terisi oleh jiwa
Ilahi.Apakah
sang peniup seruling sedang mencari jiwanya yang hilang, ataukah mencoba
merepresentasikan seruling (terompet) mitologis sebagai simbol membangkitkan
sesuatu yang terkubur mati karena buah terpisah dari pohon yang telah
menjadikannya santapan jiwa-jiwa yang lapar dan kehausan. Atau bahkan mungkin
mencari sesuatu yang tak pernah dijumpai sebelumnya, merindukan bentuk lain
sebagai jawaban dari kegundahan, atau hanya sekedar meniup seruling tanpa
maksud apapun.Namun
bunyi seruling telah mengetuk pintu hati, memanggil jiwa yang hampa, meggerakkan
kaki-kaki, membasuh tubuh menepis debu kehidupan duniawi.Bait
demi bait kalam Ilahi mengalir syahdu menembus keghaiban yang paling dalam,
lirih mengiris sembilu, suaranya parau seperti tengah menangisi kepedihan hidup
yang senantiasa mendera.Tumpah
ruah pengaduan, seakan tak ada tempat bersandar sekedar merebahkan kepahitan
yang dirasakan, berharap keheningan mendengar ungkapan kata hati yang
tertancap, terbelenggu dan terbenam didasar samudera, karena keheningan telah
mengundang berbagai pertanyaan.
Dalam
tempat yang terpisah, dalam waktu yang bersamaan, namun dalam kehampaan yang
berbeda rasa, menumpahkan berbagai gejolak kegelisahan yang senantiasa
menggeliat dan menguliti perasaan, mencari jawaban kerinduan yang selama ini
menghilang terhempas nafsu dunia.Tetes
air mata kini semakin bermakna, mengalirkan pinta tanpa setitik dengki
menyelimuti hati dan sanubari terdalam. Seoalah ingin berkata, "biarkanlah
alunan seruling senantiasa terpisah dari lantunan kalam Ilahi, agar kerinduan
tetap menjadi kerinduan berbalut keikhlasan, tanpa meninggalkan prahara
disetiap ujung jalan yang terlewati ketika senja temaram menyambut datangnya
malam diiringi suara adzan. Cukup hembusan angin dan gemericik air hujan saja
mengiringi lantunan kalam-kalam ilahi, karena desahan angin serta gemericik
hujan lebih jujur dalam memahami ungkapan perasaan tanpa perdebatan yang
menimbulkan arogansi serta kebencian. Jangan persembahkan lantunan kesedihan
pada jiwa-jiwa taqwa yang tengah terluka, karena akan semakin menambah
kelukaannya".Memahami
keghaiban tak semudah memahami hewan ternak yang mencari makanan dikebun-kebun
serta padang ilalang, dan memaknai kegaiban tak sesederhana memaknai tunas
pohon yang tumbuh dipelataran rumah sang begawan.Jalan
mana yang kau pilih untuk menemukan dan memahami apa yang sesungguhnya dicari
demi menyatu dengan kesejatian Ilahi?. Sementara keberadaan Tuhan disetiap
kehidupan diperdebatkan sehingga sabda para nabipun dipergunjingkan, cermin
diri dimana jiwa tak mengenali diri sendiri.Pencarian
sesuatu yang hilang dalam kegaiban dengan metode ritual yang diagungkan membuat
penghambaan terhadap sang maha pencipta ternodai kecurigaan bahkan mungkin
kebencian sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan karena ketidakmengertian dan
pemahaman diluar jangkauan. Meski diri berkata demi keagungan sanghyang widi,
namun terkadang lupa bahwa kesedihan dan kesenangan adalah bagian dari anugerah
sang maha pencipta jagat raya, yang seharusnya dimaknai dan ditafakuri dengan
seksama tanpa harus menuai prahara diantara sesama kita. Pemakluman
terhadap kekhilafan yang melukai keyakinan tak akan semudah membalikkan telapak
tangan. Tak sesederhana yang dimudahkan, tak sebijak yang dipaksakan, bahkan
jika semesta raya menjatuhkan hukuman, kita hanya bisa berharap agar Tuhan
membuka gerbang maaf untuk mengampuni segala kenistaan diri yang telah
dilakukan. Dengan cara kita sendiri, namun tanpa perdebatan yang
berkepanjangan.Ketika
kita menerka-nerka arah tujuan, ketulusan apa yang bersemayam dalam benak
hingga berbagai pertanyaan bertebaran dialam pikiran, sebagian lagi
melayang-layang seakan tak menentu arah kebenaran mana yang akan dituju dari
tujuan itu. Karena kita bukanlah Dia sang maha segalanya.Berabad-abad
silam semesta telah merelakan diri menjadi santapan kehidupan, meski sebagian
kita tak pernah mau belajar dari apa yang telah diikhlaskannya. Raga ini rentan
dengan keangkuhan manusiawi yang tak tahu diri, seakan keangkuhan Tuhan dapat
begitu saja dilangkahi. Berjuta-juta tahun alam semesta bertasbih memuji
sanghyang widi dengan caranya yang telah difirmankan Ilahi, sementara kita
bagian darinya masih berupaya membodohi diri sendiri dengan menistakan diri
tanpa henti. Entah apa kita sadari, ataukah berusaha menutupi.Sanggupkah
kita berlaku seikhlas kelopak bunga yang rela setiap saat dihisap kumbang demi
kelangsungan hidupnya?. Mampukah kita bercermin dari kemurnian kapas putih yang
menanti menghiasi wajah ketika ajal manusia tiba.?. Selama berjuta-juta tahun
akar pohon rela menelan sari bumi, dan buah pohon tulus ikhlas memberi selama
hidupnya di setiap musim pada mereka yang mereguknya, sementara itu sadarkah
bahwa kita manusia berada dikeduanya?.Tuhan
telah menawarkan kepada gunung-gunung, hewan-hewan dan lautan untuk menjadi
khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini, dan hanya manusia yang berani mengambil
resiko menerima tahta Ilahi di dunia ini. Kini
hutan rimba menjerit lirih menyaksikan manusia telah merampas keindahannya,
gunung-gunung murka atas keserakahan duniawinya, bahkan lautanpun memanjatkan
do’a hingga menggema ke penjuru dunia, dibawa angin musim yang bergulung,
diiringi gelombang menggumpal badai, hingga Tuhan menegur kita. Dimensi ruang
dan waktu mengajak satu sisi dari bagian kita menerawang jauh, menjelajahi apa
saja yang terlintas dalam alam pikir, melakukan pengembaraan menelusuri
sela-sela jalan yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Namun untuk sejenak mari
bertanya siapa diri kita, dari mana kita bermula, bagaimana proses kita ada dan
untuk alasan apa dicipta, kemudian kepada siapa kita akan kembali. Mencari dan
terus mencari hingga batas pencarian berakhir, dari mana sumber keberadaan
segala makhluk, dari mana segala sumber datangnya pemikiran dan dari mana
segala sumber misteri kehidupan.Proses
penciptaan kehidupan dengan berbagai kegaiban hingga kini masih menuai berbagai
kontroversi. Pembuktian secara ilmiah serta penjelasan secara imanen merupakan
langkah kedepan merevolusi keyakinan terhadap zat yang maha sempurna yang kita
kenal sebagai Tuhan, sanghyang widi Ilahi, Allah Rabbul a’lamiin.Secara
imanen dari sang maha kuasa segalanya bersumber dan kepada-Nya pula semua akan
kembali. Kerelaan mengikhlaskan menerima begitu saja pemahaman tentang
keberadaan Tuhan dalam kehidupan diyakini sebagian kita sanggup menepis
kegelisahan hidup yang dijalani, meski sebagian lainnya memilih jalan
tersendiri untuk pembuktiannya. Intervensi Tuhan terhadap aktivitas kehidupan
bahkan kematian memerlukan pemahaman luas tentang ketauhidan, sehingga tidak
terjebak dalam penafsiran yang akan menyesatkan jalan.Kekuasaan
dan keterpurukan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dari
kehidupan, tinggal bagaimana memahami dan meyakininya. Adalah ujian hidup bagi
mereka yang tengah menjalani keterpurukan. Namun demikian, bukankah kekuasaan
pun merupakan bagian ujian dari-Nya?. Kemudian berada dimanakah kini kita
berada. Dilingkaran kekuasaan ataukah dibelenggu keterpurukan?. Lalu kemudian
akankah kita senantiasa terlena menyesatkan hati di lingkaran kekuasaan atau
menyiksa diri dalam belenggu keterpurukan?. Bisakah keterpurukan secara ikhlas
menerima seperti akar pohon yang tulus ikhlas menerima sari bumi sebagai
santapannya, dan kekuasaan dengan rendah hati serta tawadu seperti buah pohon
di setiap musim memberi pada siapa saja yang ingin mereguknya?. Sungguh tak
mudah menyibak misteri kegaiban-Nya. Alam semesta telah begitu banyak memberi
pelajaran kepada manusia yang katanya makhluk paling mulia didunia.
Kegaiban
hidup sepertinya tak akan pernah henti dipertanyakan, dicari bahkan dibuktikan.
Meski tak mudah meyakininya, namun selayaknya sisi baik sifat manusiawi
menyadari, kemudian berupaya memahami adanya. Adapun tujuan sekejap terkadang
mengaburkan pandangan terhadap perjalanan akhirat bagi sebagian kaum Adam
maupun kaum Hawa. Namun demikian menafsirkan kegaiban Tuhan semesta alam hanya
dengan cara bijaklah kita mendalami serta mengagungkan-Nya. Semoga keterbatasan
keilmuan tentang-Nya mampu disikapi dengan bijak ketika toleransi diri
terproteksi ruhani yang tersirami kalam Ilahi yang terpatri, sehingga menjadi
jati diri yang tak dapat ditawar-tawar lagi.Dan
untuk tanah kelahiran, jangan biarkan air yang mengalir jernih dari sumbernya
terkhianati ketidaktahuan, sehingga membelenggu keberanian untuk menjaga
kesucian serta mempertahankan kemurnian pengabdian kepada sanghyang widi Ilahi.
Jangan pula kebaikan yang telah kalian tanamkan di jalanan, di pasar-pasar,
diterminal-terminal, diantara terik matahari, di warung-warung kopi dan
dikeheningan malam, terbiarkan direnggut paksa hingga hilang dalam sekejap tanpa
perlawanan membela diri.Kepada
kalian yang kemarin sore masih bermain kasti dijalan setapak, jangan biarkan
tongkat pemukulmu tergeletak sia-sia, karena esok pagi masih harus menghalau
ketidakpastian masa depan, dan kepada kalian yang kemarin malam masih bermain
ular tangga sepulang mengaji, jangan biarkan kotak dadu jatuh kedalam sumur
karena terlempar kesewenang-wenangan. Kepada kalian yang kemarin siang masih
berenang di aliran sungai membentang, jangan biarkan ketamakan mencemari
kejernihannya. Dan kepada kalian yang kini masih diam terpaku, jangan terlena
dalam kebisuanmu, karena air mataku tak sanggup menahan kesedihan dan kepedihan
penantianmu, meski kalian bukanlah aku.
Download file
Tidak ada komentar:
Posting Komentar