Karya : Ipey
Bagian Sembilan
Sejak peristiwa kerusuhan terjadi tiga minggu yang lalu Lembayung tak pernah melihat Rhaka berkeliaran atau nongkrong di sekitar kampus. Setiap kali Lembayung bertanya mengenai keberadaan Rhaka pada kawan - kawannya di sekretariat KSM, ia selalu mendapat jawaban yang sama. Sebuah jawaban yang membuat dirinya merasa tak bergairah untuk berlama-lama melakukan aktivitas di seputar kampus. Pernah sekali waktu ia memberanikan diri menanyakan Rhaka pada teman sekelasnya, namun tak satupun dari mereka memberikan jawaban yang di harapkan. Belly yang secara kebetulan mendapat pertanyaan tersebut pun tak berani memberitahukan keberadaan sahabatnya, meskipun ia tahu Lembayung kekasih Rhaka, tapi ia berusaha untuk menutupinya. Belly tak ingin mengkhianati janjinya pada Rhaka untuk tak memberitahukan keberadaannya saat ini pada siapapun. Lembayung hampir putus asa ketika ia mendatangi tempat kost Rhaka dan ia tak mendapatkan jawaban yang membuatnya kembali bersemangat. Ia tak tahu harus mencari tahu kemana lagi mengenai keakasihnya yang seakan menghilang begitu saja tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Rasa kesal, marah, benci dan kecewa bercampur aduk menjadi satu ketika ia teringat kembali akan janji Rhaka untuk selalu ada dikala ia membutuhkannya. Dan kini di saat-saat ia sangat membutuhkan kehadiran Rhaka di dekatnya, ia malah menghilang tak tentu rimbanya. Hingga saat ini ia belum mendapatkan tempat kost yang baru, sementara pemilik kost terus mempertanyakan rencananya untuk memperpanjang atau akan mencari tempat kost lainnya. Waktu untuk Lembayung menempati kamar kost hanya tersisa satu bulan kedepan. Dadanya terasa sesak, menahan perasaan yang berkecamuk dalam hati. Satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berbaring di tempat tidur sambil meneteskan air mata. Ia tak pernah menyangka Rhaka akan berbuat seperti itu padanya. Begitu teganya Rhaka telah membiarkan ia larut dalam kesendirian, merasakan kekhawatiran yang membuatnya larut di kesedihan. Lembayung merasa kerinduannya telah dicampakkan begitu saja tanpa belas kasihan.
Senja beranjak perlahan menuju tepian malam, di iringi desir angin menghantarkan mentari ke peraduanya. Binatang malam melantunkan lagu rindu menyambut rembulan yang tersenyum dalam kedamaian. Dan bintang-bintang berkedip ramah menyapa awan yang bertaburan. Belly menghempaskan tubuhnya di kursi sofa, meraih bantal di sampingnya kemudian melemparkan pada Rhaka yang terdiam memandang langit-langit ruangan. Instingnya merespon benda yang melayang dengan cepat ke arahnya. Secara reflex tangannya bergerak menangkap bantal yang di lempar ke arahnya. Rhaka bangkit dari tidurannya, kemudian meraih kopi di meja dan menikmati setiap tetes yang menyentuh lidahnya. Belly merobek bungkus makanan ringan di tangannya. Sambil mengunyah makanan ia menyampaikan sesuatu pada Rhaka mengenai situasi yang berkembang di kampus. Belly memastikan bahwa Rhaka tidak termasuk dalam DPO aparat kepolisian. Ia mendapatkan informasi tersebut dari sumber yang benar-benar dapat dipercaya kebenarannya. Namun ia tak mendapat informasi apapun mengenai keberadaan Rendy dan Yori hingga saat ini. Meskipun ia belum tahu dimana Rendy dan Yori kini berada, Rhaka menyambut kabar itu dengan mengucap syukur. Setidaknya ia tahu bahwa dirinya kini berada dalam situasi yang aman untuk kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Raut muka Rhaka tiba-tiba berubah ketika Belly menyebut nama kekasihnya serta memberitahukan kedatangan Lembayung ke kelasnya untuk menanyakan perihal dirinya. Ia merasa bersalah telah membiarkan Lembayung tanpa kabar berita darinya. Semua itu terpaksa ia lakukan bukan tanpa alasan. Rhaka tak ingin Lembayung mengetahui keberadaannya di saat ia dalam kondisi terluka. Ia khawatir penilaian Lembayung terhadapnya berubah, kemudian ia mencari alasan untuk menjauh darinya. Rhaka menyampaikan ke khawatirannya itu pada Belly dengan harapan ia akan bersedia membantunya di saat ia membutuhkannya. Belly menanggapi kekhawatiran Rhaka dengan tenang. Ia sarankan untuk bicara terus terang atau memberi alasan yang masuk akal pada Lembayung saat ia bertemu dengannya. Sejenak Rhaka terdiam tak berkata-kata. Pandangannya menerawang jauh ke sana, ketempat dimana Lembayung kini berada. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Lembayung secepatnya.
Deru mesin dan suara klakson yang di bunyikan berlulang-ulang menghentakkan Rhaka dari mimpinya. Ia segera bangun dari tempat tidur, menghempaskan selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian berjalan menuju teras depan rumah. Rhaka merentangkan tangan dan kakinya sembari menghirup udara pagi yang dingin. Untuk menghangatkan tubuhnya ia melakukan olah raga ringan dengan berjalan di tempat serta menggerak-gerakkan tangannya. Belly berteriak meminta Rhaka membantunya untuk mengeluarkan sepeda motor dari garasi dan menyalakan mesinnya. Tanpa pikir panjang Rhaka mendatangi Belly yang tengah memeriksa mesin kendaraan roda empatnya, menghampiri sepeda motor kemudian menuntunnya keluar dari garasi. Setelah menyalakan mesin sepeda motor, Rhaka bergegas masuk ke dalam untuk merapikan tempat tidur, kemudian pergi ke kamar mandi. Belly mengetuk pintu kamar mandi, berteriak menawarkan mie instan untuk sarapan pagi mereka. Setelah mendapat jawaban, Belly memasak air untuk menyeduh mie instan.
Sementara itu di ruang tamu sebuah rumah kost, dua orang lelaki tengah duduk santai, menghisap rokok sambil mengobrol untuk menghilangkan kejenuhan. Setelah merapikan pakaian yang dikenakan, Lembayung mengunci pintu kamar kemudian menghampiri dua kawannya yang telah menunggu cukup lama. Andra dan Fahri beranjak dari tempatnya ketika Lembayung datang menghampirinya. Setelah berpamitan pada pemilik tempat kost, mereka melangkah menuju halaman. Fahri membukakan pintu kendaraan sedan mewah dan mempersilahkan Lembayung duduk di depan. Andra menginjak pedal gas perlahan, bergerak melaju melintasi jalan sempit kemudian menikung memasuki jalan raya. Di saat bersamaan Belly mengarahkan laju kendaraannya memasuki jalan yang baru saja dilewati kendaraan yang membawa Lembayung pergi, kemudian ia menghentakkan kakinya pada pedal rem tepat di seberang jalan rumah kost Lembayung. Rhaka berjalan perlahan membuka pintu pagar memasuki halaman rumah. Ibu pemilik kost yang tengah mengasuh cucunya di teras rumah memberitahukan bahwa Lembayung baru saja pergi bersama dua temannya.
“Ibu tak tahu Lembayung pergi kemana, karena ia tak menitip pesan apapun. Oh ya nak Rhaka, katanya mereka kawan sekolah Lembayung dari kampung halamannya”. Ibu kost memberitahu mengenai kedua teman yang mengajak Lembayung pergi. Setelah mohon pamit pada ibu kost, Rhaka melangkah pergi. Belly memacu kembali kendaraannya perlahan bergerak menuju kampus.
Andra mempersilahkan Lembayung masuk setelah membuka pintu sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elit di daerah by pass. Fahri meletakkan makanan yang tadi mereka beli di supermarket saat dalam perjalanan, kemudian melangkah ke dalam. Lembayung tampak gugup ketika seseorang berjalan ke arahnya. Ia tak mengira jika Andra dan Fahri membawanya ke tempat lelaki yang pernah mengisi hatinya sebelum ia bertemu Rhaka. Ronald melempar senyum dan menyapa Lembayung dengan ramah, kemudian mempersilahkannya duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas. Lembayung menjadi salah tingkah dibuatnya. Bagaimana tidak. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota kembang, baru kali ini ia bertemu kembali dengannya. Benaknya melayang pada kisah indah yang terjalin sejak mereka masih duduk dibangku sekolah menegah atas di kampung halamannya. Sebenarnya hingga mereka bertemu saat ini status Lembayung masih mengambang, karena tak pernah terucap kata perpisahan diantara keduanya. Ronald lebih dulu tinggal di kota kembang, karena antara Lembayung dan Ronald terpaut satu tahun ajaran sekolah. Ronald adalah anak salah seorang pejabat tinggi di kampung halamannya. Tak heran jika kini ia menempati rumah mewah lengkap dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan guna menunjang kegiatan belajarnya, tanpa harus tinggal di tempat kost seperti Rhaka yang hanya anak seorang pedagang kecil di kampung halamannya. Lembayung tak tahu harus bicara apa pada Ronald yang tak henti menatapnya. Perasaannya bergejolak, bercampur aduk tak menentu. Entah mengapa Lembayung merasakan ada getaran-getaran yang dulu pernah ia rasakan ketika masih melewati kebersamaan dengan Ronald. Namun mungkin karena kodratnya sebagai wanita yang membuatnya tak berani untuk mengungkapkan perasaannya saat ini. Ronald membuka pembicaraan untuk memecah kebisuan yang membuatnya merasa tak nyaman. Ia mulai bertanya mengenai keadaannya selama berada di kota kembang, bagaimana kuliahnya dan hal-hal lain tentang Lembayung. Ronald berusaha tak mempertanyakan apakah ia telah menemukan lelaki lain atau belum. Ia tak ingin suasana kebersamaannya terusik oleh sesuatu yang ia anggap tak penting. Fahri datang menghampiri mereka membawa tempat untuk menyimpan makanan yang masih tersimpan di kantong plastik. Setelah memindahkan makanan ke tempat yang ia bawa, dan menuangkan minuman ke dalam gelas, kemudian ia kembali ke belakang karena tak ingin mengganggu suasana. Awalnya Lembayung merasa canggung untuk berbicara panjang dengan Ronald. Namun lambat laun ia dapat mengumpulkan kembali keberanian untuk mengimbangi pembicaraan Ronald. Kini senyum dan canda pun menghiasi ruang tamu yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Hingga sampai pada suatu waktu Ronald menghentikan obrolannya. Ia meminta Lembayung untuk bersedia menunggu beberapa saat selama Ronald pergi ke luar rumah untuk melakukan aktivitasnya.
Mentari mulai tenggelam di upuk sana, sementara Rhaka masih asyik mengobrol bersama sahabat-sahabatnya di halaman aula. Bercerita mengenai kejadian setelah mereka terpaksa harus berpencar ketika aparat keamanan mengejarnya, hingga saat ini mereka dapat berkumpul kembali sambil minum kopi bersama. Selepas adzan maghrib satu persatu sahabatnya berpamitan pulang. Kini hanya Rhaka dan Rendy yang masih bertahan di sana, melanjutkan obrolan yang belum tuntas. Rhaka mengingatkan sahabatnya mengenai tempat kost yang tempo hari pernah ia minta bantuan Rendy untuk mencarikannya. Rendy memberitahu bahwa ia telah menemukan tempat kost yang dimaksud Rhaka. Letaknya tak jauh dari tempat Rendy tinggal saat ini, dan ia telah menanyakan kapan tempat tersebut dapat mulai di tempati. Hanya perlu waktu kurang lebih dua mingguan lagi tempat kost itu akan di kosongkan penghuni sebelumnya. Saat ini pun Rhaka dapat melihat tempat tersebut jika ia mau. Namun Rhaka memutuskan untuk mendatanginya besok hari setelah ia bertemu Lembayung, dengan sedikit alasan agar lebih leluasa katanya. Rendy pun tak berusaha memaksa dan menyerahkan sepenuhnya keputusan pada Rhaka untuk hal tersebut. Rhaka menepuk bahu Rendy sambil menyampaikan terima kasihnya karena telah membantu mencarikan tempat untuk Lembayung. Rhaka menutup obrolannya, kemudian meminta Rendy menemaninya pergi menemui Lembayung, karena tadi pagi ia tak bertemu dengannya ketika mendatangi tempat kostnya. Rendy tak menunggu waktu lama, karena ia pun sudah bermaksud untuk pulang. Kemudian Rendy bergegas menuju basement dimana ia menyimpan sepeda motornya.
Rhaka membuka pagar halaman perlahan, berjalan menuju pintu rumah dan mengetuknya beberapa kali. Tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam. Bu Rahmat pemilik rumah tersenyum ramah ketika mengetahui yang berdiri di hadapannya seseorang yang telah ia kenal. Sebelum sempat Rhaka menanyakan maksud kedatangannya, bu Rahmat memberi tahu lebih dulu bahwa Lembayung sampai saat ini belum pulang. Rupanya tanpa di tanyakan pun bu Rahmat telah mengetahui maksud kedatangan Rhaka ke rumahnya. Ia mempersilahkan Rhaka masuk dan menunggu di dalam.
“Mungkin sebentar lagi ia pulang nak Rhaka”. Ucap bu Rahmat singkat. Setelah berpikir sejenak akhirnya ia menuruti saran bu Rahmat. Rhaka mengajak Rendy masuk untuk menemaninya menghilangkan kejenuhan selama ia menunggu Lembayung tiba. Bu Rahmat meletakkan dua gelas teh manis yang sengaja ia buat untuk mereka berdua.
“Silahkan di minum tehnya nak Rhaka”. Bu Rahmat mempersilahkan tamunya untuk menikmati teh manis yang di suguhkannya. Rhaka mengangguk hormat dan berucap terima kasih telah diberi waktu menunggu. Rhaka meraih gelas teh kemudian meneguknya perlahan. Entah sampai mana Rhaka mengobrol dengan Rendy, tak jelas arah dan apa topik pembicaraannya. Karena mereka mengobrol hanya untuk menghindari kebisuan saja. Hingga jarum jam yang menempel di dinding ruangan menunjukkan waktu yang tak mungkin lagi bagi mereka untuk tinggal berlama-lama di sana, orang yang di tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Rhaka mulai gelisah dan merasa tak enak perasaan dengan pemilik rumah, sampai akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan pulang. Meski penampilannya seperti berandalan, tapi Rhaka masih memiliki etika yang harus tetap dijaga. Ia tak berharap keramahan bu Rahmat padanya selama ini terusik karena Rhaka tak bisa menahan keinginannya untuk bertemu Lembayung. Setelah menitip pesan pada bu Rahmat untuk Lembayung, Rhaka bergegas pergi dari tempat tersebut.
Cahaya matahari yang masuk melalui jendela menyentuh dinding kamar, membentuk bayangan wajah Lembayung yang tiba-tiba hinggap dalam benaknya. Rhaka tak tahu apa yang harus ia katakan pada Lembayung saat bertemu dengannya. Ia pun bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah Lembayung merindukannya selama tak bertemu dengannya, apakah ia marah karena merasa telah ditinggalkan Rhaka tanpa kabar berita darinya. Atau ia malah merasa senang selama tak bertemu dengannya. Setumpuk pertanyaan tentang Lembayung bersarang dalam dirinya. Namun ia berusaha berpikir positif untuk menenangkan hatinya. Rhaka meneguk kopi hingga hanya menyisakan ampasnya dalam gelas. Ia merasa tak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Lembayung. Sudah hampir seperempat jam ia menunggu sejak Rendy pergi ke kamar mandi, tapi ia masih belum juga keluar dari sana. Rhaka merencanakan bangun pagi-pagi sekali, karena jika siang sedikit saja ia harus rela mengantri untuk menggunakan kamar mandi. Malam tadi ia sengaja menginap di tempat Rendy untuk menghemat waktu, karena pagi ini ia berencana untuk meminta Rendy menemaninya menemui Lembayung. Dari tempat Rendy hanya butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk sampai di tempat kost Lembayung. Apalagi jika menggunakan sepeda motor, mungkin hanya butuh beberapa menit saja. Hari ini ia telah berniat mendatangi tempat kost bersama Lembayung seperti yang telah dijanjikannya pada Rendy, karena ia tak ingin menunda lebih lama lagi.
Setengah berlari Rendy masuk kamar, kemudian menyimpan handuk di kursi meja belajar. Setelah berpakain, menyisir rambut serta menyemprtotkan parfum, Rendy melemparkan kunci sambil meminta Rhaka mengeluarkan sepeda motornya yang masih nongkrong di teras depan rumah. Rhaka menuntun sepeda motor sampai ke luar pagar, sementara Rendy dengan terburu-buru mengunci pintu kamarnya, kemudian berjalan tergesa ke luar rumah. Rendy tak ingin mengecewakan sahabatnya yang sudah kesengsem bertemu kekasihnya. Tanpa berpikir dan berkata-kata lagi ia memacu sepeda motor melintasi jalan-jalan untuk secepatnya sampai di tempat tujuan.
Rhaka berjalan perlahan memasuki halaman rumah yang terlihat sepi. Di ketuknya pintu berulang-ulang sambil mengucap salam sampai penghuni rumah membukakan pintu untuknya. Rhaka menganggukkan kepala tanda hormat pada bu Rahmat pemilik rumah yang berdiri di hadapannya. Wajah bu Rahmat nampak muram, tak seperti biasa jika Rhaka bertamu ke tempatnya. Dengan nada menyesal bu Rahmat memberitahu bahwa sejak kepergiannya kemarin sampai saat ini Lembayung belum juga pulang. Rhaka mengerutkan keningnya, diam tak bicara sepatah katapun. Benaknya menerawang jauh menelusuri tempat-tempat yang mungkin disinggahi Lembayung. Satu hal yang diminta Rhaka saat ini tak lain hanya kejernihan berpikir dalam menyikapi keadaan. Sebentar kemudian Rhaka memohon pamit pada pemilik rumah dengan alasan ia akan mencoba mencari Lembayung di tempat lain. Bu Rahmat berusaha besikap sewajarnya menghadapi Rhaka yang terlihat kecewa dan kebingungan. Ia berjanji untuk menyampaikan pada Lembayung mengenai kedatangannya. Rhaka pun berlalu dari hadapan pemilik rumah, kemudian meminta Rendy untuk mengantarnya pergi ke kampus. Ia berharap disana dapat menemukan Lembayung, karena setahu Rhaka hari ini ia ada mata kuliah yang harus diikutinya.
Hingga adzan dzuhur berkumandang Rhaka belum juga menemukan titik terang dimana Lembayung berada, padahal ia telah berkeliling gedung kampus. Merasa tak puas, ia mencarinya ke tempat-tempat penjual makanan yang berjejer di seberang jalan. Namun ia pun tak menemukan Lembayung disana. Sementara jadwal perkuliahan hanya tinggal menunggu hitungan menit untuk dimulai. Setahu Rhaka, Lembayung biasa tiba di kampus lebih awal dari jadwal perkuliahannya. Tapi kali ini ia benar-benar tak tahu dimana kekasihnya kini berada. Mungkin selama ia tak bertemu dengannya, Lembayung telah mengubah jadwal aktivitasnya di kampus. Tak satupun teman sekelasnya mengetahui dimana Lembayung berada saat Rhaka menanyakan pada mereka. Rhaka tak ingin menyerah sampai di situ saja. Tinggal satu tempat yang belum ia datangi, yakni perpustakaan kampus. Ketika hal itu terbersit dalam benaknya, ia bergegas pergi ke tempat tersebut. Sementara di ruang perpustakaan nampak para mahasiswa/i tengah berkutat dengan aktivitasnya masing-masing. Beberapa mahasiswa/i mondar-mandir di antara rak buku, mencari sesuatu untuk melengkapi kebutuhan perkuliahannya. Sebagian lainnya terlihat serius membaca buku dimeja yang tertata rapi di tengah ruangan. Petugas perpustakaan tampak sibuk melayani para anggota yang meminjam dan mengembalikan buku. Di antara mereka yang tengah mengantri untuk mendapatkan pelayanan petugas perpustakaan, tampak Lembayung tengah menerima buku yang di sodorkan padanya. Kemudian ia melangkah keluar ruangan, bergegas menuju kelas guna mengikuti perkuliahan. Langkah Lembayung terhenti sejenak ketika seseorang memanggil namanya, kemudian ia mengalihkan pandangan mata ke arah suara yang memanggilnya. Jantung Lembayung seakan mau copot ketika di dapati Rhaka telah berada di dekatnya. Ia berusaha menyembunyikan kekagetan dengan melemparkan senyum. Namun bagi Rhaka senyuman itu terasa hampa tak berasa, bagai sayur tanpa garam. Tersirat kekecewaan di raut muka Lembayung yang entah mengapa tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Sorot matanya menyimpan kekesalan, kebencian sekaligus kerinduan yang bercampur aduk menjadi satu. Untuk beberapa saat baik Rhaka maupun Lembayung tak berkata-kata. Lembayung tak sanggup lagi menatap wajah Rhaka. Ia berupaya menahan perasaan yang bergejolak dalam hatinya, menundukkan kepala sembari memainkan jari jemarinya. Rhaka tak melepaskan pandangan mata pada sosok wanita yang masih tertunduk diam tanpa kata.
“Andai kau tak keberatan, aku minta waktu sebentar. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu”. Ucap Rhaka dengan perasaan tak menentu. Lembayung berkata sambil melangkah memasuki ruang kelas. “Aku harus mengikuti perkuliahan Ka”. Suaranya bergetar menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya. Rhaka tak perduli dengan kawan - kawan sekelas Lembayung yang dari sejak tadi memperhatikan mereka. “Aku akan menunggumu di sini sampai perkuliahan selesai !”. Ungkap Rhaka dengan suara agak keras.
Suasana kelas menjadi riuh ketika dosen menyampaikan permohonan maafnya pada mahasiswa/i karena ia tak dapat memberikan materi kuliah sampai tuntas. Tak lama kemudian dosen meninggalkan ruang kelas, disusul para peserta perkuliahan yang berhamburan keluar. Rhaka merasa lega, karena dengan demikian ia tak harus berlama-lama menunggu untuk dapat bertemu dengan Lembayung. Ia perhatikan dengan seksama setiap mahasiswi yang keluar dari ruangan. Ketika matanya tertuju pada seseorang yang sejak tadi ia tunggu, Rhaka cepat-cepat menghampiri dan menegurnya. Lembayung tak mengira jika Rhaka benar-benar akan memegang ucapannya. Lembayung yang tampak kebingungan tak mampu mengeluarkan sepatah katapun di hadapan Rhaka. Entah apa yang ada dalam benaknya, Rhaka tak mengetahui secara pasti. Lembayung tak tahu harus bagaimana menghadapi lelaki ini. Alasan apa kiranya yang sanggup membuat ia dapat menghindar darinya. Andai ia memenuhi permintaan Rhaka untuk bicara dengannya, berarti ia harus memberi alasan lain pada teman yang akan menjemputnya seusai perkuliahan. Mungkin temannya kini tengah menunggu di tempat yang telah di janjikannya. Tiba-tiba bayangan wajah Ronald menggelayut dalam benaknya. Terngiang kata-kata indah serta kesungguhannya untuk memperbaiki hubungan yang selama ini terabaikan. Lembayung tersadar dari lamunan ketika Rhaka menegur sambil memegangi pergelangan tangannya. Secara spontan ia berucap, menolak permintaan Rhaka untuk bicara dengannya. Rhaka terdiam sejenak. Di tariknya nafas dalam-dalam, kemudian dihempaskan segala kekecewaan yang bersarang dalam dirinya. Ia pikir lebih baik tak memaksa Lembayung untuk merubah pendiriannya.
“Baiklah jika itu keputusanmu. Oh ya, aku sudah menemukan tempat kost yang kau minta tempo hari. Jika kau berminat mendatangi untuk sekedar melihat-lihat, aku akan mengantarmu ke sana. Mudah-mudahan tempatnya cocok untukmu”. Ungkap Rhaka dengan perasaan hampa. Setelah dirasa tak ada lagi yang harus dikatakan, Rhaka pun berlalu dari hadapan Lembayung.
Fahri melemparkan senyum ketika Lembayung datang menghampiri, kemudian ia membukakan pintu depan sedan mewah untuknya. Andra yang berada di belakang kemudi menyapanya dengan hangat. Sebentar kemudian roda-roda pun berputar perlahan meninggalkan tempat parkiran. Hampir saja kendaraan yang membawa Lembayung pergi menabrak Rhaka yang tengah melintas jalan di depan pintu gerbang masuk kampus. Untung hanya tagannya yang terserempet, karena Rhaka secara reflex dapat menghindar dari insiden tak terduga tersebut. Dan secara tak sengaja mata Rhaka beradu pandang dengan Lembayung yang menjerit kaget. Rhaka cepat-cepat mengalihkan pandangan matanya ke arah lelaki di belakang kemudi, kemudian ia bergegas pergi menjauh dari sana. Ingin rasanya Lembayung beranjak dari tempat dan berlari mengejar Rhaka yang mempercepat langkahnya. Namun niatnya terurungkan oleh laju roda kendaraan yang bergerak cepat. Perasaannya kini berkecamuk dalam dada. Terselip penyesalan dalam diri atas sikapnya yang tak bersahabat terhadap Rhaka saat ia berhadapan dengannya. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya sepanjang perjalanan. Andra pun diam tak berbahasa. Padahal dalam benaknya tersirat pertanyaan mengenai seseorang yang tadi hampir saja tertabrak olehnya. Begitupun halnya dengan Fahri. Mereka hanya saling pandang, menyimpan sesuatu dalam dirinya masing-masing. Andra dan Fahri merasa ada sesuatu antara Lembayung dengan lelaki yang tadi melintas di hadapannya. Sikap Lembayung langsung berubah setelah kejadian tersebut. Nampak kegelisahan di paras cantiknya. Tersirat keresahan dalam bahasa tubuhnya. Namun Andra dan juga Fahri berusaha menahan diri untuk tak mempertanyakannya. Fahri baru membuka mulut ketika kendaraan yang ditumpanginya menikung di perempatan jalan dan kemudian berhenti di depan rumah kediaman sahabatnya. Itupun tak ditujukan pada Lembayung, tapi pada Andra yang memintanya untuk membuka pagar rumah yang tampak sepi. Lembayung menolak secara halus ketika Andra mengajaknya masuk ke dalam rumah. Ia merasa lebih nyaman duduk di kursi teras, sambil melepaskan pandangan mata menatap awan bertaburan di atas sana. Menikmati semilir angin yang berhembus menerpa pepohonan. Pikirannya melayang hingga menyentuh bayangan wajah lelaki yang tampak murung dalam lamunannya. Lelaki sederhana yang selalu bersikap dan tampil apa adanya, tanpa menutupi kekurangan dalam dirinya. Semakin mengingatnya, semakin ia merasakan kerinduan yang dalam. Merambat perlahan menelusuri sanubari yang sempat membeku dan kaku karena keakuannya. Langit berkata dengan caranya sendiri, dan awan pun seakan mengerti gejolak dalam hatinya. Titik-titik air mulai berjatuhan membasahi halaman rumah, membasuh dedaunan yang bersimbah debu, menghanyutkan kesombongan dalam diri akan buaian mimpi duniawi. Para pejalan kaki mempercepat langkah mencari tempat untuk mereka berteduh. Lembayung kian larut dalam keheningan di jiwanya, berkawan curah hujan yang semakin deras menghujam belahan bumi. Ia tersentak dari lamunan ketika bahunya di tepuk seseorang yang tiba-tiba telah berada di sampingnya tanpa ia sadari sebelumnya. Ronald melempar senyum dan menyapa sehangat mungkin, berharap kebekuan suasana dapat tercairkan.
Sementara di trotoar jalan yang sepi oleh pejalan kaki, selepas terhindar dari kendaraan yang hampir menabraknya di gerbang masuk kampus beberapa saat lalu, Rhaka terus melangkahkan kaki tanpa henti. Deras curah hujan yang mengguyur tubuhnya tak lagi ia perdulikan. Berharap setiap air yang menetes mampu membasuh kekecewaannya dan memberikan kesejukan pada kekesalannya yang bergejolak hingga menyesakkan dada. Berharap hembusan angin yang menerpa sekujur tubuh akan sanggup menghempaskan amarah dalam dirinya. Ia memutuskan untuk berbagi penyesalan dan kepedihan yang dirasakannya dengan alam semesta. Biarlah alam semesta merasakan ke gundahan yang tengah berkecamuk dalam jiwanya. Dan Tanpa disadari keresahan yang dirasakannya telah menuntun langkah kaki menuju ruang, tempat dimana ia dapat membaringkan tubuh dikala rasa lelah menghinggapinya.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar