Selasa, 15 Maret 2016

Cinta Ini Masih Ada (bagian 2)



Karya : Ipey

Udara dingin menyelimuti para pejalan kaki yang hilir mudik di sepanjang jalan Cihampelas pagi itu. Lembayung bergegas menenteng kantong plastik berisi roti bakar yang ia beli di perempatan jalan di seberang supermarket menuju tempat kostnya. Beberapa pasang mata memperhatikan gerak langkahnya yang ringan berbalut kesejukan. Raut wajahnya menyiratkan kegembiraan menyambut pagi, meski hujan belum juga berhenti menyirami kota kembang yang menjanjikan harapan bagi siapapun yang mendatanginya.
Tak butuh waktu lama bagi Lembayung untuk sampai di rumah dan menyantap makanan kesukaannya, yang hampir setiap pagi ia konsumsi sebelum pergi ke kampus. Setelah menghabiskan susu yang tersisa dalam gelas, Lembayung merapikan kamar dan mempersiapkan kebutuhan untuk perkuliahan. Beberapa saat ia pandangi dirinya di cermin yang menggantung di dinding kamar dan merapikan pakaian yang di kenakannya. Ia memilih t-shirt putih berlogo sebuah universitas milik  negeri paman sam dibagian depan, dipadukan dengan celana jeans dan ikat pinggang berwarna hitam. Balutan sepatu cat putih di kedua kaki menambah keceriaan yang terpancar. Tas coklat tua yang ia gunakan untuk menyimpan alat tulis, dompet dan beberapa buku panduan ia gantungkan di pundak kanan. Langkah kakipun mengayun setapak demi setapak menuruni tangga kayu yang terletak tepat di depan pintu kamar tidurnya.
Angkutan kota berhenti tepat di depan gerbang kampus yang sudah terlihat ramai oleh aktivitas mahasiswa. Lembayung berjalan menuju Koperasi Mahasiswa, kemudian mengeluarkan buku panduan yang ia pinjam dari perpustakaan kampus untuk mengcopy beberapa halaman yang akan dipergunakan sebagai bahan pembahasan pada perkuliahannya.
Di saat bersamaan Rhaka berjalan dari arah ruang sekretariat KSM yang baru saja ditempati menuju bangku panjang di depan sekretariat. Rhaka duduk santai sambil menikmati segelas kopi yang ia beli di Koperasi Mahasiswa. Matanya menatap air hujan yang berjatuhan memantul ke lantai aula.
Sembari menunggu buku panduan selesai dicopy, Lembayung melihat-lihat beberapa barang yang terpajang di etalase. Ia meminta penjaga koperasi mengambilkan balpoint, tipe-ex, penghapus dan sebuah pensil yang ditunjuknya. Di gerakan balpoint di sehelai kertas yang disodorkan karyawan koperasi untuk memastikan bahwa barang yang dipilihnya dapat berfungsi dengan baik. Karyawan Koperasi menyerahkan hasil copy-an pada Lembayung dan menyebutkan jumlah uang yang harus dibayarkan. Setelah di total semua oleh kasir, Lembayung menyerahkan sejumlah uang yang diminta dan meninggalkan koperasi.
Hampir saja air kopi yang baru saja dimasukkan kemulut Rhaka tertumpahkan keluar, ketika tiba-tiba Yori  menepuk punggung dan menegurnya.  Yori adalah mahasiswa fakultas hukum empat semester di atas Rhaka dan Rendy. Perkawanannya dengan Yori terjalin semenjak Rendy tergabung dalam organisasi KMPA. Meski berbeda fakultas dan berlainan organisasi yang diikuti keduanya, tapi tak menghalangi hubungan perkawanannya. Mungkin karena aktivitas di organisasi, atau memang karena letak sekretariat kedua organisasi internal kampus yang berdampingan, sehingga mengakrabkan hubungan perkawanan mereka. Solidaritas Yori terhadap kawan - kawannya memang sepantasnya mendapatkan acungan jempol. Yori termasuk salah satu mahasiswa yang cukup vocal diantara sekian mahasiswa, yang rajin menyuarakan aspirasi ketika kebijakan pihak rektorat dirasa memberatkan. Begitupun ketika pemerintah mengumumkan seputar kebijakannya yang dirasakan tak memperhatikan kepentingan rakyat kecil, maka ia tak ragu-ragu bergabung dengan aktivis mahasiswa lainnya untuk turun kejalan dan menyampaikan aspirasinya pada pejabat berwenang. Kedekatannya dengan beberapa petinggi di yayasan yang menaungi tempatnya menimba ilmu, membuatnya lebih mudah mendapatkan informasi seputar isu yang berkembang di internal kampus. Yori duduk disamping Rhaka dan kembali membuka obrolannya.  “Kapan datang Ka?”. Tanya Yori sambil mengambil gelas kopi yang diletakkan Rhaka disampingnya dan meneguknya pelan-pelan. Hal seperti ini sudah biasa diantara sesama mereka, dan tak menjadi persoalan. Rhaka tak merasa tersinggung dengan sikapnya, karena ia pun biasa melakukan hal yang sama.
“Semalam aku tak sempat pulang ke kost-an, jadi aku tidur di sekretariat”. Ungkap Rhaka menjelaskan pada Yori. Diraihnya sebatang rorok dari bungkusan yang dikeluarkan Yori dari saku kemejanya dan menyulutnya. Yori menyandarkan bagian tubuh ke bangku panjang yang terbuat dari kayu. Dihisapnya batang rokok dalam-dalam, sebentar kemudian asap menyembur dari mulutnya.
“Mungkin hari ini kami akan menata ruang sekretariat. Barang-barang inventaris yang diberikan pihak Universitas baru akan tiba siang nanti, itupun jika sesuai rencana”. Yori menjelaskan rencana seputar kegiatan yang akan dilakukannya di kampus hari itu.
Setelah mempertimbangkan pengajuan mengenai pengadaan sekretariat di kampus dari beberapa organisasi internal kampus, pihak Universitas akhirnya menyetujui dan memberikan fasilitas yang diminta. Tentu saja hal tersebut disambut gembira oleh para anggota dan pengurus organisasi. Dengan demikian mereka tak harus sering mondar-mandir dari kampus satu ke kampus lainnya untuk melakukan aktivitas organisasinya. Koordinasi dengan semua anggota yang berada di kampus satu dengan kampus lainnyapun dapat dengan mudah dilakukan, tidak seperti jika sekretariat hanya bertumpu di satu kampus saja. Sebelumnya yang memiliki sekretariat di beberapa kampus hanya DKMM (Dewan Keluarga Mesjid Mahasiswa), Koperasi Mahasiswa dan Resimen Mahasiswa. Sementara organisasi lainnya hanya bersekretariat di satu kampus saja.
Rhaka dan Yori masih terlibat perbincangan ketika Lembayung berjalan mendekat ke arah mereka berdua. Mungkin karena asyiknya mengobrol, Rhaka tak menyadari jika Lembayung sudah berada begitu dekat dengannya. Yori yang posisinya menghadap ke arah muka kampus memberi isyarat pada Rhaka akan kedatangan Lembayung. Yori tahu jika kawannya memang sedang naksir Lembayung, wanita yang pernah membuat Rhaka dan juga dirinya terlibat perkelahian dengan genk kampus tempo hari. Rhaka membalikkan badannya ke arah yang dimaksud Yori, dan hatinya terhenyak tiba-tiba. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin menyambut kedatangan wanita yang menjadi inspirasinya.
“Hai, baru sampai. Sendirian aja. Ada kuliah apa hari ini. ?”. Sapa Rhaka menghujani Lembayung dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Yang menjawab Yori temannya. Sembari menepuk tangan Rhaka, ia nyeletuk.
“Satu satu dong. Tega amat loe, orang baru datang sudah diberendel pertanyaan sebanyak itu. Tak ber-pe-ri-ke-ma-nu-sia-an !”. Canda Yori pada temannya.
Lembayung hanya tersenyum mendapati dirinya dijejali pertanyaan. Rhaka menggeserkan tubuhnya memberi tempat dan mempersilahkan Lembayung duduk. Tanpa menunggu lama Lembayung duduk disamping Rhaka, dan Yori tanpa diminta mengerti situasi yang ada dihadapan matanya. Ia pun pamit pergi dengan disertai alasan tentunya. Lembayung menyambung percakapan yang tadi sempat tertunda.
“ya sendirian. Belum ketemu kawan sekelas yang juga mengambil mata kuliah hari ini. Tadi aku mampir dulu ke tempat photo copy, karena buku yang aku pinjam harus dikembalikan hari ini ke perpustakaan. Tapi nanti saja setelah perkuliahan selesai baru akan aku kembalikan, sekalian ada beberapa buku lagi yang akan aku pinjam dari perpustakaan”.
Rhaka manggut-manggut mendengar penjelasan dari Lembayung. Sementara hujan belum juga reda, padahal pagi sudah mulai beranjak pergi. Tapi mereka tak memperdulikan rintik-rintik air yang menetes dari langit. Bagi keduanya obrolan tersebut cukup memberi kehangatan tersendiri.
Hari itu Rhaka berencana memberanikan diri mengajak Lembayung jalan ke mall yang tak jauh dari kampus untuk melihat Bazar buku yang diselenggarakan oleh pemilik toko buku terkenal di kota kembang. Dalam hati ia memohon agar Lembayung bersedia menerima ajakannya untuk pergi mengunjungi bazar buku yang ia maksudkan.
“Jika tak ada kegiatan lain, aku ingin mengajakmu melihat bazar buku di mall. Itupun  andai tak ada yang keberatan aku mengajakmu”. Rhaka berharap cemas menunggu jawaban. Tapi ia telah siap menerima jawaban terburuk sekalipun. Selama ini Rhaka belum mengetahui apakah Lembayung sudah punya pacar atau belum. Ia tak ingin menanyakannya secara vulgar, tak ada seninya pikir Rhaka. Dan Lembayung sepertinya mengerti kemana arah dan maksud dari pertanyaan Rhaka sesungguhnya. Apalagi hari itu hari sabtu, yang berarti malam mimggu, malam yang biasanya dipergunakan pria untuk berkunjung atau mengajak teman wanita spesialnya menikwati waktu bersama. Ia pun tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Kebetulan hari ini aku tak ada kegiatan lain sepulang kuliah. Tadinya aku berencana langsung pulang setelah mengembalikan dan meminjam kembali buku dari perpustakaan selepas perkuliahan selesai. Lagi pula tak ada yang merasa keberatan jika aku menerima ajakanmu pergi ke bazar buku”.
Seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan orang tuanya, Rhaka bukan kepalang senangnya mendengar jawaban dari Lembayung. Andai saja tak malu, ingin rasanya ia berjingkrak-jingkrak karena senangnya.
“Aku akan berada di taman dekat papan panjat. Selepas kuliah aku tunggu kau disana. Atau aku saja yang menemuimu ?”. Rhaka memberikan penawaran pada wanita yang telah membuat hatinya berbunga-bunga.
“Biar aku saja yang kesana menemuimu”. Lembayung pun secara spontan menjawab tanpa ragu. Karena waktu sudah mendekati jadwal perkuliahan, Lembayung pun berpamitan pada Rhaka dan berjalan menuju ruang kelasnya di lantai tiga.
Matahari mulai menampakkan sinarnya ketika hujan reda dan berhenti menitikkan air. Suasana di taman dekat papan panjatpun sudah ramai di kerumuni penghuni kampus. Ada yang hanya sekedar duduk-duduk menghadap jalan sambil menikmati makanan kecil dan memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang di bawah sana. Ada juga yang terlihat serius membaca lembar demi lembar buku yang di genggamnya sambil menunggu waktu perkuliahan tiba. Tak sedikit pula mahasiswa yang sedang duduk santai berduaan dengan para teman wanitanya. Sementara Rhaka saat itu tengah memasang tali pengaman yang biasa digunakan untuk memanjat, dengan dibantu Rendy sahabatnya. Sejak ditancapkannya papan panjat di sekitar taman kampus satu bulan yang lalu, baru kali ini Rhaka mencoba menguji kemampuannya menaiki papan panjat yang tingginya kurang lebih sekitar sepuluh meteran. Itupun karena dorongan dan sedikit paksaan dari Rendy sahabatnya untuk mencoba papan panjat baru milik organisasinya. Setelah melumuri kedua tangannya dengan bubuk kapur, Rhaka mulai memanjati papan panjat. Tangan dan kakinya mulai berpindah dari satu pijakan ke pijakan lainnya yang menempel di dinding papan. Terus merayap pelan-pelan, sambil sesekali menengok ke bawah untuk mengetahui sudah setinggi apa ia memanjat. Pengetahuan dasar memanjat pernah Rhaka dapatkan sewaktu sekolah menengah, ketika ia aktif di organisasi kemanusiaan Palang Merah Remaja dan Pramuka. Di PMR ia pernah dilatih para seniornya bagaimana cara memanjat dan mengevakuasi  korban bencana. Begitu pula ketika di Pramuka ia mendapat pelatihan bagaimana cara menaiki tebing untuk mencapai bukit di atas sana. Jadi ia tak begitu kaget ketika diminta mencoba untuk menaiki papan panjat oleh Rendy, karena hanya tempat atau media saja yang berbeda. Di papan keempat Rhaka mengambil ancang-ancang untuk meraih pegangan di papan yang tingkat kemiringannya kurang lebih sekitar 100 derajat. Kawan - kawan di KMPA menyebut kemiringan tersebut dengan istilah over hang. Lututnya mulai terasa bergetar, dan keringat mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sejenak ia menyeka keringat yang membasahi wajah dengan bandana hitam yang selalu ia selipkan disaku belakang celana. Dengan sedikit menghentakkan kaki yang bertumpu pada pijakan batu di dinding, sebentar saja jemari tangan kanan sudah berpegangan pada batu di over hang. Ia menggelantung dengan mengandalkan tenaga yang terkumpul ditangan kanannya. Wajah Rhaka terlihat meringis menahan beban tubuhnya sendiri. Ia coba mencari-cari tempat pegangan untuk tangan kirinya yang menggapai-gapai. Sudah cukup lama ia tak melatih kekuatan kedua tangannya dengan melakukan full up. Biasanya ia menyempatkan diri untuk melakukan full up setiap pagi, meski hanya bergelantungan di palang pintu tempat kost untuk beberapa menit saja. Rupanya hal tersebut mempengaruhi gerakan memanjatnya ketika itu. Ia memberi isyarat pada Rendy  yang memegangi tali pengaman untuk mengendurkan tali dan membiarkannya turun. Rhaka mengatur nafas sesampai dibawah sambil memegangi kedua lututnya yang terasa lemas.
“Busyet, payah banget !”. Rhaka mengumpat dan memaki dirinya sendiri. Rendy menghampiri dan menepuk-nepuk punggung Rhaka, kemudian melepaskan pengaman yang masih menempel di lingkar pinggangnya.
“Berapa lama kau tak memanjat Ka?. Keringatmu sampai belepotan begitu. Tapi jika kulihat caramu memanjat lumayan juga. Makanya sekali-sekali sempatkan berolah raga dan melatih tubuhmu agar tetap bugar”. Celoteh Rendy tanpa ampun, memberi penilaian atas kerja keras sahabatnya menaiki papan panjat. Rhaka tak menanggapi celotehan Rendy. Ia masih berusaha mengatur nafas dan mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Disambarnya botol air mineral yang disodorkan Rendy padanya, dan tanpa berpikir panjang lagi ia meneguk isi botol tersebut hingga tinggal tersisa setengah. Rhaka menyeka air yang mengalir dari sela-sela bibir dengan pergelangan tangan. Rendy hanya geleng-geleng kepala menyaksikan sikap sahabatnya. Setelah menunggu beberapa saat, Rendy mengajak Rhaka menuju Komawa II yang letaknya tak jauh dari papan panjat untuk  memesan es jeruk bagi mereka berdua.
Dipilihnya meja dekat tangga agar dapat melihat jelas kawan - kawan mahasiswa/i yang tengah mencoba menaiki papan panjat. Entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba saja Yori sudah berada di dekat mereka.
“Ah brengsek kalian, nongkrong nggak ngajak-ngajak. Sudah lama kalian disini ?”. Tanya Yori kelihatan sedikit agak kesal. Rhaka menggeser pantat untuk memberi tempat pada temannya yang baru saja datang. Sementara Yori mengeluarkan bungkus rokok dari saku kemejanya, kemudian meletakkan di meja setelah sebelumnya mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
“Baru beberapa menit yang lalu Yor. Aku pikir kamu nggak ke kampus hari ini”. Rendy menjawab setelah  menyimpan kembali es jeruk yang baru saja diminumnya.
“loh, apa Rhaka nggak ngomong kalau dari tadi pagi aku sudah berkeliaran disini. Bahkan cukup lama juga aku ngobrol dengan dia tadi pagi”. Ungkap Yori pada Rendy menjelaskan keberadaannya di kampus hari itu. Rendy melirik ke arah Rhaka, kemudian pandangan wajahnya beralih ke Yori dan  menggelengkan kepalanya. Yori tak ingin memperpanjang persoalan, karena ia pikir itu hanya hal sepele saja. Yori pun melupakan hal itu lalu mengalihkan pembicaraannya.
“Bajumu basah begini habis ngapain Ka. Hujan-hujanan. Seperti tak ada kegiatan lain saja !”. Lanjut Yori meneruskan pembicaraannya. Mendengar perkataan Yori, Rendy tersenyum dan mengarahkan jari telunjuknya ke papan panjat. Yori pun tertawa, mengerti apa yang dimaksud kawannya.
“Tuh juniormu yang memaksa aku hingga harus bergelantungan di over hang. Mana aku nggak bawa baju ganti lagi. Untung saja nggak sampai kencing di celana”. Ungkap Rhaka memberikan penjelasan mengapa pakaiannya sampai basah seperti telah disiram air. Tiba-tiba saja Rhaka teringat sesuatu, dan ia pun terlihat panik menyadari dirinya dalam keadaan seperti itu.
“Wah gawat !. Hari ini aku janji mengajak Lembayung pergi ke bazar buku. Apa mau dia pergi dengan pakaianku seperti ini. Waduh benar-benar gawat. Padahal ini kali pertama aku berkesempatan pergi berdua dengan dia”. Seperti sedang kebakaran jenggot, Rhaka pun semakin panik bukan kepalang. Sementara Rhaka sedang kebingungan, kedua kawannya tertawa seperti sedang menonton acara komedi di televisi yang berusaha mengocok perutnya. Menyaksikan tingkah kedua kawannya, Rhaka pun terlihat kesal.
“Ah kalian ini, bukannya ngebantuin, malah tertawa begitu. Gimana dong Yor, gimana dong Ren ?”.
Tanya Rhaka pada kedua temannya, yang sepertinya merasa senang melihatnya kebingungan.
“Aku pinjam bajumu dulu dech Ren. Tempat kost-mu kan lebih dekat dari kampus ini”. Pinta Rhaka pada sahabatnya. Rendy  merasa tak tega juga melihat kepanikan sahabatnya. Terlebih lagi ia sendiri yang gencar memberikan dorongan agar Rhaka berusaha untuk dapat merebut hati Lembayung. Dan kini detik-detik menuju arah yang diinginkannya sudah mulai tampak didepan mata. Ia pikir tak konsekuen jika ia tak menyelamatkan Rhaka dari kebingungannya. Apalagi hanya dengan meminjamkan pakaian. Tanpa harus dikomando lagi, Rendy tak membiarkan waktu terbuang dengan sia-sia. Ia meminta Rhaka dan Yori untuk menunggu sebentar, sementara ia pergi  mengambil pakaian di tempat kost-nya.
Sementara di tempat lainnya Lembayung nampak berjalan memasuki ruang perpustakaan kampus, di ikuti kawan - kawan sekelasnya. Setelah menyimpan tas di tempat penitipan, ia berkeliling ruangan mencari beberapa buku yang diperlukan untuk kebutuhan perkuliahannya. Suasana dalam ruang perpustakaan terasa hening. Hanya langkah-langkah kaki para pengunjung, lembar-lembar buku yang dibuka dari satu halaman kehalaman berikutnya oleh para pembaca, dan sesekali suara berbisik para pengunjung yang mengalun di ruangan tersebut. Buku yang di cari Lembayung sudah lengkap berada dalam pangkuan tangannya. Ia pun tak ingin berlama-lama tinggal disana. Lembayung bergegas menuju meja petugas perpustakaan, kemudian menyerahkan buku yang akan ia pinjam dengan menyertakan kartu keanggotaannya. Setelah selesai memasukkan data buku yang dipinjam pada komputer, petugas perpustakaan mengembalikan kartu anggota yang telah di stempel, kemudian mempersilahkan Lembayung untuk membawa bukunya kembali. Lembayung berjalan menuju tempat penitipan barang dan meminta petugas jaga untuk mengambilkan tas yang ia titipkan beberapa saat lalu. Sejenak matanya berkeliling mengitari seisi ruang perpustakaan, mencari kawan - kawan yang masih sibuk dengan  pencariannya. Matanya beradu pandang dengan Firza yang kebetulan melihat ke arahnya. Lembayung pun memberi isyarat bahwa ia tak bisa menunggu kawan - kawan dan bermaksud pergi duluan meninggalkan mereka. Firza mengerti dan membalas dengan isyarat, mempersilahkan pada Lembayung untuk pergi duluan dan membiarkan kawan - kawan menyelesaikan kegiatannya di perpustakaan.
Hampir setengah jam Rhaka dan Yori menunggu sambil ngobrol di depan Komawa II. Es jeruk yang tadi dipesan Rendy pun telah raib dari tempatnya, namun Rendy belum juga kembali dari tempat kost-nya. Rhaka mulai gusar dibuatnya. Ia coba menebak-nebak kemana dulu kiranya sahabat yang tengah ditunggunya itu. Yori berusaha menenangkan Rhaka yang terlihat begitu gusarnya.
“Nyantai saja Ka, sebentar lagi juga dia nongol. Mungkin ketemu temannya di jalan atau ia mampir dulu ke warung. Lagi pula sekarang baru pukul 11.30 wib, dan perkuliahan baru akan selesai setengah jam lagi”.
Yori mengambil sebatang rokok filter dan menyalakan korek api untuk menyulut batang tersebut yang telah menempel di sela-sela bibirnya. Tapi niatnya terhenti ketika tiba-tiba seseorang datang tergopoh-gopoh dan menyampaikan sesuatu pada mereka berdua.
“Rendy kecelakaan !. Motornya ditabrak mobil saat keluar dari gang”.
Rhaka dan Yori saling berpandangan, kemudian mereka bangkit dari bangku dan menatap wajah Roy secara bersamaan. “serius Roy. Kamu tidak lagi bercanda kan Roy?!”. Tanya Rhaka dan Yori. Roy mengangguk-anggukan kepala berusaha meyakinkan kedua kawannya, bahwa kabar yang ia sampaikan sangatlah serius dan tak main-main.
“Sekarang ia di rumah sakit. Aray dan Arok yang membawa Rendy kesana. Aku tadi mencari kalian ke sekretariat, dan Oyon yang bilang kalau kalian sedang di papan panjat”. Roy memberi penegasan pada kedua kawannya. Rhaka dan Yori tak menunggu waktu lebih lama lagi untuk pergi menuju rumah sakit. Dimintanya Roy untuk mengantar mereka ke tempat dimana Rendy dibawa oleh Aray dan Arok. Sesampai di basement, Roy memarkir jeep wilis-nya, lalu menginjak pedal gas untuk bergegas menuju tujuan.
Di ruang UGD sebuah rumah sakit milik pemerintah, Rendy  tengah ditangani seorang dokter jaga dan beberapa asistennya. Lutut di kaki kiri, dan pergelangan tangan kanan kini terbalut perban yang dikenakan kedua orang asisten dokter jaga tersebut. Di sebelah atas alis mata Rendy terlihat luka goresan yang tengah dibersihkan dan diberi betadine. Masih beruntung bagi Rendy, kecelakaan yang terjadi begitu cepat dan tak terduga-duga itu tak mencederai mata, atau bagian-bagian tubuh lainnya yang vital. Kini ia masih terbaring dan belum sadarkan diri sejak dibawa ke tempat itu, hingga ia di pindahkan ke kamar rawat inap setelah mendapatkan persetujuan aray, Arok juga seorang wanita yang menabraknya. Beruntung ia tak melarikan diri setelah menabrak Rendy, dan bertanggung jawab atas kejadian itu dengan mengantarnya ke rumah sakit.
Rhaka, Yori dan Roy berjalan cepat menuju ruang UGD. Pada perawat yang kebetulan berpapasan dengan mereka di pintu masuk ruang tindakan, Rhaka menanyakan keberadaan sahabatnya yang mendapatkan kecelakaan beberapa waktu lalu. Setelah merasa yakin bahwa cirri-ciri orang yang disebutkan oleh perawat adalah Rendy, merekapun bergegas menuju tempat yang ditunjukkan perawat tersebut.
Sementara itu Rendy mulai tersadar dari pingsannya. Matanya berkeliling ke seisi ruangan dimana ia terbaring dengan pandangan penuh keheranan, karena tak mengenali tempat dimana ia kini berada. Aray, Arok dan wanita yang mengantarnya ke rumah sakit  menghampiri Rendy ketika mereka melihat Rendy  yang terbaring mulai tersadar.
“Sudah bangun Ren ?”. Tanya Aray pada Rendy. Rendy memegangi kepalanya yang masih terasa pening dan balik bertanya. “Dimana ini. Mengapa aku berada disini ?”. Rendy berusaha bangun dengan bertumpu pada kedua tangannya. Namun ia meringis kesakitan dan memegangi pergelangan tangan yang terasa sakit. Arok menahan tubuh Rendy dengan kedua tangan dan berusaha menenangkan kawannya, kemudian memintanya untuk tiduran dan tak banyak bergerak dulu sampai ia merasa cukup kuat. Aray memberi tahu bahwa Rendy kini tengah berada di rumah sakit. Rendy menatap wajah kedua temannya bergantian, dan kening Rendy tiba-tiba berkerut ketika menatap seorang wanita yang berdiri di samping Aray. Rendy tak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya, dan tentu saja ia tak mengenalinya. Tapi mengapa ia ada disini bersama kawan - kawannya, pikir Rendy keheranan mendapati seorang wanita berada di ruang tempat ia berbaring. Aray mengerti arti kerutan di kening Rendy ketika menatap wanita disampingnya. Ia beritahukan bahwa wanita itu yang membawanya ke rumah sakit.
“Aku minta maaf karena telah membuat anda berada di tempat ini. Kejadiannya begitu mendadak,  hingga aku tak sempat menghentikan laju mobilku ketika secara tiba-tiba motor yang anda tumpangi melintas di depanku. Untung saja laju kendaraan tak terlalu kencang, karena lalu lintas di jalan itu lumayan padat”. Wanita tersebut menjelaskan kejadian yang telah menimpanya dan menyebabkan seseorang harus berada di tempat yang tak pernah diinginkan oleh siapapun. Memang benar adanya apa yang di ungkapkan wanita tersebut. Andai saja lalu lintas di jalan tersebut tak cukup padat seperti saat itu, mungkin kendaraan yang melaju akan dapat dibayangkan kecepatannya. Lebih beruntung ketika peristiwa naas itu tak ada polisi yang melintas di tempat kejadian, hingga ia tak berurusan dengan aparat.
“Oh ya bagaimana keadaan anda sekarang ?”. Lanjut wanita tersebut menanyakan kondisi Rendy.
“Ya, seperti yang bisa kau lihat. Beginilah keadaanku saat ini”. Jawab Rendy memberikan penjelasan mengenai apa yang tengah dirasakannya. Wanita ini pun hanya tertunduk dan terdiam mendengar jawaban dari Rendy. Rasa bersalah masih menyelimuti perasaannya. Rendy  mengerti raut wajah yang ditunjukkan wanita yang menabraknya. Ia menyadari bahwa kecelakaan yang terjadi jelas tak pernah diharapkan oleh siapapun. Kini Rendy harus berbesar hati untuk menerima apa yang telah menimpanya. Sudah semestinya Rendy bersyukur, wanita yang menabraknya tidak kabur dan lari dari tanggungjawab dengan mengantarkanya ke rumah sakit.
Tak terlalu sulit bagi Rhaka, Yori dan Roy menemukan ruang dimana Rendy ditempatkan oleh pegawai rumah sakit untuk dirawat, karena suster yang bertemu di UGD depan pintu ruang tindakan memberi keterangan secara rinci dimana letak ruang tersebut. Rhaka menghampiri Rendy yang terbaring dan sesekali mengerang kesakitan. Rupanya pengaruh obat bius yang disuntikkan oleh dokter jaga untuk menghilangkan rasa sakit lambat laun mulai hilang. Matanya menatap satu persatu luka yang dibungkus perban.
“waduh, tahu bakal begini jadinya, aku nggak akan pinjam pakaianmu Ren”. Ucap Rhaka penuh penyesalan. Andai saja ia tak meminta Rendy untuk meminjamkan pakaian padanya, mungkin tak akan pernah seperti ini kejadiannya.  Ia merasa bersalah telah menyebabkan Rendy kini terbaring dengan luka di beberapa tubuhnya. Rendy meletakkan kantong plastik di atas lemari kecil samping tempat tidur setelah mengambil botol air mineral yang ia sempatkan beli di gerbang masuk menuju halaman rumah sakit, kemudian membuka petutup botol serta memasukkan sedotan dan menyodorkannya pada Rendy.
“Apakah sudah ada yang menghubungi orang tuamu Ren?”. Tanya Rhaka yang sebenarnya bukan hanya pada Rendy pertanyaan itu ditujukan. Aray dan Arok saling pandang mendengar Rhaka mempertanyakan hal tersebut.
“Setelah kejadian itu dan membawa dia kesini, kami belum sempat menghubungi orang tuanya. Tak sempat terpikir, lagi pula aku tak tahu harus menghubungi kemana, karena aku dan Arok tak mengetahui  nomor telpon orang tua dia atau saudaranya yang berada di sini. Sedangkan Rendy tengah tak sadarkan diri, dan tak mungkin untuk menanyakan padanya. Jadi aku pikir lebih baik menunggu hingga ia benar-benar sadar untuk dapat mengingat siapa kiranya keluarga yang bisa kita hubungi”. Papar Aray menjelaskan mengapa ia sampai tak memberi kabar pada keluarga Rendy. Rhaka mengerti dengan penjelasan kawannya dan tak mempersoalkan lebih lanjut. Rendy berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Dibantu Yori dan Arok, Rendy duduk dengan kaki terlentang di tempat tidur. Rasa pusing di kepalanya berangsur-angsur reda, tinggal rasa sakit di lututnya yang masih terasa mengganggu.
“Aku tak kerasan untuk tinggal berlama-lama di tempat ini. Jika kalian tak keberatan dan masih menganggapku teman, tolong bawa aku pergi dari sini sekarang”. Rendy menyahut tiba-tiba. Rhaka serta kawan - kawan berusaha menenangkan Rendy dan memintanya untuk bersabar, hingga pihak rumah sakit mengizinkan untuk pulang. Tak lama berselang, seorang perawat yang mendampingi dokter jaga menangani Rendy di ruang tindakan beberapa waktu lalu, datang menghampiri mereka dan menanyakan keadaan pasiennya. Setelah berbincang-bincang mengenai hal-hal yang diantaranya bersangkutan dengan kondisi Rendy, perawat memberikan bungkus plastik berisi lembaran pil dan kapsul serta satu botol betadine berukuran sedang disertai kapas dan perban untuk merawat luka pasien. Perawat pun mengizinkan pasien untuk pulang atas rujukan dari dokter yang menanganinya. Di serahkan selembar kertas dari tangan perawat pada Rhaka, kemudian ia memintanya untuk menyelesaikan administrasi terlebih dahulu, sebelum mereka meninggalkan rumah sakit. Rhaka menerima kertas tersebut, namun wanita yang sejak kedatangan Rhaka, Yori dan Roy hanya menjadi pendengar saja, meminta Rhaka untuk memberikan secarik kertas itu kepadanya.
“Biar aku yang menyelesaikan administrasi dengan pihak rumah sakit. Kalian tunggu saja di depan, nanti aku menyusul belakangan”.
Rhaka memberikan kertas yang digenggamnya. Ia bertanya-tanya, siapa wanita baik hati yang bersedia membayar ongkos rumah sakit sahabatnya.
“Cewek yang tadi itu pacar kamu Ren ?. Diam-diam sudah punya cewek rupanya. Sejak kapan jadian sama dia ?. Payah juga kau punya cewek nggak bilang-bilang”. Rhaka menyodokkan jari telunjuknya ke pinggang Rendy yang berjalan tertatih-tatih. Rendy tersenyum mendengar Rhaka bersungut-sungut menggodanya.
“Dia yang menabrak motorku, dia juga yang mengantarku ke sini bareng Aray dan Arok”.  Rendy menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Rhaka.
“Oh ya Ka, jadi kau mengajak Lembayung pergi hari ini ?.” Rendy balik bertanya.
Rhaka tak segera menjawab pertanyaan Rendy. Di tariknya nafas dalam-dalam dan secepat kilat ia hembuskan kembali.
“Mungkin ia kini sudah tak berada di kampus. Tadi ia sempat bilang padaku, kalau aku tak mengajaknya pergi jalan, ia akan langsung pulang selepas kuliah. Sekarang sudah hampir  pukul dua. Aku tak yakin kalau dia masih menunggu aku di kampus. Nanti saja jika aku ketemu lagi dengannya, aku jelaskan mengapa aku tak menemui seperti yang ku janjikan padanya. Lebih baik sekarang kau urus luka-lukamu biar cepat sembuh. Hanya tinggal beberapa hari lagi pentas musik akan digelar dikampus, sekalian penutupan seluruh rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan. Aku berharap saat memproklamirkan sekretariat baru dan papan panjat milik organisasi kalian, kau bisa hadir disana dengan kondisi yang prima”.
Rendy menggelayutkan tangan ke pundak Rhaka yang berjalan di sampingnya. Pada sahabatnya ia berusaha terus memberi semangat agar tak berhenti untuk mendekati Lembayung. Rhaka heran juga dengan sikap Rendy  yang begitu ngotot agar dia bisa mendapatkan Lembayung menjadi kekasihnya. Ada apa sebenarnya dibalik upaya Rendy untuk mempersatukan dia dengan Lembayung. Apakah ada kepentingan yang begitu berharga baginya hingga ia benar-benar menginginkan semua berjalan sesuai dengan harapannya. Rhaka berusaha membaca arah pikiran sahabatnya mengenai hal tersebut. Dan Rendy sepertinya tak menyerah untuk terus meberi motivasi dengan berbagai caranya.
“Jika benar kau berniat mengajak Lembayung pergi, malam nanti kau pergilah ketempatnya. kita cari tahu sekarang dimana ia tinggal. Mungkin Aray dan Arok bersedia membantu mencari tahu alamat diamana Lembayung tinggal. Mereka kenal beberapa kawan wanita yang satu kelas dengan Lembayung. Kau bisa katakan alasanmu mengapa kau menemuinya”. Lagi-lagi Rendy  mempertegas kesungguhannya memberi dorongan pada Rhaka.
Tak terasa mereka telah sampai di halaman parkir rumah sakit, ketika wanita yang menabrak Rendy menghampiri dan menawarkan untuk mengantarnya pulang. Mereka pun bergegas pergi  meninggalkan rumah sakit. Rendy, Rhaka dan Aray melaju di depan jeep willis yang di kendarai Roy.
Di dalam kendaraan, wanita yang duduk di belakang kemudi membuka percakapan dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri pada Rhaka, Rendy dan Aray. Lestari, namanya. Ia mengikuti permintaan Rendy untuk membelokkan kendaraannya memasuki jalan  alternatif. Di persimpangan jalan ia mengambil arah kanan melewati sebuah kampus Sekolah Tinggi Bahasa yang hiruk-pikuk oleh mahasiswa yang keluar masuk gerbang halaman kampus.
“Kita lewat Jalan Pelesiran saja supaya tidak memutar !”. Pinta Rendy pada Lestari yang tengah berkonsentrasi mengemudikan kendaraannya. Lestari tak ingin peristiwa serupa menimpa kembali padanya. Dengan hati-hati ia gerakkan kemudi ke arah kiri memasuki jalan disamping sebuah toko besar seperti yang diminta Rendy. Dan ketika itu Lembayung dengan masih mengenakan pakaian yang dipakainya ke kampus tengah membuka pagar halaman rumah, bergegas pergi entah kemana tujuannya. Di depan sebuah home industry yang memproduksi makanan ringan, pandangan mata Rendy secara tak sengaja tertuju pada seorang wanita yang tengah menutup pintu pagar dan melangkah menuju ke arah mereka. Rendy meminta Lestari menurunkan kaca mobil disampingnya dan membunyikan klakson. Sementara dari arah berlawanan Lembayung tak memperdulikan bunyi klakson dan terus berjalan melewati kendaraan yang mengklaksoninya. Ia pikir hanya laki-laki iseng yang berusaha menggodanya. Namun ketika ia dengar seseorang memanggil namanya, ia membalikkan badan dan mencari tahu dari mana sumber suara yang memanggilnya. Setelah Rendy meminta dengan sedikit memaksa untuk bergegas menemui Lembayung, Rhaka pun membuka pintu mobil dan berjalan menghampiri Lembayung yang masih berdiri di tempatnya. Lembayung terlihat kaget, seolah tak percaya jika yang menghampirinya adalah Rhaka, lelaki yang telah membuatnya menunggu di taman halaman depan kampus untuk pergi ke bazar buku hari itu.
Kepada Lembayung, Rhaka mengemukakan alasan mengapa tak berada di taman seperti yang telah dijanjikannya, hingga ia bertemu dengannya di tempat itu. Lembayung bisa mengerti dan menerima alasan yang dikemukakan Rhaka meski hatinya masih diliputi perasaan kecewa atas kejadian tersebut. Rhaka  dan Lembayung berjalan mendekati Rendy  dan kawan-kawan yang masih berada di dalam mobil. Rendy menyapa Lembayung setelah Rhaka membuka pintu dan memintanya untuk ikut bersama dengan mereka. Lembayung tak menolak ajakan tersebut, dan merekapun melanjutkan perjalanan ke tempat yang mereka tuju.
Rhaka memapah Rendy memasuki kamar yang masih terlihat berantakan dan membantunya duduk di tempat tidur. Rhaka meletakkan kantung plastik berisi pil, kapsul, sebotol betadine berukuran sedang, kapas dan perban di atas meja belajar, setelah sebelumnya merapikan buku yang berserakan hingga terlihat rapi kembali.
“Sekali lagi aku minta maaf atas peristiwa ini. Dan aku berharap anda cepat sembuh”. Lestari mengawali pembicaraan untuk memecah kebisuan. Rendy tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Semoga ini menjadi pelajaran terbaik untuk kita semua. Aku yakin tak seorang pun didunia ini mengharapkan kejadian seperti ini menimpa dirinya. Tapi apa boleh buat, semua sudah terjadi dan masih beruntung hanya luka ringan biasa saja yang menimpaku”. Rendy menyadari bahwa semua memang bukan keinginan, baik dirinya maupun Lestari. Ia juga tak berharap peristiwa yang menimpa keduanya berbuntut panjang dan meninggalkan kesan kurang baik di kemudian hari. Mendengar penuturan Rendy, Lestari merasa lega dan bersyukur bahwa orang yang ditabraknya tak berlarut-larut dalam kesedihan dan menuntut lebih jauh padanya. Rendy mengalihkan pandangan wajah pada Rhaka yang sejak tadi tak berbicara sepatah katapun. Entah karena Lembayung berada disitu atau karena alasan lain, ia tak tahu pastinya.
“Sampai kapan kau akan berdiam diri di kamar ini Ka ?. Bukankah hari ini kau sudah berniat mengunjungi bazar buku. Setahuku ini hari terakhir bazar buku di gelar di mall. Jadi menurutku sebaiknya kau tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuang-buang waktu dengan membisu seperti ini”. Rendy mengingatkan Rhaka akan janjinya untuk mengajak Lembayung pergi. Rhaka menjadi salah tingkah mendengar ucapan Rendy. Sama sekali ia tak mengira jika Rendy akan bicara seperti itu dihadapan Lembayung dan kawan - kawannya.
“Jangan salah mengerti. Aku tak berniat mengusirmu, hanya sekedar mengingatkan. Apa kau nggak punya perasaan sama orang yang telah mengorbankan waktunya untuk menunggumu di taman kampus”. Ungkap Rendy melanjutkan perkataannya.
Sepertinya Lembayung mengerti maksud Rendy. Ia pun mengerti posisi Rhaka saat ini, yang terlihat kebingungan untuk memilih pergi dengannya atau tetap berada di tempat ini menemani Rendy. Lembayung berusaha menyikapinya dengan sebijaksana mungkin.
“Tak mengapa jika Rhaka dibutuhkan untuk menemani disini, aku bisa mengerti. Lagi pula lebih tak berperasaan jika meninggalkan teman dalam kondisi seperti ini. Alangkah egoisnya jika kami memaksakan diri untuk pergi,  sementara membiarkanmu terbaring disini sendiri”.
Sungguh terkejut Rhaka maupun Rendy mendapat respon yang begitu tak disangka-sangka. Perkataannya telah membukakan mata Rhaka dan Rendy, bahwa Lembayung sungguh wanita  yang memiliki naluri tajam, pandai menyikapi situasi dan tak mementingkan dirinya sendiri. Rhaka semakin serba salah menghadapi situasi saat itu. Di satu sisi, sahabatnya ngotot untuk memintanya mengajak Lembayung pergi, sementara disi lain Lembayung seakan memasrahkan pilihan itu padanya. Dengan kata lain, jika ia tetap di tempat ini menemani Rendy, Lembayung tak akan keberatan. Tapi ia pun tak akan menolak jika Rhaka mengajaknya pergi meninggalkan Rendy terbaring di kamarnya. Bagi Rhaka ini merupakan pilihan yang sulit, meski ia tak ingin mempersulit keadaan. Rendy cepat tanggap akan situasi yang dihadapi temannya.
“Kalian tak perlu khawatir. Saat ini aku hanya butuh istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisi tubuhku. Mungkin Aray atau Arok bersedia menemaniku untuk sementara waktu. Kalian tak akan di bazar buku sampai besok pagi kan ?. Sepulang dari bazar buku atau dari manapun kalian, kau bisa kembali kesini dan menemaniku ngobrol sambil minum kopi. Jadi ku pikir tak ada salahnya jika aku tak bersikap egois untuk menahanmu berlama-lama disini saat ini. Dan kau Ka, sebaiknya kau ganti pakaianmu dulu sebelum pergi”. Rendy berdiplomasi untuk meyakinkan Rhakadan menangkis perkataan Lembayung. Rhaka dan Lembayung saling berpandangan. Isyaratpun terjalin diantara mereka berdua. Setelah berganti pakaian, Rhaka berpamitan pada Rendy, Aray, Arok dan Lestari yang masih tak beranjak dari tempatnya semenjak ia datang ke tempat Rendy. Dan hari ini akan menjadi hari yang panjang bagi Lembayung dan Rhaka.

Download Novel "Cinta Ini Masih Ada" bag 2

Tidak ada komentar: