Oleh: DR. Dwi Suryanto
Agar sukses
dalam memimpin, ternyata tidak cukup hanya cerdas pikiran saja. Dari pengamatan
saya, orang-orang yang karirnya sukses, ternyata bukan orang yang paling
cerdas. Ada orang yang demikian pandai, namun begitu ia bicara, ia malah selalu
menyerang pendapat orang lain. Ketika selesai berbicara dengan orang itu,
energi mereka sering terkuras habis. Karirnya tidaklah berkembang pesat.
Sebaliknya, ada orang yang peduli, baik, pandai memperhatikan perasaan orang
lain, dan orang inilah yang ternyata karirnya berkembang cepat.
Apakah ada
faktor lain selain kepintaran otak tadi? Ada, yaitu kecerdasan emosi.
Kepintaran ini adalah kemampuan seseorang dalam memonitor perasaan dan emosinya
baik pada dirinya maupun orang lain. Ia akan mampu membedakan dua hal itu, dan
kemudian menggunakan informasi itu untuk membimbing pikiran dan tindakannya
(Salovey & Mayer, 1990).
Penelitian
demi penelitian tentang kecerdasan emosi dipicu oleh karya seminal Goleman di
tahun 1989. Secara konsep, kepintaran jenis ini mampu melengkapi pikiran.
Sebelum dituangkan oleh Goleman, orang menyangka bahwa faktor kesuksesan dalam
bekerja lebih banyak ditentukan oleh pikiran semata.
Melalui
pengamatan yang mendalam, kecakapan ini ternyata mampu mendukung kinerja
melalui dimensi penilaian diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keahlian
sosial.
Penilaian diri yang akurat ini
mendorong timbulnya semangat juang, pandangan jauh, mempertinggi tujuan hidup
seseorang, dan mampu memberikan arah dan arti dalam kehidupan ini (Sosik &
Megerian, 1999).
Pengaturan
diri, yang dinamakan dengan pengelolaan keadaan dan impuls internal, akan
memicu perasaan positif, dan di saat yang sama dapat menekan perasaan negative
(Tesser, 1986).
Dari obrolan orang di kantor
hingga berbagai literatur populer, menganggap bahwa kecerdasan emosi ini
mempunyai kaitan langsung dengan keunggulan organisasi, komitmen karyawan, dan
kepemimpinan transformasional. Adanya janji seperti itu jelas amat
menggairahkan para pemimpin bisnis. Namun Murensky (2000), Druskat (2002) hanya
menemukan kaitan yang tipis antara kecerdasan jenis ini dan keseluruhan kinerja
organisasi.
Hal ini memang mudah dipahami.
Mengapa? Karena untuk mengukur kinerja organisasi dibutuhkan lebih banyak alat
ukurnya, termasuk kinerja keuangan, kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan dan
sebagainya. Apalagi, kecerdasan ini merupakan gabungan dari 27 kompetensi di
mana masing-masing kompetensi itu belum pernah diukur tersendiri peranannya
dalam meningkatkan kinerja yang unggul.
Goleman pun
menyadari hal itu. Ia mampu mendemonstrasikan bahwa kecerdasan emosi ini bisa
meningkatkan kinerja, namun perannya itu harus melalui kecakapan emosi. Tapi,
kecakapan emosi itu juga tidak berperan sendirian. Kecakapan emosi mampu
mempengaruhi kinerja sejalan dengan iklim organisasi dan juga tuntutan kerja
yang dianggap moderat oleh karyawan.
Nilai-nilai
(values) pribadi seseorang, termasuk kecerdasan emosi, akan menjelma menjadi
adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Pada gilirannya, adaptasi ini akan
mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya akan berpengaruh pada kinerjanya.
Tapi, adaptasi dan perilaku seseorang itu amat tergantung kepada kecocokan
antara nilai-nilai pribadi orang itu dengan norma-norma organisasi.
Contoh, seorang karyawan yang
jujur. Sepanjang hidupnya orang itu berusaha sekuatnya untuk jujur. Ketika ia
bekerja di perusahaan yang menghalalkan segala cara, jelas kejujuran itu
menemui benturan yang berat. Orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi yang ditandai
oleh empati dan kesadaran diri, akan menemukan ekspresi yang pas ketika ia
bekerja di perusahaan yang iklim perusahaan memang mendukung nilai-nilai moral.
Ketika kadar kesesuaiannya
rendah, yang akan terjadi adalah, mungkin orang itu akan mengubah nilai-nilai
yang selama ini dipegangnya. Atau, malah akan terjadi konflik antara dirinya
dan perusahaan, atau yang terakhir, ia akan pergi meninggalkan perusahaan itu.
Seperti uraian di atas, Goleman
berpendapat bahwa kecerdasan emosi merupakan landasan dari kecakapan emosi, di
mana kecakapan emosi ini merupakan penyebab terjadinya peningkatan kinerja.
Kecerdasan ini akan mempertinggi potensi karyawan dalam belajar, sedangkan
kecakapan emosi akan menjadikan potensi itu menjadi keahlian dalam menjalankan
tugas.
Kecerdasan emosi ini, yang
merupakan sifat pribadi, hanya menunjukkan bahwa karyawan memiliki kemampuan
untuk belajar meningkatkan kompetensinya. Memiliki kemampuan semacam ini baru
berarti banyak jika kecerdasan itu sudah diterapkan dalam bentuk keterampilan
atau keahlian.
Goleman memberi analogi tentang
pelatihan menyanyi. Ada orang yang modal suaranya bagus. Namun jika orang itu
tidak memperoleh pelatihan yang memadai untuk menjadi penyanyi, maka orang itu
tidak akan pernah menjadi penyanyi terkenal.
Kecerdasan ini jika dipadu dengan
kecerdasan sosial lain (termasuk kecakapan emosi) akan mampu membangun hubungan
yang harmonis dengan karyawan lain dan mampu menyelesaikan konflik-konflik yang
terjadi di perusahaan.
Apa kesimpulan dari tulisan ini?
Kecerdasan emosi ternyata baru berupa semacam bakat alam, walau bisa
dipelajari, dan yang penting harus diujudkan dalam kecakapan emosi. Ketika
sudah berujud kecakapan emosi, seperti kemampuan untuk tetap termotivasi walau
banyak mengalami kegagalan dan penolakan, baru akan terwujud kinerja yang
sering didengung-dengungkan oleh para pakar.
Ringkasan ini diterjemahkan dari
Emotional Intelligence
Kecerdasan emosi ( dan pelayanan
kesehatan)
Kecerdasan emosi sudah menjadi
suatu tolok ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan sering
merupakan karakteristik penentu kesuksesan dalam kerja.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan
untuk mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi orang
lain agar bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih memuaskan.
Dokter dan mahasiswa kedokteran, juga ilmuwan sudah diakui adalah di antara
orang-orang yang paling cerdas di masyarakat kita. Umumnya mereka menunjukkan
kinerja yang hebat sebagai praktisi individual atau peneliti mandiri. Sebagian
di antara mereka mencapai kedudukan sebagai pemimpin program dan departemen
klinik atau ilmu dasar, dekan fakultas kedokteran, direktur rumah sakit dan
sistem kesehatan. Umumnya mereka juga menunjukkan kinerja yang baik dalam peran
kepemimpinannya, tetapi ada juga yang masih harus berjuang dan ada juga yang
gagal. Tampaknya kecerdasan kognitif bukanlah prediktor yang baik untuk
keberhasilan kepemimpinan. Prediktor sukses yang lebih relevan adalah
kecerdasan emosi.
Ada 3 macam kompetensi dalam
bidang
kepemimpinan: ketrampilan teknis,
kemampuan kognitif, dan kemampuan mengombinasikan pemikiran dan emosi yang
dikenal sebagai kecerdasan emosi. Kompetensi teknis dan kognitif yang
menentukan kehebatan ilmiah tidak sama dengan kompetensi yang menentukan
kehebatan kepemimpinan.
Ketrampilan : kecerdasan emosi
bisa dipelajari. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu diperhatikan: apabila
kita menerapkan pendekatan pelatihan biasa untuk meningkatkan ketrampilan
teknis dan analitis, itu akan gagal. Program konvensional tidak mencakup
faktor-faktor yang membuat sistem limbik (pusat emosi di otak) belajar dengan
cara terbaik, yaitu faktor motivasi, praktek yang banyak, serta umpan balik.
Mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosi menuntut agar orang meninggalkan
tingkah laku lama dan mengambil yang baru.
Penelitian mengenai kecerdasan
emosi telah menunjukkan bahwa ketrampilan teknis dan kognitif
hanyalah ketrampilan dasar atau
ambang untuk profesi seperti teknik, hukum, dan kedokteran.
Ketrampilan-ketrampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosilah yang terbukti
dapat membedakan antara orang yang berkinerja tinggi dan yang rata-rata. Model
kepemimpinan kedokteran harus didasarkan atas paradigma baru, bahwa semua
dokter, meskipun mungkin dapat kehilangan otonomi atau bahkan status,
sebenarnya adalah pemimpin “tersembunyi” dengan kekuatan terpendam dan pengaruh
yang besar terhadap sistem. Sebagai pemimpin organisasi medis, mereka
bertanggung jawab atas hasil yang diperoleh bersama dengan pegawai perawatan
kesehatan lainnya, juga bersama pasien. Dalam realitas, dokter adalah pemimpin
dari “tim peduli-konsumen”. Akan tetapi, berapa banyak donter yang memandang
dirinya sebagai pemimpin? Jadi, kita harus mengubah paradigma dalam memahami
peran kepemimpinan yang dimainkan oleh dokter. Dan kita harus menyadari bahwa
karakteristik yang membedakan antara pemimpin yang hebat dari yang biasa-biasa
saja tidaklah berasal dari kompetensi teknis dan kognitif melainkan dari
kompetensi emosional serta manajemen hubungan yang lihai. Perubahan paradigma
ini menuntut adanya pergeseran dari model heroik pelatihan medis menuju kepada
model yang didasarkan atas kompetensi emosional, kolaborasi dan kerja tim,
serta pendekatan pendidikan yang mendukung suatu lingkungan dimana orang bisa
menumbuh-kembangkan perasaan penguatan diri. Untungnya, orang dewasa bisa
mengembangkan kemampuan kecerdasan emosi melalui berbagai kegiatan pengembangan
yang berlangsung dalam pelatihan dan pendidikan. Berdasarkan kompetensi ini,
dokter dapat memperbarui perasaan bahwa ia dalam kondisi baik, mendapatkan
kembali pengaruhnya dengan cara sedemikian rupa sehingga kepercayaan orang lain
pun terbarui, meningkatkan hubungan dengan mitra pelayanan kesehatan yang lain
(kolega dan administrator) serta dengan pasien, dan meningkatkan hasil dari
bisnis pokoknya. Di dalam paradigma baru ini, dokter bisa menjadi pemimpin yang
lebih efektif, memaksimalkan pengaruhnya serta kontribusi yang dapat
diberikannya sebagai profesional yang berhubungan dengan seluruh bagian dari
sistem pelayanan kesehatan. Kecerdasan emosi adalah istilah untuk
mendeskripsikan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan ketrampilan non-kognitif
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil menghadapi tuntutan dan
tekanan lingkungan. Oleh karena itu, kecerdasan emosi merupakan faktor penting
dalam menentukan kemampuan seseorang untuk berhasil dalam hidupnya.
Kecerdasan emosi dewasa ini
dipandang sebagai hal yang mendasar untuk bertahan di lingkungan kerja dan
merupakan kemampuan utama dalam kepemimpinan dan manajerial.
Pelayanan kesehatan membutuhkan
pemimpin dengan kecerdasan emosi yang tinggi. Sebagian dari masalah terpenting
yang dihadapi oleh masyarakat adalah masalah yang terkait dengan kesehatan.
Administrator kesehatan harus berjuang memberikan layanan yang berkualitas bagi
konsumennya walaupun dengan sumberdaya keuangan dan manusia yang terbatas.
Bagaimana kita bisa memberikan layanan kesehatan yang baik di saat sebagian
besar masyarakat kita tidak mampu membayar? Pertimbangan bioetika sekitar
genetika manusia, perlindungan pasien, serta privasi membutuhkan administrator
pelayanan kesehatan yang berwawasan jauh melampaui kebutuhan jawaban seketika
dan memahami kemungkinan dampak jangka panjang terhadap individu. Agar kita
bisa memiliki kepekaan terhadap isu yang sangat manusiawi ini dan menanggapinya
secara efektif dibutuhkan adanya pemimpin dengan kecerdasan emosi yang tinggi.
Ringkasan
Kecerdasan umum terdiri atas
kecerdasan kognitif atau intelektual, yang diukur dengan IQ, dan kecerdasan
emosi yang diukur dengan EQ. Orang yang dapat berperan dengan baik, berhasil,
dan sehat secara emosi adalah yang memiliki kecerdasan emosi cukup tinggi serta
skor EQ yang rata-rata atau di atas rata-rata. Semakin tinggi skor EQ, semakin
positif prediksi bahwa pemiliknya akan mendapatkan keberhasilan umum dalam
menghadapi tuntutan serta tekanan lingkungan. Sebaliknya, ketidakberhasilan dan
adanya masalah emosional merupakan fungsi dari besarnya kelemahan kecerdasan
emosi. Skor EQ, kalau dipadukan bersama skor IQ, akan memberikan indikasi yang
lebih baik mengenai kecerdasan umum seseorang dan karenanya memberikan indikasi
yang lebih baik mengenai potensi seseorang untuk berhasil.
Kecerdasan emosional memang
membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi untuk menemukan
kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Menurut DR Jalaluddin Rakhmat
MSc, itu bisa terjadi karena dia tidak bahagia. Kalau meminjam istilahnya Tony
Buzan, pakar tentang otak manusia dari Amerika, kemampuan seseorang untuk
berbahagia dalam segala situasi berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya.
Seseorang yang dikatakan taat beragama belum tentu cerdas secara spiritual. Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual?
Sayangnya, masih menurut DR
jalaluddin Rakhmat, di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering diartikan
rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama.
Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru. Padahal kecerdasan spiritual
itu kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Ada juga orang yang
mengartikan kecerdasan spiritual itu sebagai kemampuan untuk tetap bahagia
dalam situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya.
Mengutip Tony Buzan, pakar
mengenai otak dari Amerika, DR jalaluddin Rakhmat menyebutkan bahw ciri orang
yang cerdas spiritual itu di antaranya adalah senang berbuat baik, senang
menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, jadi merasa rnemikul
sebuah misi yang mulia kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam
semesta (Tuhan atau apapun yang diyakini, kekuatan alam semesta misalnya), dan
punya sense of humor yang baik. Di Amerika, pelatihan-pelatihan kecerdasan
spiritual ditujukan untuk itu, yaitu melatih orang memilih kebahagiaan di dalam
hidup.
Tapi belakangan kecerdasan
spiritual itu menurut penelitian-penelitian di bidang neurologi (ilrnu tentang
syaraf) justru punya tempat di dalam otak. Jadi ada bagian dari otak kita
dengan kemampuan untuk mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, untuk melihat
Tuhan. Dalam hal ini maksudnya adalah menyadari kehadiran Tuhan di sekitar kita
dan untuk memberi makna dalam kehidupan. jadi ciri orang yang cerdas secara
spiritual di antaranya adalah bisa memberi makna dalam kehidupannya.
Penelitian itu dilanjutkan sampai
muncul aliran di dalam psikologi yang membuat terapi baru. Dulu kalau ada orang
depresi diobati dengan obat anti depresi seperti prozak, sekarang cukup disuruh
beramal, menolong orang lain, ternyata terjadi perbaikan. Dengan menolong dan
beramal, dia menemukan bahwa hidupnya bermakna, dan itu namanya kecerdasan
spiritual, jadi orang yang cerdas spiritual itu bukan yang paling rajin
salatnya, tapi yang senang membantu orang lain, mempunyai kemampuan empati yang
tinggi, juga terhadap penderitaan orang lain, dan bisa memilih kebahagiaan
dalam hidupnya.
Banyak orang menjadi ateis itu
bukan karena argumentasi rasional tapi karena tingkah laku para pemeluk agama
yang mengecewakan mereka misalnya melihat orang-orang beragama yang tidak bisa
menghargai perbedaan pendapat, merasa dirinya paling benar, dan suka menghakimi
orang lain.”
“jadi ada orang yang tidak
mempersoalkan Tuhan, yang penting bisa berbuat baik kepada orang banyak. Ini
ciri orang yang cerdas spiritual juga. Sekarang baru terbukti secara psikologis
bahwa banyak menolong orang itu membuat bahagia. Mengapa? Karena dengan begitu
kita jadi menemukan misi hidup.” Demikian penjelasan DR |alaluddin Rakhmat.
download file
download file
Tidak ada komentar:
Posting Komentar