Karya : Ipey
Butiran-butiran bening yang menggelayut diujung dedaunan satu persatu berjatuhan ke tanah dan menebar bau basah. Kabut tipis perlahan menepi ditiup hembusan angin seiring senyum mentari menyapa pagi. Tarikan nafas panjang serta gerak gemulai berirama menikmati udara lepas tanpa polusi dan radiasi limbah industri. Gemericik suara air mengalir memberi suasana sejuk dan damai tanpa rasa dengki menyelimuti. Awan putih pun melengkungkan senyumnya dengan tulus dan ikhlas tanpa berharap balas. Hamparan rumput hijau dan pepohonan sepanjang bukit menuntun hati mengucap syukur akan karunia sang pencipta. Bersyukur karena diantara gedung-gedung tinggi yang bertebaran ditiap penjuru kota masih terdapat tempat untuk menikmati suasana alam berbalut sentuhan alami. Santun kata dan sikap ramah bertegur sapa menghiasi tradisi yang semestinya dijunjung tinggi, sehingga sikap hidup bertoleransi menjadi pilar suci dalam kehidupan ini. Tak ada kasta yang membentengi, tak memepersoalkan status sosial dalam berbagi suka dan penderitaan. Berharap disetiap keyakinannya tertanam bahwa dimata Tuhan semuanya sama, yakni sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Sujud syukur beralas do’a ia sampaikan atas segala karunia dan kasih sayang-Nya. Hatinya memohon agar senantiasa dijauhkan dari prasangka buruk terhadap sang maha segalanya, dijauhkan dari sifat iri dengki dan sifat-sifat lainnya yang akan membuat Tuhan murka. Menyadari sepenuhnya atas segala kekhilafan dan kelalaian yang telah diperbuatnya, Rhaka pun menyerahkan segalanya pada penguasa alam semesta teriring pinta, semoga Tuhan tetap mencurahkan kasih sayang padanya. Berbagai cela dan hina ia jadikan sebagai pengingat untuk senantiasa bersikap sabar dalam menghadapi segala persoalan. Menghapus luka untuk setiap perkataan menyakitkan dan setiap sikap yang merendahkan. Berusaha tetap tersenyum meski perih menghimpit setiap langkahnya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan demi menepis rasa dendam. Dan pagi ini ia hanya ingin melewati hari dengan tenang seperti layaknya air mengalir dari hulu ke hilir, hingga bertemu dimuara dan kemudian menyatu disamudera lepas. Berusaha melupakan sikap orang tua Diana terhadapnya ketika ia berkunjung ke rumahnya tempo hari. Akal sehat dan pikiran dewasa menuntunnya untuk memahami bahwa itu sebuah kewajaran yang timbul karena kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Meski demikian rasa hormatnya kepada orang tua Diana tak berkurang atau hilang. Begitu juga rasa sayangnya terhadap Diana, tak menyurut berkurang sedikitpun. Biar waktu menjawab semua yang akan terjadi nanti kemudian, pikir Rhaka berusaha bijak menyikapinya.
Terik matahari yang membakar tubuh tak memberinya kesempatan untuk berdiam diri meski hanya sekejap saja. Ia harus terus memacu langkahnya agar segera sampai di tujuan. Teman-teman sekelasnya telah duduk rapi mengisi kursi saat ia datang ke tempat itu. Rhaka mengangguk hormat pada dosen pengajar yang tengah bersiap memberikan materi perkuliahan, setelah sebelumnya menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatannya serta memohon izin untuk dapat mengikuti perkuliahan. Sikap bijaksana sang dosen membuatnya bernafas lega, karena dengan demikian ia dapat mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya. Sepanjang waktu berjalan ia mencoba fokus dan berkonsentrasi agar dapat menyerap apa yang disampaikan pemberi materi. Rhaka tak melewatkan untuk mencatat apa saja sekiranya yang perlu ia simpan di bukunya hingga waktu perkuliahan usai. Selepas sang dosen mengucap salam perpisahan, Rhaka bergegas meninggalkan kelas. Hari itu ia tak berniat berlama-lama berada di kampus, untuk itu selepas mengikuti perkuliahan ia langsung memacu langkah menuju tempat kost. Baru saja ia sampai di mulut Gang, seseorang berusaha menghentikan langkah dengan memanggilnya. Rhaka membalikkan tubuhnya, sementara dari arah berlawanan Diana tampak setengah berlari menghampiri.
“Tadi aku mencarimu ke sekretariat, dan seseorang memberitahuku kalau ia melihatmu meninggalkan kampus. Kemudian aku berniat melanjutkan ke tempatmu”. Diana menuturkan maksudnya tanpa memalingkan pandangan ke arah lain.
Rhaka membalas dengan senyuman serta tetap bersikap wajar apa adanya.
“Apa nggak ada perkuliahan yang harus kamu ikuti hari ini Na?”. Tanya Rhaka coba mencari tahu.
“Hari ini ada dua mata kuliah. Tadi pagi dan mata kuliah kedua baru saja selesai aku ikuti”. Jawab Diana menyampaikan penjelasan.
Rhaka menyikapi penjelasan Diana dengan seutas senyum dibibirnya.
“Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan Na?. Jika ada, aku disini untuk mendengarkan”. Lanjut Rhaka kemudian.
Diana mengangguk perlahan. Sambil menunduk serta memainkan jari tangan ia meminta mereka untuk melanjutkan pembicaraan di tempat lain. Rhaka mengangguk setuju tanpa perdebatan terlebih dahulu mengenai tempat yang akan mereka tuju.
Bukan sekali ini saja bahunya ia berikan pada Diana sebagai tempat berkeluh kesah, dan bukan untuk sekali ini saja Rhaka setia mendengarkan setiap penuturan tanpa melewatkan satu katapun yang terucap darinya. Rasa sayang serta ketulusan mengasihi membuat ia tak merasa bosan menjadi tempat curahan hati Diana dikala suka maupun duka. Dan kali ini ia pun harus meralakan bahunya ditetesi butiran bening yang mengalir dari kedua kelopak mata indahnya. Belaian lembut jemari tangan dirambut Diana yang sehalus sutera, berharap dapat meringankan beban yang tengah dihadapi. Namun tak demikian halnya dengan apa yang dirasakan Diana saat itu. Sentuhan lembut jemari tangan Rhaka semakin membuat hatinya bagai tercabik duri tajam. Perasaannya kian larut dalam kesedihan yang semakin dalam ia rasakan. Sementara Rhaka hanya bisa diam sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam. Ingin rasanya ia memaki diri sendiri atas ketidakberdayaan menghadapi kenyataan. Jika saja ia tak dapat menahan diri, mungkin ia sudah berteriak sekeras yang bisa ia lakukan. Dalam diam hatinya pun berkata-kata segala apa saja tentang dirinya, juga tentang keinginannya. Rhaka menggenggam erat jemari tangan kekasih yang harus ia relakan untuk pergi menjauh dari kehidupannya saat ini. Sempat terbersit dalam benak mengikuti keinginan Diana yang mengajaknya untuk lari dan pergi sejauh mungkin, namun itu segera ia tepiskan.
“Aku percaya Na, Tuhan memberikan yang terbaik untukmu, untuk aku, untuk kita berdua. Meski takdir tak menghendaki kita untuk terus bersama, namun aku akan selalu menyayangimu setulus hatiku. Kini tak ada cara lain yang mampu mempersatukan cinta kita selain atas kehendak-Nya Na. Kita hanya bisa berusaha untuk menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Karena sekeras apapun kita mempertahankannya, jika Tuhan belum menghendaki, kita tak akan sanggup merubah apa yang telah digariskan-Nya. Aku hanya berharap kamu dapat menjalani segalanya dengan ikhlas. Bagaimanapun kini aku harus merelakanmu Na, meski tak kan mudah bagiku menjalani segalanya. Bukan aku tak ingin berusaha memperjuangkan cinta kita berdua sampai restu orang tuamu berpihak pada kita. Tapi fahamilah, mereka hanya ingin melihat kau bahagia menurut pandangannya. Berjanjilah kau tak akan mengkhianati pintanya, dan buktikan bahwa kau mampu memenuhi keinginannya. Aku mohon berjanjilah untukku!”. Rhaka menguatkan hati untuk menyampaikan apa saja yang saat itu bermuara dibenak pikiran dan perasaannya.
Bukannya mereda, isak tangis Diana semakin terasa pilu menyayat kalbu. Pelukan kasih sayang serta belaian lembut jemari tangan dikepala Diana tak sanggup menahan laju air mata, hingga butiran kepiluan membasahi dada. Setiap tetes yang mengalir dari kedua kelopak matanya terasa begitu menyesakkan dan menyakitkan.
“Mengapa ini terjadi disaat aku benar-benar tak bisa berpaling darimu, disaat-saat aku tak ingin jauh darimu meski hanya selangkah kaki berjalan. Mengapa dunia tak memberi kisah bahagia untuk kita, mengapa Ka?. Mengapa semesta kembali menaburi luka diperjalanan hidupmu?. Aku yang berharap dapat membalut luka masa lalumu, kini malah menambah perih yang aku pun bisa merasakannya Ka. Mengapa....”. Diana terdiam dan bungkam sejenak ketika jari telunjuk Rhaka menyentuh bibirnya.
“Kita hanya akan terpisah jarak dan waktu saja Na. Mari kita fahami bersama maksud orang tuamu mengambil tindakan memindahkan kuliahmu. Aku yakin pasti demi kebaikan masa depanmu kelak. Tak akan ada yang berubah, meski kita jauh terpisah”. Ucap Rhaka berusaha menenangkan Diana.
“Aku merasa tak yakin dengan mereka yang secara tiba-tiba akan memindahkanku, setelah kedatangan keluarga teman papa kerumah waktu itu. Pasti ada maksud lain dibalik semua ini Ka”. Diana bersikeras dengan pendapatnya.
Rhaka mengerti akan kemarahan, kekesalan dan kekecewaan Diana pada orang tuanya. Namun ia tetap berusaha bijak pada kenyataan, tak memaksakan terus mendayung sampan seperti keinginan, sementara gelombang datang memaksanya untuk berubah haluan. Melawan arus bukanlah pilihan satu-satunya guna mempertahankan tujuan. Jika memang keadaan memaksanya mengubah haluan, itu akan ditempuhnya dengan harapan suatu saat dapat kembali memutar arah ke tujuan semula. Dengan segala upaya Rhaka berusaha memberi pengertian tanpa mengabaikan perasaannya.
“Saat ini aku ingin kau percaya, bahwa sampai kapanpun kamu akan selalu menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku berharap jika kau ingin menghapus aku dari ingatanmu, lupakan aku disaat-saat kau merasakan kebahagiaanmu. Andai kau ingin mengingatku, aku berharap kau rela datang padaku ketika derita menghampirimu”. Tutur Rhaka diakhiri kecupan lembut dikening Diana, selembut kasih dan sayang Rhaka padanya.
Kecupan pertama dari Rhaka dikeningnya membuat ia semakin tak ingin jauh darinya, semakin ingin ia terus berada disisinya. Ada perasaan damai dihati ketika bibir itu menyentuhnya dengan lembut. Ia baru benar-benar dapat merasakan ketulusan kasih sayang seorang lelaki padanya, dan itu ia dapatkan dari lelaki yang kini berada dipelukan. Kelembutan sikap serta ketulusan cinta yang diberikan Rhaka padanya membuat Diana merasa bahwa ia memiliki arti dikehidupannya. Rhaka membiarkan Diana larut dalam pelukan. Ia relakan segenap hatinya menjadi sandaran bagi segala apa yang dirasakan Diana saat itu, dan berharap ini sebagai pereda atas kesedihan serta kepiluannya.
“Andai dapat membuatmu merasa tenang, ukirlah kisah kita untuk kau simpan dilubuk sanubari terdalam, hingga maut memisahkan”. Bisik Rhaka dengan lembut ditelinga Diana.
Diana mengangguk perlahan dengan mata terpejam tanpa melepas pelukan, seakan tak ingin terpisahkan jauh dari lelaki yang dicintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar