Latar Belakang
Pada suatu hari seorang guru
fisika disebuah sekolah menengah menerangkan kepada para siswanya bahwa hidup
manusia tidak lain adalah proses pembakaran. Mendengar keterangan sang guru
itu, seorang siswa secara spontan melontarkan suatu pertanyaan tajam yang
bernada menggugat,"kalau begitu, lalu apa artinya hidup manusia didunia
ini?" (Frankl, dalam Koeswara, 1992).
Pembicaraan mengenai SQ atau
kecerdasan spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar
belakangnya. Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama
diperbincangkan, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi
dikenal tiga aliran besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang
berkembang pada saat kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme,
psikoanalisis dan humanistis. Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan
konsep-konsepnya dari aliran humanistis. Aliran humanistis ini kemudian
mengembangkan sayapnya secara spesifik membentuk psikologi transpersonal,
dengan landasan "pengalaman keagamaan" sebagai peak experience,
plateau dan fartherst of human nature. Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan
Marshall, 2000) psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam
pandangan spiritual dan transpersonal.
Penelusuran pemahaman kecerdasan
spiritual (SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya
persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992) bahwa sebagian besar masyarakat
sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:
ü Sikap
masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam
menghadapi masa depan hidupnya.
ü Sikap
fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai sesuatu yang
mustahil dan membuat rencana bagi masa depan adalah kesia-siaan.
ü Pemikiran
konformis dan kolektivis. Yaitu cenderung melebur dalam masa dan melakukan
aktivitas atas nama kelompok.
ü Fanatisme,
yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain.
Dengan ciri-ciri tersebut manusia
berjalan menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri
sebagai sesuatu yang "tidak lain" (nothing but) dari refleks-refleks
atau kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis
(psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga
konteks tersebut maka manusia "tidak lain" dalah mesin. Kondisi
tersebut merupakan penderitaan spiritual bagi manusia.
Mengenalkan SQ
Pengetahuan dasar yang perlu
dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual
(SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya
secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti
nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai
itu sendiri.
SQ adalah fasilitas yang
berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan
menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut
masalah eksistensial, yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak
oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan
kesedihan. Dengan dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalah hidupnya dan
berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang
"dalam" pada diri seseorang menyangkut perjuangan hidup.
Perbedaan Otak IQ, EQ dan SQ
Penelusuran kecerdasan spiritual
tampaknya merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan
emosional (EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis
makna hidup. Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan
tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat,
tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam
batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin
menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga.
Otak EQ cara kerjanya berfikir
asosiatif. Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi
antarhal, misalnya antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara
ibu dan cinta, dll. Pada intinya pemikiran inimencoba membuat asosiasi antara
satu emosi dan yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar.
Kelebihan cara berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan
pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia
dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan
sebelumnya, merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas.
Kelemahan dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua
orang yang memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari
pernyataan "saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya,
tetapi saya tidak dapat memiliki emosi anda".
Otak SQ cara kerjanya berfikir
unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar
unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan
reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan baru.
Kemampuan inimerupakan ciri utama
kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang
makna dan nilai yang lebih tinggi.
Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik
1) Kemampuan
bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2) Tingkat
kesadaran diri yang tinggi
3) Kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan
untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5) Kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6) Keengganan
untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7) Kecenderungan
untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8) Kecenderungan
nyata untuk bertanya "mengapa?" atau "bagaimana jika" untuk
mencari jawaban-jawaban mendasar
Mandiri
SQ yang berkembang dengan baik dapat
menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya. Dengan
"makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas
"menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang
merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu
dengan dunia. Ungkapan syair yang dikemukakan oleh Gothe ini mampu mewakili
karakteristik seseorang yang memiliki SQ (Fromm, 1987):
Harta Milik
Kutahu tak ada yang milikku
Namun pikiran yang lepas bebas
Dari jiwaku akan membanjir
Dan setiap saat nan menyenangkan
Yang oleh takdir yang cinta kasih
Dari kedalaman diberikan buat
kenikmatanku
Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi besar yang dimiliki
manusia, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi adalah kecerdasan
spiritual.
Danah Zohar (Harvard University)
dan Ian Marshall (Oxford University) mendefinisikan kecerdasan spiritual
(Spiritual Quotient ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau
value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks
makna yang lebih luas, kaya dan mendalam; kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain.
SQ menjadi landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan dan mensinergikan IQ dan EQ secara integral,
efektif dan menyeluruh. Melalui SQ, pemikiran, perilaku dan perihidup manusia
diberi makna dan bermuatan makna spiritual.
Kecerdasan spiritual (Spiritual
Quotient ) menyadarkan kita akan tujuan hidup dan pemaknaan kehidupan yang kita
jalani. Bahwa hidup memiliki arah dan tujuan hidup, bahwa setiap kehidupan
memiliki pemaknaan yang tidak sekedar makna-makna bersifat duniawi.
Spiritual Quetient (kecerdasan
spiritual) memformulasi dirinya melalui value yang terbit lewat suara hati.
Secara halus dan subtil, ia menempati ruang di relung hati manusia. Dan suara
hati melintasi waktu, tempat, ras, suku bangsa dan agama. Kecerdasan spiritual
melintasi batas agama (religion). Meski demikian, pemaknaan yang mendalam dan
lurus terhadap agama yang dianut akan menjadi landasan yang kuat bagi tumbuh
dan berkembangnya suara hati dalam diri manusia.
Antara Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan
Spiritual
Daniel Goleman, seorang pakar
kecerdasan emosi (Emotional Quotient) berpendapat bahwa peningkatan kualitas
kecerdasan emosi sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ). Jika
kemampuan murni kognitif (IQ) relatif tidak berubah, maka kecakapan emosi dapat
dipelajari dan ditingkatkan secara signifikan. Dengan motivasi dan usaha yang
benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.
Kecerdasan emosi ini dapat meningkat, dan dapat terus ditingkatkan sepanjang
kita hidup.
Lalu, antara IQ dan EQ, lebih
penting mana? Dari sudut pandang saya, saya memilih EQ dulu baru IQ. Secara
kondisi normal saja, saya lebih suka berdiskusi dengan orang yang memiliki
empati baik, simpati, pribadi yang hangat, bisa memahami dan mau mendengarkan
perkataan orang lain, daripada ia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata
namun miskin simpati, empati, pribadi yang dingin dan tidak mau
memahami/mendengarkan perkataan orang lain. (Sobat sendiri mungkin punya
pandangan lain? Silahkan berkomentar).
Namun demikian, pernahkah Anda
mengalami hal demikian.
Suatu saat dalam hidup Anda, Anda
dipertemukan dengan seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik.
Orangnya simpatik, bisa berempati, pribadi yang hangat, mampu memahami orang
lain, dan jika berdiskusi, terkesan memahami masalah kita dan mau mendengarkan
segala permasalahan kita dengan sungguh-sungguh. Hingga suatu saat, ketika kita
benar-benar percaya, ternyata akhirnya kepercayaan kita itu disalahgunakan
olehnya?
Salah seorang sahabat saya,
pernah mengalami hal demikian. Dan tidak dapat terkatakan betapa dalam rasa
kecewanya.
Ini hanya contoh nyata yang bagitu
"sederhana" saja, untuk mengatakan bahwa ternyata, kecerdasan emosi
(EQ) saja belumlah cukup. Bagaimana kecerdasan emosi bisa disetir untuk hal-hal
yang tidak menguntungkan sesama. Pada akhirnya, kita masih membutuhkan satu
kecerdasan lagi, kecerdasan tertinggi kita, yaitu kecerdasan spiritual.
Kecerdasan yang menjadi pedoman, arah, dan tujuan untuk apa dan bagaimana kita
menjalani kehidupan ini. Agar prestasi duniawi yang kita capai, semakin
bermakna dan tidak kehilangan arah. Karena selalu diarahkan oleh sang suara
hati.
"Perjalanan Spiritual
Berarti Perjalanan Jiwa Terdalam Untuk Menemukan Keabadian Jiwa Di Dalam
Perasaan Tegar, Sabar, Dan Penuh Syukur Kepada Tuhan." - Djajendra
J.P.Vaswani, seorang guru
spiritual dari India berkata melalui bukunya, A Little Book of Wisdom.
"Dua hal mendasar bagi kebahagiaan dan ketenangan pikiran kita adalah
cinta dan karya. Kita harus melupakan diri kita dan mencintai yang lain, tanpa
memikirkan imbalan. Dan kita harus bekerja berdasarkan cinta kita kepada Tuhan.
Aspirasi hati kita haruslah selalu:"demi engkau,ya,Tuhan!" tidak ada
cara lain untuk menuju kebahagiaan dan kedamaian pikiran." selanjutnya
beliau juga berkata."Buatlah orang-orang merasakan bahwa mereka lebih
baik, dan lebih besar dari yang selama ini mereka pikirkan. Maka kau akan
membantu mereka mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka. Dan yang terbaik
tidak mengenal batasan." Saya sangat suka dengan rangkaian kata-kata
J.P.Vaswani di atas. Cinta, karya, Tuhan, dan membesarkan kehidupan adalah tanda-tanda
terpenting menuju jalan spiritual. Jalan spiritual akan membentuk karakter
untuk menemukan kekuatan jati diri sejati. Kita semua harus jujur kepada diri
sendiri bahwa kehidupan yang kita miliki ini sangat abstrak, dan tidak mudah
untuk dipahami sepenuhnya dengan pengetahuan dan pengalaman. Termasuk tidak
semua persoalan dan tantangan kehidupan yang bisa dipecahkan melalui logika dan
akal sehat. Kehidupan kita ini selalu menjadi misteri yang membutuhkan
perjalanan panjang spiritual untuk menemukan diri sejati yang abadi. Dan sering
sekali kehidupan memiliki caranya sendiri untuk memaksa kita melakukan
perjalanan spiritual. Biasanya orang-orang mulai sadar untuk melakukan
perjalanan spiritual setelah dirinya tak berdaya menghadapi realitas kehidupan
sehari-hari. Realitas kehidupan yang penuh dengan kesulitan-kesulitan dan
tantangan kehidupan yang luar biasa berat. Sebuah contoh, sering sekali kita
terperangkap kepada situasi-situasi kehidupan tersulit. Hal ini bisa terjadi di
semua aspek kehidupan. Apakah itu di aspek ekonomi, keluarga, pribadi,
lingkungan, sosial, atau dalam aspek-aspek kehidupan yang sangat sulit untuk
diidentifikasikan dalam logika. Dan sangking sulitnya, semua jalan keluar
seolah-olah tertutup, dan kita mengalami kebingungan dijalan buntu kehidupan.
Biasanya, disinilah kehidupan memaksa kita untuk belajar tentang nilai-nilai
kehidupan spiritual, yaitu nilai-nilai kehidupan yang mensyukuri kebaikan sang
pencipta kepada diri kita. Semua ini akan kita pahami setelah kita memiliki
spiritual mind set. Spiritual mind set berarti menyatunya jati diri dalam alam
semesta melalui cinta, karya, kerja, dan kebesaran Tuhan. Spiritual mind set
berarti tidak melihat kesulitan dan tantangan kehidupan dari sudut pandang
kemarahan, ketakutan, dan ketidakmampuan; tetapi selalu melihat masa-masa sulit
sebagai waktu untuk belajar kebijaksanaan hidup, sebagai waktu yang tepat untuk
belajar cinta dan kepedulian kepada semua ciptaan Tuhan, tanpa pernah
menciptakan perbedaan atas keragaman kehidupan yang Tuhan ciptakan.
Ketika di dalam diri sudah
terbentuk spiritual mind set, maka diri kita akan semakin tangguh dengan
fondasi yang kokoh untuk meningkatkan perasaan damai dan bahagia, akan
memperkuat rasa percaya diri dalam upaya mengoptimalkan potensi diri yang hebat,
akan meningkatkan kekuatan fokus dan konsentrasi diri dalam hal apa pun, akan
memperkuat jati diri yang selalu merasa syukur kepada kebaikan Tuhan, akan
memperkuat terangnya visi kehidupan pribadi, dan akan meningkatkan kualitas
tidur dalam perasaan nyaman.
Spiritual mind set akan menjadi
lahan subur untuk pertumbuhan kearifan dan kebijaksanaan hidup, yang tidak
dikendalikan oleh ego kepentingan diri sendiri atau pun kelompok, tapi cerdas
memahami kebesaran Tuhan melalui keragaman dan perbedaan sebagai warna-warni
kehidupan yang terindah.
Untuk bisa memiliki spiritual
mind set yang tak tergoncangkan oleh hal apapun, maka kita wajib memahami bahwa
kehidupan spiritual atau pun perjalanan spiritual itu bersifat unik dan sangat
pribadi, sehingga tidaklah mungkin kita bisa menggurui orang lain tentang
perjalanan spiritual.
Perjalanan spiritual itu adalah
pengalaman individu yang sangat pribadi dengan kebesaran Tuhan. Oleh karena
itu, spiritual mind set yang ada di dalam jati diri kita baru akan menjadi
efektif, saat diri kita menghormati pengalaman spiritual orang-orang lain, saat
diri kita menghormati identitas orang lain, saat diri kita menghormati
keyakinan dan kepercayaan orang lain, saat diri kita menghormati
kebiasaan-kebiasaan dan tradisi orang lain, saat diri kita menghormati
kemampuan orang lain, serta saat diri kita terbiasa menghormati lingkungan
kehidupan orang lain dengan cinta dan kepedulian.
Sudah tertanam anggapan umum
masyarakat, anak yang nilai matematikanya kurang bagus dikelompokkan sebagai anak
bodoh. Wajar jika sebagian besar orang tua cemas bila anaknya kurang pandai
matematika.
Padahal kecerdasan tidak hanya
terbatas pada intelektual, dikenal juga kecerdasan emosional (emotional
intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).
Jika kecerdasan emosional memang
membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi, untuk menemukan
kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual diyakini
sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis
kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti
roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas.
Roh bisa diartikan sebagai energi
kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual
berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan
karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti
kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya
sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan
memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan
hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi
Menurut Roberts A. Emmons dalam
buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang
cerdasa secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik
dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak,
kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan
untuk berbuat baik.
“Dua karakteristik yang pertama
sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual,” ujar Emmons.
Orang yang cerdas secara
spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional
saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk
pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran
pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Pengamat dan pakar pendidikan,
DR. H. Arief Rachman MPd mengemukakan pentingnya mengembangkan potensi anak
untuk mendukung kecerdasan majemuk. Menurut Dosen Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) itu, orangtua hendaknya mengenali ragam potensi kecerdasan anak yaitu
potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, potensi
jasmani.
Potensi spiritual terdiri dari
kemampuan menghadirkan Tuhan atau keimanan dalam setiap aktivitas, kegemaran
berbuat untuk Tuhan, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan bersyukur atas
pemberian Tuhan kepada kita. Sedangkan potensi perasaan mencakup pengendalian
emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan
sesaat dan berkepribadian stabil.
Menurut Psikolog Anak &
Remaja Lentera Insan Child Development & Education Center, Hj. Fitriani F.
Syahrul, Msi.Psi, perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya sebagai salah satu
waktu yang tepat dalam mengasah kecerdasan spiritual.
Sayangnya, masih banyak orangtua
yang belum mencontohkan hari raya Idul sebagai ajang untuk membersihkan jiwa
sehingga kembali suci. Namun, masih sebatas ritual seperti baju baru atau
pemberian angpau pada waktu silaturahmi ke rumah kerabat.
“Sebenarnya bermaaf-maafan itu
sebaiknya dilakukan sebelum bulan puasa, kemudian kita menjalankan ibadah puasa
sebaik-baiknya. Sehingga memudahkan kita untuk kembali suci diri pada hari Idul
Fitri,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Selain itu, mengasah kecerdasan
spiritual juga dapat dilakukan dengan mengajarkan anak-anak bersyukur atas
makanan yang lebih banyak di hari raya Lebaran sebagai berkah atas ketakwaan
yang dilakukan selama bulan Ramadhan.
Yang sering dilupakan oleh kaum
muslim di Indonesia ialah perayaan dari Hari Raya Kurban atau Idul Adha.
Padahal, lanjut Fitri, Idul Adha merupakan salah satu simbol dari penaklukan
hawa nafsu manusia dan pasrah kepada perintah Tuhan.
“Hari raya Idul Fitri juga
sebaiknya jangan berlebih-lebihan, karena ada ibadah puasa Syawal yang harus
dilakukan umat muslim,” pungkas Fitri. (Republika)
Saya sependapat dengan
pandangan-pandangan bapak yang bapak kemukakan diatas bahwa kecerdasan
spiritual memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan diantara
kecerdasan-kecerdasan yang lainnya. Karena seseorang seseorang sudajh mampu
mendapatkan kecerdasan ini dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari akan
dapat mencerap kebermaknaan hidup disetiap fenomena yang dialami, melakukan
pekerjaan atas ridho Allah semata. Untuk mencapai kecerdasan spiritual yang
sebenarnya dibutuhkan upaya dan do’a untuk meraihnya. Mungkin tidak mudah, tapi
dengan adanya kemauan yang kuat dan kesadaran penuh serta do’a meminta
pertolongan Allah, insyaAllah Allah akan memudahkannya. Manusia adalah makhluk
yang berproses, proses tumbuh kembang dengan seluruh aspek yang dimilikinya
untuk mengaktualisasikan diri. Begitu juga dalam pencapaian Kecerdasan ini,
semoga Allah , Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati memudahkan setiap
tingkatan ingin mencapai Kecerdasan spiritual yang kaffah. Setiap diri pasti
akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya, jadi penanaman nilai-nilai tersebut
memang harus diterapkan Sejak dini dan dengan cara yang baik dan benar
pula.Paradigma yang hanya memandng kecerdasan seseorang dari inteligensi saja,
harus disosialisasikan agar masyarakat tau akan kecerdasan yang sempurna itu
seperti apa…terima kasih
ya walau bagaimanapun,banyak
keluarga kecerdasan intelegensi menjadi hal yg paling penting,karena
intelegensi sangat dbutuhkan untuk masuk dalam sbuah sekolah favorit,atau jg
melamar pekerjaan,sekarng test UMPTN ataupun test CPNS juga menggunakan test
intelegensi(matematika,bahasa),namun banyak juga keluarga yang tidak menyadari
bahwa kecerdasan intelegensi/ilmu yg ddpt dr bangku sekolah hanya berpengaruh
sdikit dalam kehidupan seseorang,bahkan pengakuan sosial bnyk yg dilandasi oleh
kecerdasan intelegensi.
Dalam hidup itu tidak smua bs
diukur dengan kecerdasan intelegensi,tapi dalam hidup it yg penting adalah
kecerdasan spiritual dan emosional,karena kedua kecerdasan itu yg menentukan
baik tidaknya hubungan kita dengan Alloh ataupun dng makhluk Alloh yg lain,
Misal,bila kita memiliki
kecerdasan spiritual n emosi yang baik,maka kita dapat menjaga kekusyuan kita
dalam beribadah dan berdoa,dalam hubungan sosial kita dapat mendapat bnyak
teman,relasi,hubungan pasti menjadi lebih baik karena kita memiliki kecerdasan
spiritual dan emosi yang baik,yang dapat menimbulkan jati diri kita yang baik
dmata masyarakat,
memang kecerdasan spiritual adl
pokok dari kecerdasan lainnya,orang dengan SQ YAng tinggi maka dalam
berperilakupun juga sangat penuh pertimbangan2,karena Di dalam SQ Itu
mencakupjuga IQ,Dan EQ.Jika IQnya berkembang dengan baik maka orang tersebut
akan berusah untuk mengembangkan IQNYa,mau berpikir mau mencari informasi
penting,berusaha mendalami suatu pengetahuan maka secara otomatis orang
tersebut IQnya akan bagus, sehingga mereka juga akan bisa mengendalikan emosi
emosinya(emosinya stabil)jadi menurut saya cerdas intelectual,cerdas emosional
memang berawal dari cerdas secara spiritual lebih dulu.
Memang benar kecerdasan spiritual
menentukan jati diri seseorang. Apabila seseorang memiliki kecerdasan spiritual
yang baik maka ia dapat menunjukan jati diri yang tentu saja baik di mata orang
lain. Didalam kecerdasan spiritual itu terdapat kecerdasan lain yaitu EQ dan
IQ. Jadi setiap orang harus mempunyai kecerdasan spiritual karena lewat
kecerdasan ini seseorang dapat menentukan segala sesuatu yang baik dan
bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain yang tentunya tidak menyimpang
dari ajaran agama.
Saya sangat setuju dengan
pendapat di atas bahwa :”Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk
dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual
maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual
berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani
dan ke manakah kita akan pergi.
Masalahnya adalah seseorang juga
punya sisi kehidupan sosial dimana ia berinteraksi dengan orang lain termasuk
di luar rumah atau masyarakat. Sebagian masyarakat, kadang - kadang membuat
ukuran nilai yang kurang mengarah pada kecerdasan spiritual dan mendewakan
keduniawian yang semu. Contoh : Kehormatan hanya dipandang melalui harta,
kedudukan, pangkat dan derajat. Akibatnya seseorang terjebak pada keinginan
pemenuhan hal-hal tersebut, sehingga kalau tidak memperoleh hal-hal seperti itu
menjadikannya terjerembap dalam keminderan dan lebih parahnya memicu pada
kesetresan.
Nah untuk itu, Kecerdasan
spritual dalam rangka menentukan jati diri hendaknya diiringi dengan sikap
maupun pola pikir bahwa penilaian negatif dari luar yang tidak mendasar
(termasuk menerima perlakuan :diremehkan)dapat dijadikannya sebagai sarana
ibadah hati (yaitu sabar dan tawakal).
Saya tertarik dengan pernyataan
“Jika kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses
dalam hidup. Tapi, untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan,
diperlukan kecerdasan spiritual”
Berarti apakah identitas
kecerdasan itu tidak hanya terbagai menurut ranah asal-muasal saja
(intelektual, emosi dan sprit) tapi juga dari “goal” nya?
EQ = mempermudah pencapaian
sukses dalam hidup
SQ = menemukan kebahagiaan dan
makna dalam kehidupan
IQ = (….membuat kita merasa
cerdas atau tidak)
Terlepas dari masalah definitif
tersebut,saya merasa memang spiritual quotient lah yang paling minim resiko
negatif. Entah apakah analogi saya benar atau salah. Tapi semakin tinggi IQ dan
EQ, semakin tinggi pula probabilitas orang itu menghadapi cobaan untuk menjadi
sombong. Tetapi semakin tinggi SQ, orang akan semakin tahu cara untuk
“merunduk”. Karena semakin seseorang mendekatkan diri pada yang “Meniupkan Ruh”
maka orang tersebut akan semakin menyadari bahwa dirinya tidaklah
sempurna..tapi hanyalah makhluk yang terus menerus menggunakan nikmat hidup
dalam tarikan nafasnya untuk memperbaiki diri.
Menurut saya sebagai orang awam,
memang benar jika orang yang pandai di identikkan dengan pandai menyelesaikan
soal-soal matematika, dan pelajaran sains lainnya. akan tetapi alangkah baiknya
jika kita bisa menyeimbangkan antara IQ, SQ, EQ. karena jika kita hanya unggul
dalam IQ saja, kita akan menjadi seorang yang pandai akan tetapi tidak memiliki
spiritual dan emotional yang baik sehingga kita tidak akan dapat
mempertanggungjawabkan ilmu yang kita dapatkan dan hal tersebut dapat merugikan
orang lain.
Jati diri adalah hal yang nampak
dari hati. Bila jati diri belum nampak maka yang perlu dipertanyakan adalah
sesuatu yang ada dalam hatinya. Apakah ada hal yang benar atau salah, yang
menentukan adalah hatinya. Kecerdasan spiritual bukan melulu mengenai ibadah,
kecerdasan yang diperoleh dari dalm hati dan dengan sumber yang jelas yaitu
agama. Jika agamanya dijalankan dengan baik berarti kecerdasan spiritualnya
juga baik. Lalu hasilnya adalah jati diri tadi dengan inteligensi dan emosional
yang berada di belakangnya.
Jadi, Orang akan hidup bahagia,
jika EQ, IQ, SQ selaras didalam hidupny?
Hal it, mungkin sulit bagi
beberapa orang, karena belum paham, bagaimana mengolah kecerdasan2 tersebut
dengan baik, tanpa melenceng dari yang seharusnya.
Walaupun, ada juga yang mengikuti
bimbingan atau pelatihan2 tentang kecerdasan2 tersebut. Memang pertamanya sadar
dan mencoba untuk mengamalkan ilmu2 yang didapat secara baik.
Akan tetapi, 2-3 bulan, dst.
Banyak juga yang akhirnya tidak dapat menyelaraskan kembali, dan hidup kembali
seperti dahulu, tidak dapat menemukan jati diri dan kurang dalam pengendalian
emosionalnya.
Tapi, tergantung dari orangnya
sich..
semua komponen hidup haruslah
selaras agar mencapai hidup yang bahagia. Tidak hanya dinilai dari 1 komponen
saja.Kekurangan yang terdapat pada 1 komponen bukanlah kegagalan yang terjadi
tapi hanyalah proses dari hidup ini untuk menjalani kesempurnaan..
jangan jadikan kekurangan sbg
kelemahan kita tapi jadikan kekurangan sbg kelebihan yang membuat kita bangga
akan kuasa yang telah diberikan kepada manusia dari ALLAH SWT..
Kedua hal seperti kecerdasan
emosional dan spiritual sangat penting untuk kesuksesan dan kebahagian hidup
kita,bukan salah satunya tapi kedua-duanya….
Manusia yang mulia, adalah
manusia yang cerdas bukan secara akademik saja, tapi harus diimbangi kecerdasan
secara spiritual. Seharusnya pemahaman tentang ilmu agama sudah diberikan
kepada anak sejak dini, tapi sayang di era globalisasi ini, orangtua terkadang
mengabaikan urusan pendidikan agama anak-anaknya, mereka lebih sering
mementingkan ilmu dunia saja, tanpa ilmu pembekalan akhirat. Sebagai umat
muslim,mari kita cetak generasi sholeh dan sholihah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar