Rabu, 04 Mei 2016

Cinta Ini Masih Ada (Bagian 6)


Karya : Ipey
        Pengawas memohon seluruh peserta mengumpulkan kertas lembaran jawaban, karena waktu telah sampai pada detik akhir yang telah di tentukan. Satu persatu para peserta ujian keluar dari ruangan dengan tertib dan teratur. Rhaka berjalan dengan langkah cepat ke arah kantin di samping sekretariat senat mahasiswa fakultas ekonomi. Setelah membayar di kasir dan meminta pegawai kantin untuk mengantarkan makanan yang ia pesan, ia bergegas menuju ruang sekretariat KSM untuk berganti pakaian. Hari itu adalah hari terakhir ia mengikuti ujian yang diselenggarakan panitia ujian akhir semester di kampusnya. Untuk sementara ia dapat menarik nafas lega, karena telah menyelesaikan bagian dari kewajibannya sebagai mahasiswa. Kini ia tinggal menunggu pengumuman hasil ujian yang biasa di umunkan di sela-sela liburan semester.

Rhaka mempersilahkan pegawai kantin masuk dan meminta untuk meletakkan makanan yang ia pesan di meja yang tersedia di ruang sekretariat. Selagi masih hangat, ia tak membiarkan makanannya tergeletak lebih lama di atas meja. Dengan lahap ia menyantap hidangan tanpa melirik sana sini karena di ruang sekretariat saat itu tak ada siapapun selain dirinya. Rhaka tak sempat sarapan sebelum pergi ke kampus tadi pagi sehingga perutnya terus menerus meminta untuk diisi sejak ia mengerjakan soal ujian. Rendy yang kebetulan lewat dan mendapatinya berada di ruang sekretariat mengurungkan niatnya untuk meneruskan langkah kaki menuju basement tempat dimana sepeda motornya di parkir. Ia mendatangi sahabatnya dengan raut muka seperti orang tengah kebingungan setelah tak mendapat pinjaman untuk membayar hutang yang harus dilunasi saat itu juga. Rhaka menawarkan berbagi makanan yang tengah disantap dengannya. Rendy menggelengkan kepala, kemudian ia mengambil pisang di samping gelas berisi teh hangat dan melahapnya. Iring-iringan mahasiswa dan mahasiswi hilir mudik di sepanjang teras ruang sekretariat UKM. Para peserta yang telah selesai mengikuti ujian berbondong-bondong meninggalkan gedung kampus, berganti giliran dengan peserta ujian sesuai jadwal yang telah di tetapkan. Rhaka meneguk teh hangat setelah ia menghabiskan makanan yang di pesan.
“Berapa lagi ujian mata kuliah yang harus kau ikuti Ren ?”. Rhaka memulai pembicaraannya. Rendy menggeser tubuhnya kedepan, mengambil gelas teh kemudian meneguknya perlahan. “Tinggal satu mata kuliah lagi yang harus aku selesaikan hari ini. Aku merasa tak yakin hasil ujian semester kali ini akan sebaik semester lalu. Tadi aku satu ruangan dengan Lembayung, karena mengambil mata kuliah semester bawah. Aku berharap dosen akan mempertimbangkan untuk memberikan nilai kelulusan padaku, mengingat ini yang kedua kalinya aku mengikuti ujian mata kuliah yang sama. Aku tak ingin mengulangnya kembali di semester mendatang, karena aku khawatir ia tak akan mengadakan ujian remedial seperti tahun lalu”. Rendy mencurahkan keresahan pada sahabatnya. Rhaka menyimak setiap kata yang dilontarkan Rendy padanya. Ia mencoba meyakinkan sahabatnya bahwa dosen akan memberikan kebijaksanaan padanya mengenai hasil ujian yang baru saja diikuti. Ia menyarankan agar Rendy menemui dosen mata kuliah tersebut agar mengetahui bahwa ia telah mengikuti ujian mata kuliah yang sama untuk kedua kali.  Rhaka menyimpan kalimat yang baru saja akan ia ucapkan ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu menatap ke arahnya. Ia beranjak dari tempat kemudian menghampiri dan mempersilahkannya masuk. Lembayung mengangguk dan melemparkan senyum pada Rendy yang menyapa sambil melambaikan tangannya.
“Masih ada ujian hari ini Ka ?”. Lembayung menyampaikan pertanyaan mengenai aktivitas yang akan di jalani Rhaka hari ini. Rhaka menggelengkan kepala, kemudian balik mempertanyakan kegiatan Lembayung setelah baru saja mengikuti ujian. Satu minggu menjelang di selenggarakannya ujian akhir semester, Rhaka dan Lembayung tak pernah saling bertemu. Mereka mencoba berkonsentrasi untuk mempersiapkan ujian semester, sehingga memutuskan untuk tidak saling bertemu dulu sampai penyelenggaraan ujian selesai di laksanakan. Setelah berbincang beberapa saat, Rhaka berpamitan pada Rendy untuk menemani Lembayung pergi.
Dengan masih mengenakan pakaian seragam ujian hitam putih Lembayung berjalan berkeliling mengitari salah satu tempat perbelanjaan di Dalam Kaum. Berbagai produk yang di pajang penjual menjadi pemandangan menarik bagi setiap pengunjung untuk menghampiri, meski hanya sekedar melihat-lihatnya. Lembayung berhenti di depan counter yang menawarkan beraneka ragam accesoris. Di etalase terpajang berbagai hiasan kerajinan perak Bali mulai dari cincin, kalung, gelang dan anting-anting hingga penjepit rambut, yang semuanya terlihat indah dipandang mata. Berbagai macam hiasan yang terbuat dari batu alam pun tersedia di sana. Lembayung meminta pelayan mengambilkan gelang batu yang melingkar di tempat pajangan, kemudian ia minta Rhaka untuk mencobanya. Ia menatap hiasan batu yang kini melingkar di pergelangan tangan Rhaka, kemudian menimbang-nimbang cocok atau tidaknya gelang itu berada di sana. Ia berbincang beberapa saat dengan Rhaka untuk menanyakan ya atau tidak barang itu mereka beli. Setelah beradu tawar dengan pelayan counter ia memberikan sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak. Lembayung kembali melangkahkan kaki berjalan mencari sesuatu yang telah ia rencanakan untuk dibeli. Jari jemarinya melingkar menggenggam tangan Rhaka yang berjalan disampingnya. Berada di dekatnya ia merasakan ada kenyamanan dan ketenangan dalam dirinya. Ia merasa terlindungi dan terlebih perhatian Rhaka terhadapnya yang menjadikannya ingin selalu berada di dekatnya. Rhaka telah menjadi satu alasan yang membuat dirinya memberikan penolakan serta menjauh dari setiap laki-laki yang berusaha mengharapkan lebih dari sekedar berkawan biasa dengannya. Kesederhanaan serta  kerendahan hati yang di tunjukkan padanya, dan juga pada kawan - kawannya telah benar-benar memikat hatinya untuk menambatkan harapan pada lelaki yang kini berada disampingnya. Kesungguhan perhatian yang diberikan Rhaka padanya telah berhasil meluluhkan hatinya yang sempat membeku. Meski ia belum mendengar pengakuan serta pernyataan Rhaka akan hubungannya selama ini, namun ia yakin bahwa sikap yang ditunjukkan Rhaka terhadapnya merupakan cerminan bahwa ia tak sekedar menganggapnya sebagai teman biasa. Namun Lembayung berpikir suatu saat nanti ia perlu juga menanyakan hal itu padanya untuk meyakinkannya.
Lembayung menunjuk gaun yang terpajang di patung peraga busana dan meminta pelayan toko mengambilkan barang tersebut untuknya. Ia memohon izin mencoba gaun  pilihannya terlebih dulu sebelum memutuskan untuk membelinya. Rhaka memberi komentar mengenai pakaian yang melekat di tubuhnya. Ternyata komentar itu telah memantapkan pendiriannya untuk memliki gaun tersebut. Ia pun membayar pakaian yang dipilihnya, kemudian berlalu meninggalkan tempat perbelanjaan.
Selepas mengantar Lembayung ke tempat kostnya, Rhaka berpamitan pulang dan berjanji untuk menemuinya kembali nanti malam.
Rhaka merebahkan tubuhnya di pembaringan yang tak berlapis kain seprey dengan masih mengenakan kain sarung selepas menengadahkan tangannya pada penguasa jagat raya. Berharap sang maha suci pencipta semesta raya memberi setetes kuasa yang tergenggam dalam keabadian pada hambaNya yang berlumur noda. Benaknya berputar-putar menembus kegelisahan, melayang di bawa hembusan angin hingga menyentuh awan di langit tinggi. Berjuta kata menari-nari, bertebaran saling berkejaran dan berlari mengitari awan putih, seputih kasih anak Adam pada pujaan hati yang telah menaburkan benih kerinduan. Kerinduan yang kini menggelayut di dinding sanubari, menggelitik lamunan beranjak pergi untuk mengubah mimpi menjadi nyata. Tak harus menanti hingga mentari membelai embun pagi di ujung ilalang, karena tanah kering tak sanggup lagi menahan dahaga. Seperti dahaga yang kini di rasakannya, berharap sebaris kata hinggap dalam benaknya untuk ia ungkapkan pada wanita yang telah mampu meluluhkan hatinya. Angin pun berbisik lirih, menelisik sendi-sendi keakuannya agar tak berlama-lama termenung dan berdiam diri tanpa suara. Rindu akan kebersamaan dengan bidadari di romansanya telah menjadi magnet yang menarik tubuh Rhaka untuk beranjak dari kesunyian, dan melangkahkan niat menuju keindahan cinta yang menghiasi imajinasinya.
Roda-roda kendaraan yang ditumpanginya seakan bergerak lamban, tak seperti keinginannya untuk cepat-cepat berada di samping wanita yang mungkin sebentar lagi akan menjadi kekasihnya. Kendaraan di jalan raya tak sepadat siang tadi ketika ia mengantar Lembayung pulang selepas membelikannya sesuatu yang kini melingkar di pergelangan tangannya. Hanya beberapa kendaraan roda dua dan mobil pribadi melintas disela-sela laju angkutan umum yang bergerak perlahan mecari penumpang di sepanjang jalan lintasannya. Persimpangan jalan menghentakkan kaki pengemudi menginjak pedal rem, menepikan kendaraan mendekati trotoar. Rhaka mengayun langkah kaki setelah kepingan uang logam ia berikan pada laki-laki di belakang kemudi. Detak jantungnya berirama seiring jarum jam yang terus bergerak mengitari putaran waktu. Ini kali pertama ia berkunjung ke tempat Lembayung pada malam hari.
Sementara itu diredup cahaya lampu yang menerangi teras depan rumah, Lembayung duduk merenung mengingat kebersamaannya dengan Rhaka di tempat perbelanjaan tadi siang. Dalam benaknya ia berharap janji yang telah membuatnya menanti tak sia-sia di hempas angin malam. Bukan tanpa tujuan ia menaburi bagian tubuhnya dengan wewangian, sehingga gaun yang melekat memberi kesan tersendiri bagi orang yang berada dekat dengannya. Pagar halaman yang masih tertutup rapat akan ia bukakan untuk orang yang kan selalu merindukan kehadirannya. Dan kini lelaki itu tengah berdiri tegak di balik pagar, melambaikan senyum dengan tatapan mata yang membuat jantungnya berdebar tak beraturan. Lembayung beranjak dari tempat duduk, melangkah perlahan meraih senyuman yang ia yakini hanya di persembahkan untuknya, kemudian membuka pintu pagar dengan lukisan senyum di wajahnya dan merelakan Rhaka meneguk kesungguhan penantiannya.
Entah apa yang telah membuat kesunyian begitu ramah menyapa kebersamaan dua insan yang tengah dilanda romantisme ini. Mereka tak menunjukkan sikap seperti biasa jika mereka bertemu. Seperti sikap yang ditunjukkan mereka berdua tadi siang di tempat perbelanjaan. Rhaka menggeser kebisuan yang membuat ia merasa tak nyaman, berusaha menepis kegundahan dalam dirinya.
“Andai aku datang pada waktu dan tempat yang salah, sebaiknya tak berlama-lama berada disini dan tak menunggu di minta untuk pergi”. Ungkap Rhaka pada Lembayung yang masih berdiam diri, seakan tak percaya wanita tersebut adalah orang yang selama ini senantiasa menghiasi mimpi-mimpinya. Lembayung tak bergeming dari tempat duduknya. Ia  tersenyum mendengar kalimat yang nyata-nyata terlontar dari Rhaka untuknya.
“Aku tak akan membiarkan orang yang telah membuatku menunggu pergi begitu saja, sebelum ia mengatakan maksud kedatangannya ke tempat ini. Apalagi ia datang pada waktu dan tempat yang tepat”. Lembayung memberanikan diri mengungkapkan apa saja yang ada dalam benaknya saat itu. Rhaka menyeret kursi yang didudukinya ke depan dengan bernafas lega. Ia tak ingin membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Kemudian kata demi kata pun terucap bagai air mengalir, menelusuri ruang-ruang mencari celah untuk di masuki dan tak membiarkan kekosongan menganga sehingga kehampaan tak lagi terasa. Jantungnya  berdetak lebih cepat dari biasanya ketika ia sampai pada maksud yang utama, untuk apa ia berada di hadapan Lembayung saat ini.
“Apakah kau akan marah padaku, andai aku menjawab ya ketika orang-orang menanyakan apakah kamu kekasihku?”. Rhaka menatap wajah Lembayung, menanti jawaban penuh harap cemas.
“Maksudnya ?”. Lembayung balas menatap dengan senyum tersungging dibibirnya. Ia bukan tak mengerti maksud pertanyaannya, tapi ia mengharap Rhaka mengucapkan kata-kata lain yang lebih dapat meyakinkan dirinya. Rhaka coba memahami arti senyum di bibir Lembayung yang terlihat begitu manis menggoda. Ia raih kedua tangan Lembayung, kemudian  menggenggam jemarinya erat-erat.
“Aku berterima kasih karena selama ini kau telah memberiku perhatian, seperti saat aku terbaring tak berdaya waktu itu. Kau yang merawat luka di tubuhku hingga aku merasa hidup kembali. Kembali merasakan kerinduan yang begitu dalam untuk melanjutkan hidup. Kehidupan yang ingin aku lewati bersamamu, andai kau bersedia menerima kehadiranku dihatimu”.
Ia remas jemari Lembayung dengan lembut dan penuh perasaan. Kedua matanya masih tak beranjak dari wajah wanita yang telah membuat ia merasakan rindu saat berada jauh darinya.
“Satu hal yang membuat hidupku berarti adalah mencintai dan dicintai. Mencintai seseorang yang benar-benar ingin dicintai secara ikhlas dengan setulus hati. Bukan semata-mata karena apa yang dimiliki atau seberapa besar yang telah diberikannya, meski cinta itu selalu menuntut pengorbanan. Aku hanya ingin mencintaimu apa adanya tanpa berharap pamrih”. Rhaka mencurahkan semua isi hatinya semampu yang bisa ia ungkapkan pada Lembayung saat itu. Lembayung balas meremas jemari tangan yang telah membuat ia deg-degan, bagai melayang di awang-awang bertaburkan bunga-bunga cinta disetiap sudut hatinya.
“Aku selalu ingin dicintai secara tulus, karena itu yang akan membuat hidupku ini penuh makna. Aku pun ingin memberikan cinta ini hanya pada orang yang bersedia menerima segala kekurangan yang kumiliki. Cinta yang kan sanggup melewati hari-hari meski perbedaan akan senantiasa mewarnai kebersamaan”. Lembayung mengutarakan isi hati yang ia pendam selama berada dalam penantian. Berharap yang datang padanya malam ini benar-benar seseorang yang akan menjadi curahan hati disaat ia membutuhkan, tempat dimana ia dapat saling berbagi dikala senang dan sedih. Rhaka kembali mencoba menguak hati Lembayung yang mulai terbuka.
“Andai kau izinkan aku mengisi ruang di hatimu dengan segenap cinta yang ku miliki, aku akan berusaha untuk selalu ada disaat kau membutuhkanku. Namun seandainya ruang itu telah terisi dan tak mungkin untukku berada disana, aku berharap tak tumbuh rasa benci diantara kau dan aku. Biar semua ini akan tersimpan rapi menjadi sebuah kenangan disetiap angan dan mimpiku. Mungkin persahabatan diantara kita akan terasa lebih berarti”.
Bagaikan hujan di musim kemarau, Lembayung merasa dirinya larut dalam kesejukan. Ada kedamaian ia rasakan mendengar penuturan lelaki yang telah seringkali membuat dia merindukan kehadirannya. Kehadiran lelaki inilah yang telah meluluhkan hati dan menghanyutkan perasaannya dalam lautan asmara. Ia tak kuasa lagi membalas tatapan mata yang telah menusuk jantung hatinya. Sambil menundukkan kepala ia bicara dengan segenap perasaan. Ia menyatakan pengakuannya bahwa ia bersedia menerima kehadiran Rhaka disisinya untuk mengisi ruang kalbu yang merindukan belaian kasih sayang dari lelaki yang benar-benar mencintainya. Rhaka beranjak dari tempat, kemudian melangkah mendekati Lembayung yang masih tertunduk. Ia sibakkan rambut diwajah Lembayung yang tesipu dengan kedua tangan dan mengecup lembut keningnya penuh kasih.
“Aku akan berusaha menjadi lelaki yang sanggup memberi kesejukan serta kedamaian ketika amarah datang menghampirimu. Aku akan selalu berusaha untuk berada di dekatmu dikala kau membutuhkanku, dan aku akan berupaya semampuku menjaga keutuhan cinta ini”. Rhaka meyakinkan akan kesungguhan cintanya pada Lembayung yang berada dalam dekapan angannya.

Malam terasa bagai milik mereka berdua. Awan putih bertebaran membentuk senyum  indah bertabur bintang, bercahayakan sinar rembulan. Dua insan bergantian mengucap kata, berbagi kisah masa depan yang ingin di raihnya bersama.

Tidak ada komentar: