Karya : Ipey
Bayang-bayang senyuman diwajah merah merona berbalut keteduhan serta kelembutan tak jua sirna dari benaknya. Hingga larut malam menyapa, serta udara dingin mengelilingi kesendirian, ia masih duduk termenung memegang pena ditangan berteman cahaya lampu redup diatas meja. Sesekali pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, memutar arah waktu, mencari sesuatu yang mungkin dapat membuka celah sebagai bekal baginya untuk melangkah menelusuri masa yang akan dilewati. Banyak kata ingin ia tuangkan dilembaran kertas putih yang setia menanti goresan hati, meski tak mudah merangkai kalimat hingga menjadikannya berarti. Mencoba mengambil hikmah dari setiap langkah, berharap kepasrahan menjadi jembatan perekat hati dengan ilahi. Menyikapi air mata dalam dekapan luka tanpa angkara murka, serta mensyukuri senyum bahagia tanpa berpaling dari-Nya, meski terkadang membersit dendam disela-sela penderitaan. Dan seiring detik-detik jarum jam berdetak, batinnya pun perlahan mulai terusik untuk menuntun jemari tangan mengoreskan tinta.
Kalimat pertama yang ia tuliskan dengan mata berkaca-kaca membawa alam pikirannya ke dalam pencarian menuju singgasana-Nya.
“Aku ingin bertemu untuk mengadu pada-Mu, wahai zat yang maha bijaksana”.
Hatinya pun bergetar ketika ia membaca ulang apa yang telah ia tuliskan. Bergetar melawan rasa takut bercampur rasa sedih yang membaur menjadi satu dalam hati serta pikirannya. Sejenak ia terdiam, lalu menutup buku catatan, lantas mematikan lampu di atas meja, dan kemudian merebahkan diri dipembaringan.